Didesak Jokowi Usut Korupsi Heli AW, Panglima TNI Tidak Bisa Tidur
A
A
A
JAKARTA - Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengisahkan cerita menarik di balik pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan satu helikopter AgustaWestland 101 (AW 101) senilai Rp738 miliar tahun anggaran 2016 yang berujung penetapan tiga tersangka dari militer.
Diketahui, Pusat Polisi Milter (Puspom) TNI sudah menetapkan tiga tersangka. Mereka yakni Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara (Wagub AAU) Marsekal Pertama TNI Fachri Adamy dalam kapasitas jabatannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU (Kadisadaau) 2016-2017. Kedua, Letnan Kolonel (Letkol) TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas (Pekas). Ketiga, Pembantu Letnan Dua (Pelda) berinsia SS selaku staf Pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
Ceritanya, tutur Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada awal 2016 TNI AU memberi satu helikopter VVIP kemudian diubah menjadi heli angkut. Pengadaan ini bahkan menjadi trending topic di media sosial. Bahkan, mendapat perhatian serius dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam sebuah rapat terbatas, Presiden Jokowi lantas memanggil dan menanyakan ke panglima TNI kenapa terjadi seperti ini? "Saya jelaskan di sini bagaimana ceritanya tapi tidak secara panjang lebar," ujar Gatot saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Pada rapat terbatas (rata) tersebut, lanjut dia, Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa disimpulkan dalam risalah oleh Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) No.288/seskab.dkk122015 tertanggal 3 desember 2015 bahwa atas arahan presiden sebagai berikut. Pertama, kondisi ekonomi saat ini belum benar-benar normal maka pembelian helikopter AgustaWestland (AW) belum dapat dilakukan.
"Tapi kalau kondisi ekonomi sudah lebih baik lagi bisa beli, jadi untuk saat ini jangan beli dulu, ini presiden yang menyampaikan," paparnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini menuturkan, pada poin 10 risalah yang dibuat seskab tersebut, presiden menyampaikan agar pembelian helikopter AW-101 dilakukan dengan kerangka kerja sama government to government. Kemudian seskab membuat surat ke Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dengan No.B230/Seskabpolhukam/4/2014. Surat tertanggal 12 April 2016 tersebut dengan perihal prediksi realisasi pengadaan alutsisia 2015-2016.
"Salah satunya pokoknya adalah rencana pengadaan realisasi alutsisa TNI AU produk luar negeri," imbuhnya.
Poinnya terkait rencana pengadaan tersebut, di antaranya ungkap Jenderal Gatot, pengadaan alutsista TNI sebagai bagian peralatan pertahanan keamanan harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan khususnya UU 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Kedua, pengadaan alat pertahanan keamanan produk luar negeri hanya dapat dilakukan apabila belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri sesuai dengan Pasal 43 UU Nomor 16/2012.
"Huruf 2, Presiden dalam beberapa kali ratas, terakhir 23 Februari 2016 memberikan arahan intinya seluruh kementerian/lembaga menggunakan produk dalam negeri. Yang selanjutnya perjanjian kontrak KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dengan Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW-101. Jadi kontrak 29 Juli 2016," bebernya.
Jenderal Gatot memaparkan, kemudian selaku Panglima TNI dia menerbitkan surat panglima TNI kepada TNI AU dengan No B4091/IX/2016 tertanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian heli AW-101. Semua hal tersebut, tutur Gatot, sudah dijelaskan secara detail dan rinci kepada Presiden Jokowi.
"Setelah itu presiden bertanya ke saya 'kira-kira kerugian negara berapa Bapak Panglima?'. Saya sampaikan ke presiden, kira-kira minimal Rp150 miliar. Presiden menjawab, 'menurut saya lebih dari Rp200 miliar'. Bayangkan panglima sampaikan itu, tapi presiden lebih tahu, kan malu saya," katanya.
"Presiden memerintahkan kejar terus panglima. Kita sedang mengejar tax amnesty, maka saya berjanji ke presiden akan membentuk tim investigasi," jelasnya.
Karenanya, selaku panglima TNI kemudian Gatot membuat surat Panglima TNI No.Sprin 3000/XII/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang perintah membentuk tim investigasi pengadaan pembelian heli AW-10. Panglima TNI lantas menyerahkan sepenuhnya investigasi awal ke Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik Januari 2017.
"Dan dengan bekerja cepat maka pada 24 Februari 2017, KSAU mengirimkan hasil investigasi. Dari hasil investigasi KSAU semakin jelas, tetapi ada pelaku-pelaku karena korupsi konspirasi. Saya ucapkan terima kasih Pak KSAU," ungkapnya.
