Fadli Zon: Kerusuhan Mei 1998 Bukan Dipicu Isu SARA

Selasa, 16 Mei 2017 - 16:55 WIB
Fadli Zon: Kerusuhan Mei 1998 Bukan Dipicu Isu SARA
Fadli Zon: Kerusuhan Mei 1998 Bukan Dipicu Isu SARA
A A A
JAKARTA - Bulan Mei ini, kita mengenang 19 tahun peristiwa yang dikenal sebagai kerusuhan atau huru-hara Mei 1998. Namun belakangan ini, ada pandangan yang berkembang, seolah-olah kerusuhan tersebut dipicu oleh isu etnis, ras atau SARA. Padahal peristiwa Mei 1998 bukan kerusuhan SARA, dan bukan kerusuhan anti-Tionghoa.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon, secara tegas menyatakan bahwa kerusuhan 1998 bukan dipicu oleh isu suku, agama, ras atau SARA. Pandangan tersebut dinilainya menyesatkan. Fadli Zon telah menulis tentang peristiwa itu dalam bukunya 'Politik Huru-Hara Mei 1998' yang terbit tahun 2004.

"Bahwa kerusuhan 1998 terjadi karena krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik. Rupiah melemah dari 1 USD Rp2.300 hingga 1 USD Rp18.000. Akibatnya ekonomi lumpuh. Harga-harga meningkat tajam, daya beli turun, PHK massal," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (16/5/2017).

Dia melanjutkan, akibatnya terjadi krisis ekonomi yang meluas. Hal ini bertambah buruk karena kebijakan IMF (International Monetary Fund) yang destruktif di Indonesia seperti penutupan bank dan liberalisasi. Kepemimpinan IMF waktu itu, menurut Fadli, jelas memiliki agenda mengganti rezim yang sedang berkuasa di Indonesia.

Fadli Zon telah mengulas secara lengkap peristiwa tersebut dalam bukunya Politik Huru-Hara Mei 1998, mengungkapkan bahwa IMF sengaja menciptakan kondisi untuk terjadinya rezime change. Ini pengakuan pimpinan IMF sendiri.

"Keterlibatan IMF secara langsung dalam menangani krisis moneter di Indonesia dimulai pada 31 Oktober 1997. Yakni dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Indonesia dengan IMF," kata dia.

Namun, kata wakil ketua umum DPP Partai Gerindra ini, nota kesepahaman tersebut bukan memulihkan tapi justru makin memperparah kondisi perekonomian di Indonesia. Nilai rupiah semakin anjlok. Pasar uang dan pasar modal rontok.

Ratusan perusahaaan bertumbangan. Angka pengangguran meningkat tajam, dan harga-harga kebutuhan pokok melonjak cepat. Dampaknya, tingkat kemiskin mencapai sekitar 50% dari total penduduk.

"IMF juga menyarankan kenaikan BBM pada 4 Mei 1998, yang tentu saja direspons dengan demonstrasi besar di beberapa kota," ucapnya.

Fadli Zon menilai, IMF gagal dalam mendiagnosa krisis di Indonesia. Akibatnya, krisis yang awalnya hanya krisis moneter, berubah menjadi krisis ekonomi, dan kemudian menjadi krisis politik yang berujung pada penjarahan dan huru-hara.

Kemarahan masa memuncak pada 12 Mei 1998 ketika terjadi penembakan terhadap demonstrasi damai mahasiswa Trisakti yang menelan 4 korban. Peristiwa ini menjadi picu meledaknya huru-hara Mei 13-15 Mei 1998. Kerusuhan massal terjadi di Jakarta dan kota-kota lain dalam bentuk penjarahan dan pembakaran.

"Sehingga, jika dibaca secara utuh, kerusuhan yang terjadi pada saat itu bukanlah kerusuhan antar suku, etnis, atau SARA, seperti yang kini berusaha dikembangkan. Namun, sebagai kerusuhan yang dipicu krisis ekonomi dan kesalahan kebijakan IMF di Indonesia," tegasnya.

Sebagai bangsa yang besar, tambah ketua umum DPN HKTI ini, kita harus mencegah agar peristiwa serupa tak terulang lagi. Setiap elemen bangsa, harus belajar dari sejarah agar jangan sampai ada pihak luar yang kembali merugikan kepentingan nasional. Kita tak boleh membelokkan sejarah dan memalsukan sejarah.

"Kebhinekaan adalah keniscayaan, dan realitas Indonesia. Kebhinekaan akan menjadi kuat di tangan pemimpin yang kuat dan punya kapasitas. Tapi kebhinekaan di tangan pemimpin yang lemah dan tak punya kapasitas, akan menjadi ancaman dan bahaya," tutupnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9029 seconds (0.1#10.140)