Tak Ada Unsur Pidana dalam SMS HT
A
A
A
JAKARTA - Pesan pendek atau SMS Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) kepada Jaksa Yulianto sulit untuk dikualifikasi sebagai tindak pidana. Pesan yang ada dalam SMS tersebut merupakan hal yang biasa disampaikan warga kepada penguasa.
“Itu (isi SMS HT) hal yang wajar dalam bernegara,” kata Pakar Hukum Margarito Kamis kepada KORAN SINDO di Jakarta, Minggu (17/7/2017).
Ditanyakan motif mengenai kasus SMS tersebut, Margarito mengatakan hal tersebut haruslah dijawab dalam sidang praperadilan. “Praperadilan harus bisa menjawab motif kasus itu,” tandas Margarito.
Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita berpendapat kasus hukum yang menimpa HT sangat dipaksakan. Seharusnya pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) fokus pada kasus lain yang terbengkalai. “Malu saya baca kasus itu. Maaf saja, kayak enggak ada yang lebih penting,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Dia menilai, Kejagung memiliki tugas pokok dengan fokus terhadap kasus yang berkaitan dengan pidana khusus. Apalagi kabinet pemerintahan saat ini memang tengah fokus memberantas korupsi yang masuk pada pidana khusus. “Kejaksaan itu tugas pokoknya ya bukan pidum (pidana umum). Pemerintah yang sekarang galakkan kan pidsus (pidana khusus). Korupsi ya,” tuturnya.
Karena itu, ia heran jika SMS yang dikirimkan HT kepada Jaksa Yulianto diperkarakan. Apa lagi isi dari SMS itu dinilai banyak pihak tidak mengandung ancaman seperti yang dituduhkan. “Karena itu saya bilang, banyak kerjaan kejaksaan yang belum selesai. Kasus-kasus besar yang nilainya triliunan,” katanya. Sekadar informasi, HT disangkakan dengan Pasal 29 UU ITE.
Banyak pihak menganggap substansi SMS yang dikirimkan HT ke Jaksa Yulianto bersifat normatif dan tidak ada muatan ancaman. Akhirnya publik pun menilai, SMS yang diperkarakan itu murni upaya kriminalisasi. Senada, pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Iqbal Felisiano mengatakan, SMS tersebut hanya sebatas teks mengingatkan bila HT menjadi pemimpin, ia akan melakukan perubahan.
“Kalau benar, SMS HT (Hary Tanoe) sebatas mengingatkan bahwa dirinya suatu saat nanti akan menjadi pemimpin nanti akan ada perubahan dan hal yang tidak sebagaimana mestinya dibersihkan,” kata Iqbal beberapa waktu lalu. Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya belum melihat adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam SMS itu.
“Pastinya juga dibutuhkan ahli karena juga mempunyai unsur subjektivitas yang tinggi untuk melihat SMS itu adalah ancaman atau bukan. Kemudian jika yang dimaksud adalah penerapan Pasal 29 UU ITE, maka konstruksinya bisa ancaman kekerasan atau menakut-nakuti seseorang dengan menggunakan media elektronik. Itu justru lebih luas lagi,” paparnya.
Dia juga menjelaskan, jika dikaitkan dengan Pasal 335 KUHP (tentang perbuatan tidak menyenangkan), yang dimaksud tujuannya agar seseorang berbuat atau tidak berbuat sesuatu, maka unsurnya harus terpenuhi, yakni harus ada kekerasan atau ancaman kekerasan. Jika berbicara adanya unsur paksaan yang diwujudkan dalam bentuk ancaman pasal tersebut, maka berlaku tidak hanya adanya paksaan secara fisik akan, tetapi juga psikis dalam SMS tersebut harus ada.
Untuk diketahui, sidang gugatan praperadilan terhadap Polri atas penetapan status tersangka kepada HT di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah memasuki babak akhir. Majelis hakim hari ini dijadwalkan akan memutuskan apakah penetapan status tersangka tersebut sah atau tidak menurut hukum.
