Eks Komisioner KPU Soroti Belum Tuntasnya UU Penyelenggara Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Dua pekan pasca-pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu di DPR, Pemerintah tak kunjung mengundangkan peraturan tersebut dalam salinan negara.
Hasil penelusuran diketahui, UU yang tengah diperbaiki dan disinkronisasi oleh Pemerintah itu dikembalikan ke DPR untuk dilakukan penyempurnaan.
Hal itu diketahui dari surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum), 3 Agustus 2017 yang meminta DPR melakukan koreksi atas lampiran UU Pemilu tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Polpum Kemendagri Soedarmo itu, Pemerintah meminta DPR mengoreksi tiga hal, lampiran pertama dan kedua terkait jumlah anggota KPU dan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota yang terdapat kesalahan jumlah pada Kota Banjarbaru (Kalimantan Selatan).
Di mana di lampiran anggota KPU dan Bawaslu tertulis 2 orang, sementara hasil penghitungan data kependudukan semester II 2016 jumlah penduduk didaerah tersebut 221.907, sehingga anggota KPU dan Bawaslu 3 orang.
Kasus yang sama terjadi di Kabupaten Tolikara (Papua) di mana pada lampiran tertulis anggota KPU dan Bawaslu tiga orang, sementara hasil penghitungan data kependudukan semester II 2016 jumlah penduduk di daerah tersebut 503.173 orang, sehingga jumlah anggota KPU Bawaslu seharusnya lima orang.
Adapun pada lampiran Ketiga pemerintah meminta DPR mengoreksi penentuan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, khususnya Sumatera Utara yang terjadi kesalahan pada dapil Sumatera Utara 7 dan 9.
Di mana Kota Padangsidimpuan yang sebelumnya dapil Sumut 9 masuk dalam dapil 9. Padahal hasil rapat pansus RUU pemilu sepakat dapil DPRD Sumut tidak mengalami perubahan.
Menanggapi hal ini, pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), Hadar Nafis Gumay menyesalkan karut marutnya penomoran UU Penyelenggaraan Pemilu oleh Pemerintah.
Menurut mantan Komisioner KPU itu, apa yang ditunjukkan saat ini juga dampak dari tidak dilibatkannya penyelenggara pemilu saat UU tersebut dibahas.
"Ini salah satu contoh UU yang tidak melibatkan penyelenggara. Harusnya penyelenggara dikasih drafnya, tolong dilihat, catatannya, itu tidak pernah dilakukan," ujar Hadar, di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Bolak-baliknya proses sinkronisasi ini menurut dia, jelas akan menambah waktu pengundangan aturan tersebut. "Ya kita bayangkan saja ini balik lagi ke DPR, disinkronkan, balik lagi, jadi makan waktu," kata Hadar.
Hasil penelusuran diketahui, UU yang tengah diperbaiki dan disinkronisasi oleh Pemerintah itu dikembalikan ke DPR untuk dilakukan penyempurnaan.
Hal itu diketahui dari surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum), 3 Agustus 2017 yang meminta DPR melakukan koreksi atas lampiran UU Pemilu tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Polpum Kemendagri Soedarmo itu, Pemerintah meminta DPR mengoreksi tiga hal, lampiran pertama dan kedua terkait jumlah anggota KPU dan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota yang terdapat kesalahan jumlah pada Kota Banjarbaru (Kalimantan Selatan).
Di mana di lampiran anggota KPU dan Bawaslu tertulis 2 orang, sementara hasil penghitungan data kependudukan semester II 2016 jumlah penduduk didaerah tersebut 221.907, sehingga anggota KPU dan Bawaslu 3 orang.
Kasus yang sama terjadi di Kabupaten Tolikara (Papua) di mana pada lampiran tertulis anggota KPU dan Bawaslu tiga orang, sementara hasil penghitungan data kependudukan semester II 2016 jumlah penduduk di daerah tersebut 503.173 orang, sehingga jumlah anggota KPU Bawaslu seharusnya lima orang.
Adapun pada lampiran Ketiga pemerintah meminta DPR mengoreksi penentuan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, khususnya Sumatera Utara yang terjadi kesalahan pada dapil Sumatera Utara 7 dan 9.
Di mana Kota Padangsidimpuan yang sebelumnya dapil Sumut 9 masuk dalam dapil 9. Padahal hasil rapat pansus RUU pemilu sepakat dapil DPRD Sumut tidak mengalami perubahan.
Menanggapi hal ini, pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), Hadar Nafis Gumay menyesalkan karut marutnya penomoran UU Penyelenggaraan Pemilu oleh Pemerintah.
Menurut mantan Komisioner KPU itu, apa yang ditunjukkan saat ini juga dampak dari tidak dilibatkannya penyelenggara pemilu saat UU tersebut dibahas.
"Ini salah satu contoh UU yang tidak melibatkan penyelenggara. Harusnya penyelenggara dikasih drafnya, tolong dilihat, catatannya, itu tidak pernah dilakukan," ujar Hadar, di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Bolak-baliknya proses sinkronisasi ini menurut dia, jelas akan menambah waktu pengundangan aturan tersebut. "Ya kita bayangkan saja ini balik lagi ke DPR, disinkronkan, balik lagi, jadi makan waktu," kata Hadar.
(maf)