Bermodal investigasi KSAU, Gatot selaku Panglima kemudian menjalin kerja sama dengan Mabes Polri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta khususnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggelar penyelidikan intensif secara terus menerus.
"Dan atas kerja sama ini sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Yang saya tahu tim saya selalu mendampingi KPK siang malam dengan teliti dan akurat," paparnya.
Dalam masa penyelidikan tersebut, Gatot menguraikan, banyak media massa atau para wartawan bertanya-tanya ke panglima TNI kapan kasus tersebut dinaikan ke penyidikan dan penetapan tersangka. Gatot menceritakan saat itu dia memilih diam.
"Karena belum ada kepastian dan menggunakan berbagai macam silat, (dan) teknik (untuk tidak menjawab). Termasuk KSAU mengatakan proses pengadaan sesuai prosedur. Ini sebenarnya teknik untuk mengelabuhi para calon tersangkanya sehingga mereka enjoy. Ah tidak ada masalah," tuturnya sembari tersenyum.
Pertemuan dan pertanyaan Presiden Jokowi ke Gatot selaku Panglima TNI kemudian ditambah Gatot. Gatot mengungkapkan, angka kerugian negara sementara dalam pengadaan helikopter AW-101 ini hampir sama dengan pernyataan Presiden Jokowi. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan TNI, ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp220 miliar, dengan basis perhitungan saat itu nilai USD1 sama dengan Rp13 ribu.
"Jadi luar biasa presiden hitung begitu cepat dan hasilnya seperti ini," paparnya.
Dia menggariskan, pengusutan TNI dengan ditetapkannya tiga tersangka dari unsur militer bukan berarti TNI lebih cepat dari KPK karena KPK belum menetapkan tersangka dari unsur sipil atau swasta-nya. Sebenarnya tutur Gatot, dia yang terus mendesak ke KPK agar cepat dilakukan koordinasi supaya ditetapkan tersangka dari unsur militer. Bahkan, TNI meminta alat bukti dari KPK untuk memperkuat penetapan tersangka dan penyidikan.
"Bukan TNI lebih cepat dari KPK, tapi saya minta lebih cepat. Supaya ada kejelasan. Karena KPK tidak diperintah presiden, panglima dikejar sama presiden, maka saya kejar KPK. Saya tidak bisa tidur saya karena diperintah presiden begitu," ucap Gatot dengan tawa lepas.
Diketahui, Pusat Polisi Milter (Puspom) TNI sudah menetapkan tiga tersangka. Mereka yakni Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara (Wagub AAU) Marsekal Pertama TNI Fachri Adamy dalam kapasitas jabatannya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU (Kadisadaau) 2016-2017. Kedua, Letnan Kolonel (Letkol) TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas (Pekas). Ketiga, Pembantu Letnan Dua (Pelda) berinsia SS selaku staf Pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
Ceritanya, tutur Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada awal 2016 TNI AU memberi satu helikopter VVIP kemudian diubah menjadi heli angkut. Pengadaan ini bahkan menjadi trending topic di media sosial. Bahkan, mendapat perhatian serius dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam sebuah rapat terbatas, Presiden Jokowi lantas memanggil dan menanyakan ke panglima TNI kenapa terjadi seperti ini? "Saya jelaskan di sini bagaimana ceritanya tapi tidak secara panjang lebar," ujar Gatot saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Pada rapat terbatas (rata) tersebut, lanjut dia, Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa disimpulkan dalam risalah oleh Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) No.288/seskab.dkk122015 tertanggal 3 desember 2015 bahwa atas arahan presiden sebagai berikut. Pertama, kondisi ekonomi saat ini belum benar-benar normal maka pembelian helikopter AgustaWestland (AW) belum dapat dilakukan.
"Tapi kalau kondisi ekonomi sudah lebih baik lagi bisa beli, jadi untuk saat ini jangan beli dulu, ini presiden yang menyampaikan," paparnya.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini menuturkan, pada poin 10 risalah yang dibuat seskab tersebut, presiden menyampaikan agar pembelian helikopter AW-101 dilakukan dengan kerangka kerja sama government to government. Kemudian seskab membuat surat ke Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dengan No.B230/Seskabpolhukam/4/2014. Surat tertanggal 12 April 2016 tersebut dengan perihal prediksi realisasi pengadaan alutsisia 2015-2016.
"Salah satunya pokoknya adalah rencana pengadaan realisasi alutsisa TNI AU produk luar negeri," imbuhnya.