Dalam sidang sebelumnya sudah banyak bukti dan saksi ahli didatangkan dalam sidang tersebut. Salah satunya adalah saksi ahli pidana Abdul Chair Ramadhan. Menurut dia, penyidik Bareskrim Mabes Polri dinilai menyalahi aturan atas keterlambatan memberikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) mengenai penetapan tersangka HT.
“Secara pribadi saya menilai penetapan tersangka HT tidak sesuai dengan penerapan hukum dan cenderung dipaksakan,” kata Abdul Chair. Menurut dia, surat perintah penyidikan (sprindik) kasus yang menimpa HT disebut tertanggal 15 Mei 2017, tetapi SPDP baru disampaikan kepadanyapada 20Juni2017.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130 Tahun 2015, menurut dia, SPDP wajib diberitahukan kepada pihak seperti jaksa penuntun umum (JPU), pelapor, dan terlapor paling lambat 7 hari setelah adanya sprindik. “Dalam putusan MK tidak boleh melampaui 7 hari. Jika lebih dari 7 hari selain melanggar putusan MK, juga melanggar Pasal 109 KUHAP,” ujarnya.
Sementara itu HT melalui pengacaranya Munatsir Mustama telah mengajukan permohonan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya. Munatsir meminta majelis hakim menerima permohonannya karena penyidikan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri menyalahi KUHAP. Dia menyebut proses penyidikan perkara kasus SMS ancaman menyalahi Pasal 109 KUHAP.
Dalam pasal itu disebutkan SPDP harus dikirim kepada terlapor dan pelapor dalam waktu 7 hari. Tapi kenyataannya SPDP baru dikirim 47 hari kemudian. Lebih jauh Munatsir menegaskan ada kejanggalan dalam proses penyidikan kasus SMS yang dikirim HT kepada Jaksa Yulianto. Misalnya tidak ada pemeriksaan digital forensik yang dilakukan Polri terhadap pesan singkat tersebut.
“Kita lihat tidak ada penerapan digital forensik yang dilakukan terhadap alat bukti. Sebab prosedur ITE harus ada. Dalam kasus ini kami belum melihatnya,” ucapnya. Pihak HT juga telah menghadirkan bukti rekaman wawancara Jaksa Yulianto di televisi kepada hakim tunggal Cepi Iskandar dalam sidang lanjutan praperadilan beberapa waktu lalu.
Rekaman video tersebut menunjukkan bahwa Jaksa Yulianto tidak terlihat mengalami ancaman seperti yang dia laporkan. “Ada beberapa bukti tambahan berupa rekaman video saat Jaksa Yulianto wawancara di stasiun televisi,” ujar Munatsir. Menurut dia, dalam video tersebut tidak ada ancaman psikis yang dialami Yulianto.
Artinya pada saat itu kondisinya sehat dan segar bugar tidak sesuai dengan yang dilaporkan mengalami ancaman. Munatsir menjelaskan, HT dikenai Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 45B. Pasal 45B mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut- nakuti yang mengakibatkan kekerasan psikis dan harus ada surat keterangan dari psikolog untuk membuat laporan ke polisi.
“Dalam kasus ini, Yulianto tidak menyertakan pemeriksaan psikolog,” terangnya. Seperti diketahui, melalui SMS, HT sebenarnya hanya menyampaikan sebuah ajakan untuk membuktikan siapa yang profesional antara dirinya dan Yulianto. HT mengatakan masuk ke dunia politik dengan maksud baik, yakni memberantas oknum-oknum penegak hukum yang abuse of power.
SMS HT justru ditanggapi Yulianto dengan melaporkannya ke Bareskrim Polri, 28 Januari 2016. Yang janggal, setelah lebih dari 1,5 tahun, Bareskrim melakukan pemanggilan terhadap HT dalam kapasitas sebagai saksi pada 12 Juni 2017. Pada 16 Juni 2017 Jaksa Agung M Prasetyo menyebut HT tersangka.
