Mahendradatta Kritik Istilah Makar yang Digunakan Aparat
A
A
A
JAKARTA - Anggota Tim Advokasi Presidium Alumni 212, Mahendradatta menegaskan, Komnas HAM bisa membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut rangkaian intimidasi, teror, dan kriminalisasi yang diduga dilakukan aparat terhadap tokoh, ulama, dan aktivis.
Menurutnya, tanpa mencari bukti-bukti dugaan kriminalisasi, Komnas HAM bisa menggunakan kewenangannya untuk membentuk TPF, karena nyata terjadi pelanggaran hak asasi terhadap toloh, ulama, dan aktivis.
Sebab, bentuk kriminalisasi yang diterima ulama dan aktivis saat ini karena dituding melakukan tindakan makar.
"Jangan lupa dalam undang-undang pidana kita, asas pidana mengatakan tidak dapat dipidana seseorang tanpa Undang-Undang (UU). Sekarang pertanyaannya saya, makar itu ada di undang-undang mana? Ndak ada," ujar Mahendradatta di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (4/5/2017).
Mahendradatta menilai, penggunaan istilah makar untuk membungkam para ulama dan aktivis dianggap sangat berbahaya. Menurutnya, selain tidak diatur dalam UU pidana, istilah makar juga diterjemahkan oleh ahli yang bukan petugas resmi negara.
(Baca juga: Alumni 212 Desak Komnas HAM Bentuk TPF Kriminalisasi Ulama)
Menurut dia, istilah yang serupa makar berasal dari bahasa Belanda yang disebut aanslag. Di mana aanslag mengharuskan adanya tindakan dari pihak-pihak yang dituduh aanslag tersebut.
Sementara kata dia, para tokoh ulama dan aktivis yang saat ini disangka melakukan makar tidak terbukti melakukan tindakan secara fisik maupun dengan alat untuk melawan pemerintah.
"Tapi berbahaya dengan jebakan kata makar. Karena makar adalah bahasa Arab. Kan ada ayatnya dalam Alquran, wa makaru wamakarullah wallahu khoiru makirin, kalau tidak salah yang artinya mohon diluruskan ustaz, sebaik-baik pembuat makar itu adalah (Allah)," ucapnya.
"Lalu kemudian kalau makar dijadikan makar berarti, sebaik-baiknya makar siapa? Jangan main-main, bahaya ini, ada makna yang dilupakan," tambahnya.
Menurutnya, tanpa mencari bukti-bukti dugaan kriminalisasi, Komnas HAM bisa menggunakan kewenangannya untuk membentuk TPF, karena nyata terjadi pelanggaran hak asasi terhadap toloh, ulama, dan aktivis.
Sebab, bentuk kriminalisasi yang diterima ulama dan aktivis saat ini karena dituding melakukan tindakan makar.
"Jangan lupa dalam undang-undang pidana kita, asas pidana mengatakan tidak dapat dipidana seseorang tanpa Undang-Undang (UU). Sekarang pertanyaannya saya, makar itu ada di undang-undang mana? Ndak ada," ujar Mahendradatta di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (4/5/2017).
Mahendradatta menilai, penggunaan istilah makar untuk membungkam para ulama dan aktivis dianggap sangat berbahaya. Menurutnya, selain tidak diatur dalam UU pidana, istilah makar juga diterjemahkan oleh ahli yang bukan petugas resmi negara.
(Baca juga: Alumni 212 Desak Komnas HAM Bentuk TPF Kriminalisasi Ulama)
Menurut dia, istilah yang serupa makar berasal dari bahasa Belanda yang disebut aanslag. Di mana aanslag mengharuskan adanya tindakan dari pihak-pihak yang dituduh aanslag tersebut.
Sementara kata dia, para tokoh ulama dan aktivis yang saat ini disangka melakukan makar tidak terbukti melakukan tindakan secara fisik maupun dengan alat untuk melawan pemerintah.
"Tapi berbahaya dengan jebakan kata makar. Karena makar adalah bahasa Arab. Kan ada ayatnya dalam Alquran, wa makaru wamakarullah wallahu khoiru makirin, kalau tidak salah yang artinya mohon diluruskan ustaz, sebaik-baik pembuat makar itu adalah (Allah)," ucapnya.
"Lalu kemudian kalau makar dijadikan makar berarti, sebaik-baiknya makar siapa? Jangan main-main, bahaya ini, ada makna yang dilupakan," tambahnya.
(maf)