Poinnya terkait rencana pengadaan tersebut, di antaranya ungkap Jenderal Gatot, pengadaan alutsista TNI sebagai bagian peralatan pertahanan keamanan harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan khususnya UU 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Kedua, pengadaan alat pertahanan keamanan produk luar negeri hanya dapat dilakukan apabila belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri sesuai dengan Pasal 43 UU Nomor 16/2012.
"Huruf 2, Presiden dalam beberapa kali ratas, terakhir 23 Februari 2016 memberikan arahan intinya seluruh kementerian/lembaga menggunakan produk dalam negeri. Yang selanjutnya perjanjian kontrak KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dengan Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW-101. Jadi kontrak 29 Juli 2016," bebernya.
Jenderal Gatot memaparkan, kemudian selaku Panglima TNI dia menerbitkan surat panglima TNI kepada TNI AU dengan No B4091/IX/2016 tertanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian heli AW-101. Semua hal tersebut, tutur Gatot, sudah dijelaskan secara detail dan rinci kepada Presiden Jokowi.
"Setelah itu presiden bertanya ke saya 'kira-kira kerugian negara berapa Bapak Panglima?'. Saya sampaikan ke presiden, kira-kira minimal Rp150 miliar. Presiden menjawab, 'menurut saya lebih dari Rp200 miliar'. Bayangkan panglima sampaikan itu, tapi presiden lebih tahu, kan malu saya," katanya.
"Presiden memerintahkan kejar terus panglima. Kita sedang mengejar tax amnesty, maka saya berjanji ke presiden akan membentuk tim investigasi," jelasnya.
Karenanya, selaku panglima TNI kemudian Gatot membuat surat Panglima TNI No.Sprin 3000/XII/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang perintah membentuk tim investigasi pengadaan pembelian heli AW-10. Panglima TNI lantas menyerahkan sepenuhnya investigasi awal ke Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik Januari 2017.
"Dan dengan bekerja cepat maka pada 24 Februari 2017, KSAU mengirimkan hasil investigasi. Dari hasil investigasi KSAU semakin jelas, tetapi ada pelaku-pelaku karena korupsi konspirasi. Saya ucapkan terima kasih Pak KSAU," ungkapnya.
Bermodal investigasi KSAU, Gatot selaku Panglima kemudian menjalin kerja sama dengan Mabes Polri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta khususnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggelar penyelidikan intensif secara terus menerus.
"Dan atas kerja sama ini sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Yang saya tahu tim saya selalu mendampingi KPK siang malam dengan teliti dan akurat," paparnya.
Dalam masa penyelidikan tersebut, Gatot menguraikan, banyak media massa atau para wartawan bertanya-tanya ke panglima TNI kapan kasus tersebut dinaikan ke penyidikan dan penetapan tersangka. Gatot menceritakan saat itu dia memilih diam.
"Karena belum ada kepastian dan menggunakan berbagai macam silat, (dan) teknik (untuk tidak menjawab). Termasuk KSAU mengatakan proses pengadaan sesuai prosedur. Ini sebenarnya teknik untuk mengelabuhi para calon tersangkanya sehingga mereka enjoy. Ah tidak ada masalah," tuturnya sembari tersenyum.
Pertemuan dan pertanyaan Presiden Jokowi ke Gatot selaku Panglima TNI kemudian ditambah Gatot. Gatot mengungkapkan, angka kerugian negara sementara dalam pengadaan helikopter AW-101 ini hampir sama dengan pernyataan Presiden Jokowi. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan TNI, ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp220 miliar, dengan basis perhitungan saat itu nilai USD1 sama dengan Rp13 ribu.
"Jadi luar biasa presiden hitung begitu cepat dan hasilnya seperti ini," paparnya.
Dia menggariskan, pengusutan TNI dengan ditetapkannya tiga tersangka dari unsur militer bukan berarti TNI lebih cepat dari KPK karena KPK belum menetapkan tersangka dari unsur sipil atau swasta-nya. Sebenarnya tutur Gatot, dia yang terus mendesak ke KPK agar cepat dilakukan koordinasi supaya ditetapkan tersangka dari unsur militer. Bahkan, TNI meminta alat bukti dari KPK untuk memperkuat penetapan tersangka dan penyidikan.
"Bukan TNI lebih cepat dari KPK, tapi saya minta lebih cepat. Supaya ada kejelasan. Karena KPK tidak diperintah presiden, panglima dikejar sama presiden, maka saya kejar KPK. Saya tidak bisa tidur saya karena diperintah presiden begitu," ucap Gatot dengan tawa lepas.
(kri)