Panglima TNI: Jangan Jadikan Negeri ini Ajang Konflik Agama

Kamis, 01 Juni 2017 - 22:06 WIB
Panglima TNI: Jangan...
Panglima TNI: Jangan Jadikan Negeri ini Ajang Konflik Agama
A A A
JAKARTA - Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengatakan Indonesian saat ini menghadapi kompetisi dan ancaman global. Dalam persaingan itu tak ada kata lain kecuali menjadi pemenang dan bukan pecundang.

Untuk menjadi bangsa pemenang, jenderal berbintang empat ini menyampaikan sejumlah tantangan dan peluang yang akan dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi. Gatot menuturkan, bahwa energi yang dipakai saat ini akan habis, produksi minyak menurun, dan teori selanjutnya gaya hidup akan berubah juga.

"Perubahan juga terjadi dalam konteks bisnis, saya ilustrasikan, perusahaan taxi online, tapi perusahaan tersebut tidak memiliki armada taxi atau sepeda motor, juga bisnis berbasis online lainnya, kekuatan ekonomi bukan pada besarnya negara tapi siapa cepat negara tersebut memiliki inovasi," ujar Gatot dalam Workshop Pengawasan Inpektorat Jenderal Kementerian Agama Tahun 2017 dengan tema "Pengawasan Melalui Peneguhan Pancasila bagi Aparatur Sipil Negara (ASN)" di Jakarta, Rabu (31/5/2017).

Dikatakan Gatot, konflik negara di seluruh dunia saat ini sejatinya dilatarbelakangi oleh perebutan energi, ia memberi contoh Arab Spring. Maka ke depan, ujar dia, pasti konflik akan bergeser ke daerah ekuator, yang tadinya berlatar belakang energi, berubah karena alasan pangan.

"Inilah kompetisi global, orang yang tinggal di luar negara-negara ekuator akan terjadi krisis pangan, energi, dan air, dan di negeri ekuator termasuk Indonesia memiliki segalanya," katanya.

Dia juga menjelaskan, negara yang kalah dalam kompetisi, maka negara tersebut akan menjadi negara krisis, karena semata jadi negara pasar yang juga berimbas pada krisis sosial. Selanjutnya, Gatot melanjutkan, kompetisi yang tadinya antar negara menjadi antar manusia. Dia mencontohkan konflik yang disebabkan karena masalah tanah.

"Migrasi tidak lagi bukan karena semata pengungsi, tapi ingin mencari pencaharian yang lebih baik. Maka bila kita lengah menjaga bangsa ini, maka akan dampak migrasi tersebut," tuturnya.

Gatot juga mengingatkan, sebagai pembina umat (ASN Kemenag) Pancasila juga tidak luput juga akan digoyang. Ditandaskannya, bila Pancasila hilang, tidak ada keadilan, padahal dalam Pancasila hak dijunjung tinggi.

Di hadapan peserta yang merupakan pimpinan Kemenag dari seluruh Indonesia, Gatot menyampaikan perspektif ancaman terhadap NKRI. Ancaman pertama adalah migrasi, dan selanjutnya ancaman narkoba. Menurutnya, ada hampir 5 juta atau 2% penduduk kita terkena narkoba.

"Kita ini sudah berada dalam darurat narkoba," ucap dia.

Ancaman lainnya adalah terorisme dan radikalisme, juga penjajahan media sosial. Atas fenomena penjajahan media sosial ini, Gatot mengaku prihatin, ia menilai yang dijajah tidak merasa dijajah, bahkan rela mengeluarkan uang untuk penjajah, dan penjajahan tersebut sampai ke rumah, bahkan menokohkan penjajah sebagai pahlawan.

"Ini mengancam persatuan kesatuan bangsa," kata panglima.

Dikatakannya, dalam Pancasila, cara beragama di Indonesia sudah ditetapkan dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, cara berinteaksi di Indonesia dengan memperlakukan manusia Indonesia dengan adil dan beradab.

"Sebagai Muslim, kita harus yakin bahwa agama saya adalah paling benar. Untuk yang lain, lakum diinukum waliyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku), semua agama mengajarkan perdamaian dan kebaikan. Jangan jadikan negeri ini ajang konflik agama," kata dia.

