Panglima TNI Sebut Korupsi Marsma Fachri Adamy Perbuatan Berlapis
A
A
A
JAKARTA - Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyebutkan tersangka Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara (Wagub AAU) Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fachri Adamy dan dua tersangka lainnya melakukan perbuatan korupsi secara berlapis.
Pusat Polisi Milter (Puspom) TNI sudah menetapkan tiga tersangka dari unsur militer dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satu helikopter AgustaWestland 101 (AW 101) senilai Rp738 miliar tahun anggaran 2016. Akibat perbuatan korup tersebut negara dirugikan sekitar Rp220 miliar.
Tiga tersebut yakni pertama, Wagub AAU Marsma Fachri Adamy (FA) dalam kapasitas jabatannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU (Kadisadaau) 2016-2017. Kedua, Letnan Kolonel (Letkol) TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas (Pekas). Ketiga, Pembantu Letnan Dua (Pelda) berinsial SS selaku staf Pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, perbuatan korupsi Marsma FA, Letkol WW, dan Pelda SS tidak hanya masuk dalam kategori penyalahgunaan kewenangan sehingga merugikan negara. Menurut Gatot, penanganan kasus dugaan korupsi di TNI atau militer berbeda dengan sangkaan yang dipergunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kemudian saya katakan ini adalah kasus bukan hanya korupsi saja. Tetapi ada ketidaktaan terhadap perintah, insubordinasi juga ada, penyalahgunaan kewenangan jabatan juga ada, kemudian ketidakpatuhan dalam pengadaan barang dan jasa juga ada, penggelapan, dan pemalsuan juga. Ya jadi beda dengan KPK. Kalau TNI semuanya kita cek," ujar Gatot saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Pernyataan ini disampaikan Jenderal Gatot merespons pertanyaan apakah Marsma TNI AU Fachri Adamy dan dua tersangka lain dijerat dengan pasal apa saja dan apakah juga dikenakan Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-(1) KUHP.
Panglima TNI mengingatkan kepada semua pihak khususnya prajurit TNI di manapun berada bahwa kejahatan korupsi adalah perbuatan melawan hukum. Karenanya, di TNI korupsi terhadap pengadaan helikopter AW-101 ini sangat merugikan prajurit.
"Karena yang menjadi objek adalah prajurit, dan yang melakukan adalah penentu kebijakan dan bisa membahayakan prajurit. Karena membeli alat utama sistem senjata dari hasil korupsi, pasti tidak maksimal dan melemahkan NKRI."
"Karena yang dilakukan (ada enam hal). Satu, ketidaktaatan terhadap perintah. Dua, penyalahgunaan wewenang jabatan. Tiga, tidak mengikuti peraturan dalam pengadaan barang dan jasa. Empat, penggelapan. Lima, pemalsuan. Sekali lagi akibat perbuatan tersebut akan menimbulkan kerugian negara," sambungnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini membeberkan, selaku panglima TNI berharap pihak-pihak terkait dengan kasus ini khususnya personel TNI bersikap kooperatif, jujur, dan bertanggung jawab.
"Sehingga perkara bisa diselesaikan dengan cepat, tuntas dan profesional," tegasnya.
Gatot mengungkapkan, anggaran yang ada yakni Rp738 miliar sebenarnya untuk helikopter VVIP. Tapi untuk helikopter angkut ini habisnya juga dengan anggaran demikian. Padahal spesifikasinya lebih tinggi VVIP. Dari itu saja sudah kelihatan adanya korupsi.
"Ini pelanggaran yang dilakukan, tidak patuh, melanggar perintah. Karena presiden sendiri sudah melarang. Bahkan ada surat langsung Seskab ke TNI AU. Tapi tetap dilakukan (pengadaan helikopter AW-101), sehingga tidak bisa dipertangungjawabkan (pembeliannya)," ucapnya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto menambahkan, pada Desember 2015 memang sudah ada perintah untuk menghentikan pengadaan helikopter satu buah. Kemudian awal 2016 helikopter VVIP diubah menjadi helikopter angkut dan hanya 1 buah.
"Memang betul TNI AU belum memiliki heli ramp door. Itu yang akan diadakan. Tapi kenyataannya 2017 heli datang pada akhir bulan Januari dan helikopter itu masih tidak sesuai spek. Sehingga satu heli itu belum kita terima sebagai kekuatan AU. Heli tidak ada dua heli, yang ada hanya satu heli versi militer yang speknya belum memenuhi versi militer," ucapnya.