Pada hari yang sama, Polri membantah dengan pernyatakan status pengusutan laporan SMSYulianto masih penyelidikan. Pernyataan Jaksa Agung menuai banyak kritikan berbagai kalangan. Tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang, kuasa hukum HT melaporkan Jaksa Agung ke Bareskrim Polri.
Setelah berbagai rangkaian peristiwa itu, Mabes Polri tiba-tiba mengakui menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas kasus SMS. Jadi tak mengherankan jika banyak kalangan menilai penetapan HT sebagai tersangka ini cenderung politis dan tak berdasar.
Karena banyak pakar hukum pidana menyebut tak ada unsur pidana apa pun dalam SMS yang dikirimkan HT terhadap Jaksa Yulianto tersebut. Bahkan, sebaliknya, karena menyebarkan SMS HT ke media, Jaksa Yulianto justru bisa dikenai UU ITE. Ada sejumlah faktor yang menunjukkan pengusutan kasus SMS ini politis.
Pertama, banyak yang menduga kasus SMS ini terkait dengan kekalahan Ahok dalam Pilgub Jakarta. Di situ HT dengan Partai Perindonya mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai lawan pasangan petahana Ahok-Djarot.
Kedua, kasus SMS ini diduga juga terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Pasalnya, HT disebut-sebut sebagai salah seorang yang akan maju pada Pilpres 2019 mendatang.
“Ini kayak ada agenda terselubung atau agenda bersih-bersih untuk menuju 2019,” kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perindo Ricky K Margono beberapa waktu lalu.
Dia mengaku bingung dengan tuduhan mengancam yang dialamatkan kepada HT. “Itu saya jadi berpikir jorok ya pada penegakan hukum di bangsa ini, yang cenderung dipaksakan sesuai dengan kepentingan,” tutur Ricky.
Menurut dia, SMS HT kepada Jaksa Yulianto tidak memiliki unsur ancaman. “Aneh kalau itu disebut ancaman,” katanya. Dia berpendapat, semua yang berpotensi menjadi ancaman pada Pilpres 2019 diupayakan disingkirkan. Setidaknya, menurut dia, itu terlihat dengan tuduhan terhadap HT.
“Itu (isi SMS HT) hal yang wajar dalam bernegara,” kata Pakar Hukum Margarito Kamis kepada KORAN SINDO di Jakarta, Minggu (17/7/2017).
Ditanyakan motif mengenai kasus SMS tersebut, Margarito mengatakan hal tersebut haruslah dijawab dalam sidang praperadilan. “Praperadilan harus bisa menjawab motif kasus itu,” tandas Margarito.
Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita berpendapat kasus hukum yang menimpa HT sangat dipaksakan. Seharusnya pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) fokus pada kasus lain yang terbengkalai. “Malu saya baca kasus itu. Maaf saja, kayak enggak ada yang lebih penting,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Dia menilai, Kejagung memiliki tugas pokok dengan fokus terhadap kasus yang berkaitan dengan pidana khusus. Apalagi kabinet pemerintahan saat ini memang tengah fokus memberantas korupsi yang masuk pada pidana khusus. “Kejaksaan itu tugas pokoknya ya bukan pidum (pidana umum). Pemerintah yang sekarang galakkan kan pidsus (pidana khusus). Korupsi ya,” tuturnya.
Karena itu, ia heran jika SMS yang dikirimkan HT kepada Jaksa Yulianto diperkarakan. Apa lagi isi dari SMS itu dinilai banyak pihak tidak mengandung ancaman seperti yang dituduhkan. “Karena itu saya bilang, banyak kerjaan kejaksaan yang belum selesai. Kasus-kasus besar yang nilainya triliunan,” katanya. Sekadar informasi, HT disangkakan dengan Pasal 29 UU ITE.
Banyak pihak menganggap substansi SMS yang dikirimkan HT ke Jaksa Yulianto bersifat normatif dan tidak ada muatan ancaman. Akhirnya publik pun menilai, SMS yang diperkarakan itu murni upaya kriminalisasi. Senada, pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Iqbal Felisiano mengatakan, SMS tersebut hanya sebatas teks mengingatkan bila HT menjadi pemimpin, ia akan melakukan perubahan.