Diakhir paparannya, Panglima mengatakan bahwa, TNI tidak sangggup melawan musuh dan mempertahankan keutuhan NKRI tanpa dukungan tokoh agama.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan di tengah tantangan kompleks, ekspektasi publik semakin besar kepada Kemenag karena mengemban amanah mengelola hal ihwal agama. Dia ingin membangun optimisme di semua kalangan bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih mempunyai komitmen terhadap Pancasila, NKRI, Bineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Ketahanan bangsa Indonesia saat ini tak terlepas dari warisan yang dirumuskan para pendiri bangsa tersebut. Warisan-warisan tersebut dicetuskan dari budaya dan identitas lokal Indonesia sebagai bangsa religius dan agamis. Dengan demikian hasil rumusannya kental dan berpijak pada nilai-nilai agama yang luhur. Betapapun Pancasila adalah pengejewantahan dan wujud manifestasi dari nilai agama itu.

"Inilah yang menjadi kewajiban kita wariskan warisan ini ke generasi penerus. Indonesia yang religius damai dan rukun harus jadi perhatian kita," kata dia.

Selanjutnya, disaksikan Lukman, Gatot menuliskan ungkapan (quote) di atas kanvas komitmen meneguhkan Pancasila. Di samping itu pula sebagai pamungkas kegiatan ini, para peserta yang terdiri pejabat eselon I dan II Kemenag Pusat, Kanwil se-Indonesia, Kemenag Kab/ Kota se-Pulau Jawa, Lampung, dan Bali, perwakilan Kemenag Kab/ Kota di luar Jawa, Lampung, dan Bali, rektor dan ketua perguruan tinggi agama negeri se-Indonesia, seluruh auditor Kemenag, dan pejabat Itjen Kemenag, membaca deklarasi kesetiaan terhadap NKRI dan merawat bersama Pancasila dan kebinekaan.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menyatakan tak perlu lagi dipertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.

Pancasila, kata Kiai Ma’ruf yang juga menjabat sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU) ini, adalah solusi kebangsaan (hulul wathaniyah) yang menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan ruh agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami lahirnya Pancasila itu.

“Pancasila justru wujud nyata peran agama dalam kehidupan bangsa Indonesia,” kata dia saat berbicara dalam Workshop bertajuk “Pengawasan Melalui Peneguhan Pancasila Bagi Aparatur Sipil Negara” yang digelar Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenag di Jakarta, Selasa (30/2017).

Namun, Kiai Ma’ruf mengingatkan perlunya kembali penguatan pemahaman dan pengalaman Pancasila. Hal itu mengingat belakangan ini muncul gerakan radikal kanan yang hendak mengganti ideologi negara. Kelompok ini tak memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan serta tak menghormati kesepakatan.

Dia menyebut, misalnya kelompok pengusung sistem khilafah yang bukan termasuk kesepakatan ulama (mujma’ alaih). Sistem yang ternyata tidak dipraktikkan di negara kelahirannya, Lebanon.

Di Timur Tengah pun sistem ini tak populis. Arab Saudi menerapkan sistem kerajaan, begitu juga Yordania, dan ada pula yang memberlakukan sistem republik.

“Kita punya konsensus nasional dan jika mau mengubahnya itu berarti pengkhianatan kesepakatan,” kata Kiai Ma’ruf yang belum lama ini mendapat penganugerahan gelar guru besar bidang ekonomi syariah dari UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang Jawa Timur.

Di sisi lain, ungkap dia, muncul ideologi liberal yang hendak melegitimasi agama dan menafsirkan Pancasila secara sekularistik. Dia pun mengajak segenap elemen bangsa menjaga Pancasila dari rongrongan kelompok kanan ataupun kiri.

Ma’ruf mengungkapkan dalam sebuah pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo, dia menegaskan, MUI yang menjadi wadah 70 ormas Islam, memiliki komitmen kuat berada dalam konsensus kebangsaan dan kenegaraan itu.

Karena itu, imbuh dia, ormas Islam yang tak berkomitmen terhadap Pancasila tidak berada dalam barisan MUI. Dalam kesempatan itu, pihaknya juga menolak pelengseran pemerintah yang sah dengan cara inkonstitusional.

Pada pertemuan itu pula, dia mengusulkan kepada Presiden segera menggelar dialog nasional multielemen bangsa yang bersifat solutif, antisipatif, dan rekonsiliatif.

Dalam workshop ini, Kiai Ma’ruf juga menekankan pentingnya peran Kemenag untuk aktif kembali menekankan nilai-nilai Pancasila sebagai perekat antarumat beragama dan modal konstitusi untuk menciptakan dan menjaga kerukunan
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1269 seconds (0.1#10.140)