Fee Proyek Alkes Banten Dibagi ke Atut, Rano, Sekda hingga Wawan
A
A
A
JAKARTA - Hasil dugaan korupsi penganggaran dan pengadaan proyek alat kesehatan (alkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten APBD 2012 dan APBDP 2012 sudah disepakati bagi-bagi uang untuk berbagai pihak mulai dari Ratu Atut Chosiyah, Rano Karno, hingga dinas dan pihak swasta.
Fakta tersebut terungkap dari kesaksian Manajer Umum dan Operasional PT Bali Pasific Pragama (BPP) Dadang Prijatna. Dadang bersama tiga saksi lainnya dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan terdakwa Ratu Atut Chosiyah selaku Gubernur Banten di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Atut selaku Gubernur Banten duduk menjadi terdakwa dalam dua perkara. Pertama, dugaan korupsi pengaturan proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2012 dan APBD Perubahan TA 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Rujukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten TA 2012.
Kedua, pemerasan dalam jabatan atau penerimaan suap dalam mengangkat dan memberhentikan kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten dengan meminta komitmen loyalitas. Dadang Prijatna menegaskan, PT BPP sudah mengikuti dan bermain dalam proyek alkes Pemprov Banten sejak 2010. Pemilik sekaligus Komisaris Utama PT BPP adalah Tb Chaeri Wardana Chasan alias Wawan.
Dalam pengadaan 2010 termasuk alkes APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012, pengurusannya dilakukan Wawan beserta kolega dan orang kepercayaan seperti Dadang dan Direktur PT Java Medika Yuni Astuti sejak proses penggaran disusun Dinas Kesehatan (Dinkes), pengajuan anggaran ke DPRD, proses peminjaman nama lebih dari 10 perusahaan, penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) bukan oleh panitia pengadaan dan Dinkes, penentuan pemenang tender hingga pembagian jatah uang.
"Ada pembagian hasil. Perhitungan untuk BPP, Pak Wawan 43,5%. Ada untuk dinas 7% di bagi-bagi macam-macam ada untuk kepala dinas (saat itu) Pak Djaja (Djaja Buddy Suhardja) dan panitia. Ada juga untuk A1, A2, dan ada untuk Sekda (saat itu dijabat Muhadi) 0,75%."
"A1 itu Bu Atut sebesar 2,5% angkanya Rp3,68 miliar. A2 Rano Karno jatahnya 0,5%, ada penyerahan untuk Rano 350 (Rp350 juta). Ada untuk perusahaan yang pinjam bender 1%. A1 dan A2 penyaluran (uangnya) melalui dinas," tegas Dadang di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kode atau sandi A1 untuk Atut dan A2 untuk Rano diduga dipergunakan dengan melihat korelasi plat nomor mobil dinas yang dipergunakan Atut sebagai gubernur (A 1) dan Rano sebagai wakil gubernur (A 2).
Dadang melanjutkan, meski PT BPP atau Wawan tidak menjadi pelaksana proyek tapi memang memiliki jatah yang sangat besar. Menurut Dadang, untuk lebih dari 10 perusahaan yang dipinjam namanya maka semua dibereskan dengan cara diberikan uang muka. Bahkan, Dadang melaporkannya ke Wawan.
Dadang menggariskan, jatah fee 2,5% untuk Atut tidak hanya berlaku untuk Dinkes tapi dinas-dinas lain seperti Dinas Pekerjaan Umum. Permintaan dan jatah uang untuk Atut termasuk untuk Rano Karno bahkan disetujui Wawan. Dadang menegaskan, uang untuk Atut dan Rano memang diantarkan Djaja Buddy Suhardja selaku kepala Dinkes saat itu. Ada juga uang untuk Atut diantarkan dokter Jana Sunawati.
"Sudah keluar dari kas saya. Sudah disetujui pak Wawan," tandansya.
Tiga saksi selain Dadang Prijatna yakni, dokter Jana Sunawati (Kabid Pelayanan RSUD Banten sekaligus Pejabat Pelaksana Teknis Kesehatan/PPTK 2012), Abdul Rohman (Sekretaris Panitia Pengadaan 2012), dan Ahmad Saepudin alias Dini (wiraswasta, pengusaha).
Dokter Jana Sunawati menuturkan, untuk pengadaan alkes memang dilakukan survei tapi hanya sekadar formalitas. Mereka turun ke sebuah lokasi di Gandaria City, Kebayoran Lama hanya untuk melihat-lihat saja.
Bahkan pejabat Dinkes dan panitia pengadaan tidak pernah mencatat berapa harganya. Harga perkiraan sementara (HPS) alkes sudah dibuatkan lebih dulu oleh orang kepercayaan Wawan merangkap Direktur PT Java Medika Yuni Astuti.
Jana memastikan, memang ada uang yang dia serahkan untuk Atut. Jana memastikan, setelah uang tersebut tersedia dan diantarkan utusan Dadang maka Jana menelepon Siti Halimah alias Iim selaku orang yang bekerja untuk Atut atau ajudan sekaligus bendahara Atut.