Pusat Polisi Milter (Puspom) TNI sudah menetapkan tiga tersangka dari unsur militer dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satu helikopter AgustaWestland 101 (AW 101) senilai Rp738 miliar tahun anggaran 2016. Akibat perbuatan korup tersebut negara dirugikan sekitar Rp220 miliar.
Tiga tersebut yakni pertama, Wagub AAU Marsma Fachri Adamy (FA) dalam kapasitas jabatannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU (Kadisadaau) 2016-2017. Kedua, Letnan Kolonel (Letkol) TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas (Pekas). Ketiga, Pembantu Letnan Dua (Pelda) berinsial SS selaku staf Pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, perbuatan korupsi Marsma FA, Letkol WW, dan Pelda SS tidak hanya masuk dalam kategori penyalahgunaan kewenangan sehingga merugikan negara. Menurut Gatot, penanganan kasus dugaan korupsi di TNI atau militer berbeda dengan sangkaan yang dipergunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kemudian saya katakan ini adalah kasus bukan hanya korupsi saja. Tetapi ada ketidaktaan terhadap perintah, insubordinasi juga ada, penyalahgunaan kewenangan jabatan juga ada, kemudian ketidakpatuhan dalam pengadaan barang dan jasa juga ada, penggelapan, dan pemalsuan juga. Ya jadi beda dengan KPK. Kalau TNI semuanya kita cek," ujar Gatot saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Pernyataan ini disampaikan Jenderal Gatot merespons pertanyaan apakah Marsma TNI AU Fachri Adamy dan dua tersangka lain dijerat dengan pasal apa saja dan apakah juga dikenakan Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-(1) KUHP.
Panglima TNI mengingatkan kepada semua pihak khususnya prajurit TNI di manapun berada bahwa kejahatan korupsi adalah perbuatan melawan hukum. Karenanya, di TNI korupsi terhadap pengadaan helikopter AW-101 ini sangat merugikan prajurit.
"Karena yang menjadi objek adalah prajurit, dan yang melakukan adalah penentu kebijakan dan bisa membahayakan prajurit. Karena membeli alat utama sistem senjata dari hasil korupsi, pasti tidak maksimal dan melemahkan NKRI."
"Karena yang dilakukan (ada enam hal). Satu, ketidaktaatan terhadap perintah. Dua, penyalahgunaan wewenang jabatan. Tiga, tidak mengikuti peraturan dalam pengadaan barang dan jasa. Empat, penggelapan. Lima, pemalsuan. Sekali lagi akibat perbuatan tersebut akan menimbulkan kerugian negara," sambungnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini membeberkan, selaku panglima TNI berharap pihak-pihak terkait dengan kasus ini khususnya personel TNI bersikap kooperatif, jujur, dan bertanggung jawab.
"Sehingga perkara bisa diselesaikan dengan cepat, tuntas dan profesional," tegasnya.
Gatot mengungkapkan, anggaran yang ada yakni Rp738 miliar sebenarnya untuk helikopter VVIP. Tapi untuk helikopter angkut ini habisnya juga dengan anggaran demikian. Padahal spesifikasinya lebih tinggi VVIP. Dari itu saja sudah kelihatan adanya korupsi.
"Ini pelanggaran yang dilakukan, tidak patuh, melanggar perintah. Karena presiden sendiri sudah melarang. Bahkan ada surat langsung Seskab ke TNI AU. Tapi tetap dilakukan (pengadaan helikopter AW-101), sehingga tidak bisa dipertangungjawabkan (pembeliannya)," ucapnya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto menambahkan, pada Desember 2015 memang sudah ada perintah untuk menghentikan pengadaan helikopter satu buah. Kemudian awal 2016 helikopter VVIP diubah menjadi helikopter angkut dan hanya 1 buah.
"Memang betul TNI AU belum memiliki heli ramp door. Itu yang akan diadakan. Tapi kenyataannya 2017 heli datang pada akhir bulan Januari dan helikopter itu masih tidak sesuai spek. Sehingga satu heli itu belum kita terima sebagai kekuatan AU. Heli tidak ada dua heli, yang ada hanya satu heli versi militer yang speknya belum memenuhi versi militer," ucapnya.
(kri)