Mahasiswa Cium Upaya Pemaksaan Ketum Perindo Tersangka
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Mahasiswa Islam Indonesia (KMII) mengkritik langkah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan Ketua Umum (Ketum) Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo sebagai tersangka atas laporan dari Jaksa Yulianto. Penetapan Hary Tanoesoedibjo sebagai tersangka dinilai tidak sesuai dengan fakta hukum.
Ketua Umum KMII, M Rizal Belhet mengatakan, penyidik Bareskrim Polri begitu cepat mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tanpa memperhitungkan akibat hukum yang terjadi. Dia mencium ada upaya memaksakan untuk menetapkan Hary Tanoesoedibjo sebagai tersangka.
"Dan tidak memenuhi kualifikasi dan atau unsur tindakan adanya muatan ancaman dan muatan untuk menakut-nakuti seseorang seperti yang dijelaskan dalam Pasal 29 juncto 45 b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujar M Rizal dalam jumpa pers di Kopi Perjuangan, Jalan Proklamasi Nomor 61, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).
Dia mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum, bukan sebagai negara kekuasaan. Sebagai negara hukum, kata dia segala bentuk ketidakadilan yang berujung tindakan kriminalisasi merugikan seseorang sebagai subjek hukum. (Baca: Perindo Akan Lawan Upaya Kriminalisasi terhadap HT)
Apalagi, lanjut dia belum tentu adanya fakta hukum yang jelas berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. "Maka harus adanya bentuk pertanggungjawaban dari aparat penegak hukum atas semua peristiwa hukum yang terjadi terhadap bentuk tindakan yang merugikan subjek hukum tersebut secara de jure," katanya.
Ketua Umum KMII, M Rizal Belhet mengatakan, penyidik Bareskrim Polri begitu cepat mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tanpa memperhitungkan akibat hukum yang terjadi. Dia mencium ada upaya memaksakan untuk menetapkan Hary Tanoesoedibjo sebagai tersangka.
"Dan tidak memenuhi kualifikasi dan atau unsur tindakan adanya muatan ancaman dan muatan untuk menakut-nakuti seseorang seperti yang dijelaskan dalam Pasal 29 juncto 45 b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujar M Rizal dalam jumpa pers di Kopi Perjuangan, Jalan Proklamasi Nomor 61, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2017).
Dia mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum, bukan sebagai negara kekuasaan. Sebagai negara hukum, kata dia segala bentuk ketidakadilan yang berujung tindakan kriminalisasi merugikan seseorang sebagai subjek hukum. (Baca: Perindo Akan Lawan Upaya Kriminalisasi terhadap HT)
Apalagi, lanjut dia belum tentu adanya fakta hukum yang jelas berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. "Maka harus adanya bentuk pertanggungjawaban dari aparat penegak hukum atas semua peristiwa hukum yang terjadi terhadap bentuk tindakan yang merugikan subjek hukum tersebut secara de jure," katanya.
(kur)