"Biasanya saya telepon Bu Iim kalau uangnya sudah ada. Ada juga saya dipanggil ke Pendopo Oktober 2013 sama pak Djaja. Saya diminta Pak Djaja carikan uang Rp100 juta untuk istigasah Bu Atut. Sudah saya serahkan," tandasnya.
Fakta tersebut terungkap dari kesaksian Manajer Umum dan Operasional PT Bali Pasific Pragama (BPP) Dadang Prijatna. Dadang bersama tiga saksi lainnya dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan terdakwa Ratu Atut Chosiyah selaku Gubernur Banten di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Atut selaku Gubernur Banten duduk menjadi terdakwa dalam dua perkara. Pertama, dugaan korupsi pengaturan proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2012 dan APBD Perubahan TA 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Rujukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten TA 2012.
Kedua, pemerasan dalam jabatan atau penerimaan suap dalam mengangkat dan memberhentikan kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten dengan meminta komitmen loyalitas. Dadang Prijatna menegaskan, PT BPP sudah mengikuti dan bermain dalam proyek alkes Pemprov Banten sejak 2010. Pemilik sekaligus Komisaris Utama PT BPP adalah Tb Chaeri Wardana Chasan alias Wawan.
Dalam pengadaan 2010 termasuk alkes APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012, pengurusannya dilakukan Wawan beserta kolega dan orang kepercayaan seperti Dadang dan Direktur PT Java Medika Yuni Astuti sejak proses penggaran disusun Dinas Kesehatan (Dinkes), pengajuan anggaran ke DPRD, proses peminjaman nama lebih dari 10 perusahaan, penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) bukan oleh panitia pengadaan dan Dinkes, penentuan pemenang tender hingga pembagian jatah uang.
"Ada pembagian hasil. Perhitungan untuk BPP, Pak Wawan 43,5%. Ada untuk dinas 7% di bagi-bagi macam-macam ada untuk kepala dinas (saat itu) Pak Djaja (Djaja Buddy Suhardja) dan panitia. Ada juga untuk A1, A2, dan ada untuk Sekda (saat itu dijabat Muhadi) 0,75%."
"A1 itu Bu Atut sebesar 2,5% angkanya Rp3,68 miliar. A2 Rano Karno jatahnya 0,5%, ada penyerahan untuk Rano 350 (Rp350 juta). Ada untuk perusahaan yang pinjam bender 1%. A1 dan A2 penyaluran (uangnya) melalui dinas," tegas Dadang di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kode atau sandi A1 untuk Atut dan A2 untuk Rano diduga dipergunakan dengan melihat korelasi plat nomor mobil dinas yang dipergunakan Atut sebagai gubernur (A 1) dan Rano sebagai wakil gubernur (A 2).
Dadang melanjutkan, meski PT BPP atau Wawan tidak menjadi pelaksana proyek tapi memang memiliki jatah yang sangat besar. Menurut Dadang, untuk lebih dari 10 perusahaan yang dipinjam namanya maka semua dibereskan dengan cara diberikan uang muka. Bahkan, Dadang melaporkannya ke Wawan.
Dadang menggariskan, jatah fee 2,5% untuk Atut tidak hanya berlaku untuk Dinkes tapi dinas-dinas lain seperti Dinas Pekerjaan Umum. Permintaan dan jatah uang untuk Atut termasuk untuk Rano Karno bahkan disetujui Wawan. Dadang menegaskan, uang untuk Atut dan Rano memang diantarkan Djaja Buddy Suhardja selaku kepala Dinkes saat itu. Ada juga uang untuk Atut diantarkan dokter Jana Sunawati.
"Sudah keluar dari kas saya. Sudah disetujui pak Wawan," tandansya.
Tiga saksi selain Dadang Prijatna yakni, dokter Jana Sunawati (Kabid Pelayanan RSUD Banten sekaligus Pejabat Pelaksana Teknis Kesehatan/PPTK 2012), Abdul Rohman (Sekretaris Panitia Pengadaan 2012), dan Ahmad Saepudin alias Dini (wiraswasta, pengusaha).
Dokter Jana Sunawati menuturkan, untuk pengadaan alkes memang dilakukan survei tapi hanya sekadar formalitas. Mereka turun ke sebuah lokasi di Gandaria City, Kebayoran Lama hanya untuk melihat-lihat saja.
Bahkan pejabat Dinkes dan panitia pengadaan tidak pernah mencatat berapa harganya. Harga perkiraan sementara (HPS) alkes sudah dibuatkan lebih dulu oleh orang kepercayaan Wawan merangkap Direktur PT Java Medika Yuni Astuti.
Jana memastikan, memang ada uang yang dia serahkan untuk Atut. Jana memastikan, setelah uang tersebut tersedia dan diantarkan utusan Dadang maka Jana menelepon Siti Halimah alias Iim selaku orang yang bekerja untuk Atut atau ajudan sekaligus bendahara Atut.
"Biasanya saya telepon Bu Iim kalau uangnya sudah ada. Ada juga saya dipanggil ke Pendopo Oktober 2013 sama pak Djaja. Saya diminta Pak Djaja carikan uang Rp100 juta untuk istigasah Bu Atut. Sudah saya serahkan," tandasnya.
(kri)