“Kalau benar, SMS HT (Hary Tanoe) sebatas mengingatkan bahwa dirinya suatu saat nanti akan menjadi pemimpin nanti akan ada perubahan dan hal yang tidak sebagaimana mestinya dibersihkan,” kata Iqbal beberapa waktu lalu. Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya belum melihat adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam SMS itu.
“Pastinya juga dibutuhkan ahli karena juga mempunyai unsur subjektivitas yang tinggi untuk melihat SMS itu adalah ancaman atau bukan. Kemudian jika yang dimaksud adalah penerapan Pasal 29 UU ITE, maka konstruksinya bisa ancaman kekerasan atau menakut-nakuti seseorang dengan menggunakan media elektronik. Itu justru lebih luas lagi,” paparnya.
Dia juga menjelaskan, jika dikaitkan dengan Pasal 335 KUHP (tentang perbuatan tidak menyenangkan), yang dimaksud tujuannya agar seseorang berbuat atau tidak berbuat sesuatu, maka unsurnya harus terpenuhi, yakni harus ada kekerasan atau ancaman kekerasan. Jika berbicara adanya unsur paksaan yang diwujudkan dalam bentuk ancaman pasal tersebut, maka berlaku tidak hanya adanya paksaan secara fisik akan, tetapi juga psikis dalam SMS tersebut harus ada.
Untuk diketahui, sidang gugatan praperadilan terhadap Polri atas penetapan status tersangka kepada HT di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah memasuki babak akhir. Majelis hakim hari ini dijadwalkan akan memutuskan apakah penetapan status tersangka tersebut sah atau tidak menurut hukum.
Dalam sidang sebelumnya sudah banyak bukti dan saksi ahli didatangkan dalam sidang tersebut. Salah satunya adalah saksi ahli pidana Abdul Chair Ramadhan. Menurut dia, penyidik Bareskrim Mabes Polri dinilai menyalahi aturan atas keterlambatan memberikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) mengenai penetapan tersangka HT.
“Secara pribadi saya menilai penetapan tersangka HT tidak sesuai dengan penerapan hukum dan cenderung dipaksakan,” kata Abdul Chair. Menurut dia, surat perintah penyidikan (sprindik) kasus yang menimpa HT disebut tertanggal 15 Mei 2017, tetapi SPDP baru disampaikan kepadanyapada 20Juni2017.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130 Tahun 2015, menurut dia, SPDP wajib diberitahukan kepada pihak seperti jaksa penuntun umum (JPU), pelapor, dan terlapor paling lambat 7 hari setelah adanya sprindik. “Dalam putusan MK tidak boleh melampaui 7 hari. Jika lebih dari 7 hari selain melanggar putusan MK, juga melanggar Pasal 109 KUHAP,” ujarnya.
Sementara itu HT melalui pengacaranya Munatsir Mustama telah mengajukan permohonan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya. Munatsir meminta majelis hakim menerima permohonannya karena penyidikan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri menyalahi KUHAP. Dia menyebut proses penyidikan perkara kasus SMS ancaman menyalahi Pasal 109 KUHAP.
Dalam pasal itu disebutkan SPDP harus dikirim kepada terlapor dan pelapor dalam waktu 7 hari. Tapi kenyataannya SPDP baru dikirim 47 hari kemudian. Lebih jauh Munatsir menegaskan ada kejanggalan dalam proses penyidikan kasus SMS yang dikirim HT kepada Jaksa Yulianto. Misalnya tidak ada pemeriksaan digital forensik yang dilakukan Polri terhadap pesan singkat tersebut.
“Kita lihat tidak ada penerapan digital forensik yang dilakukan terhadap alat bukti. Sebab prosedur ITE harus ada. Dalam kasus ini kami belum melihatnya,” ucapnya. Pihak HT juga telah menghadirkan bukti rekaman wawancara Jaksa Yulianto di televisi kepada hakim tunggal Cepi Iskandar dalam sidang lanjutan praperadilan beberapa waktu lalu.
Rekaman video tersebut menunjukkan bahwa Jaksa Yulianto tidak terlihat mengalami ancaman seperti yang dia laporkan. “Ada beberapa bukti tambahan berupa rekaman video saat Jaksa Yulianto wawancara di stasiun televisi,” ujar Munatsir. Menurut dia, dalam video tersebut tidak ada ancaman psikis yang dialami Yulianto.
Artinya pada saat itu kondisinya sehat dan segar bugar tidak sesuai dengan yang dilaporkan mengalami ancaman. Munatsir menjelaskan, HT dikenai Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 45B. Pasal 45B mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut- nakuti yang mengakibatkan kekerasan psikis dan harus ada surat keterangan dari psikolog untuk membuat laporan ke polisi.
“Dalam kasus ini, Yulianto tidak menyertakan pemeriksaan psikolog,” terangnya. Seperti diketahui, melalui SMS, HT sebenarnya hanya menyampaikan sebuah ajakan untuk membuktikan siapa yang profesional antara dirinya dan Yulianto. HT mengatakan masuk ke dunia politik dengan maksud baik, yakni memberantas oknum-oknum penegak hukum yang abuse of power.
SMS HT justru ditanggapi Yulianto dengan melaporkannya ke Bareskrim Polri, 28 Januari 2016. Yang janggal, setelah lebih dari 1,5 tahun, Bareskrim melakukan pemanggilan terhadap HT dalam kapasitas sebagai saksi pada 12 Juni 2017. Pada 16 Juni 2017 Jaksa Agung M Prasetyo menyebut HT tersangka.
Pada hari yang sama, Polri membantah dengan pernyatakan status pengusutan laporan SMSYulianto masih penyelidikan. Pernyataan Jaksa Agung menuai banyak kritikan berbagai kalangan. Tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang, kuasa hukum HT melaporkan Jaksa Agung ke Bareskrim Polri.
Setelah berbagai rangkaian peristiwa itu, Mabes Polri tiba-tiba mengakui menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas kasus SMS. Jadi tak mengherankan jika banyak kalangan menilai penetapan HT sebagai tersangka ini cenderung politis dan tak berdasar.
Karena banyak pakar hukum pidana menyebut tak ada unsur pidana apa pun dalam SMS yang dikirimkan HT terhadap Jaksa Yulianto tersebut. Bahkan, sebaliknya, karena menyebarkan SMS HT ke media, Jaksa Yulianto justru bisa dikenai UU ITE. Ada sejumlah faktor yang menunjukkan pengusutan kasus SMS ini politis.
Pertama, banyak yang menduga kasus SMS ini terkait dengan kekalahan Ahok dalam Pilgub Jakarta. Di situ HT dengan Partai Perindonya mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai lawan pasangan petahana Ahok-Djarot.
Kedua, kasus SMS ini diduga juga terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Pasalnya, HT disebut-sebut sebagai salah seorang yang akan maju pada Pilpres 2019 mendatang.
“Ini kayak ada agenda terselubung atau agenda bersih-bersih untuk menuju 2019,” kata Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perindo Ricky K Margono beberapa waktu lalu.
Dia mengaku bingung dengan tuduhan mengancam yang dialamatkan kepada HT. “Itu saya jadi berpikir jorok ya pada penegakan hukum di bangsa ini, yang cenderung dipaksakan sesuai dengan kepentingan,” tutur Ricky.
Menurut dia, SMS HT kepada Jaksa Yulianto tidak memiliki unsur ancaman. “Aneh kalau itu disebut ancaman,” katanya. Dia berpendapat, semua yang berpotensi menjadi ancaman pada Pilpres 2019 diupayakan disingkirkan. Setidaknya, menurut dia, itu terlihat dengan tuduhan terhadap HT.
(kri)