Seret Nama-nama Besar, LPSK: Potensi Ancaman Kasus E-KTP Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) mulai bergulir. Sejumlah nama-nama besar seperti politisi, pejabat dan mantan pejabat negeri ini yang tersangkut mulai terungkap.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai, potensi terjadinya intimidasi bahkan ancaman terhadap mereka yang mengetahui kasus senilai Rp5,9 triliun atau bahkan menjadi saksi dalam persidangan cukup tinggi.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya mempersilakan saksi atau pihak-pihak lain yang mengetahui kasus ini, namun takut mengungkapkannya ke penegak hukum akibat intimidasi atau ancaman, dapat mengajukan permohonan perlindungan.
“Kita menilai potensi intimidasi dan ancaman dalam kasus KTP elektronik cukup tinggi. LPSK membuka diri seandainya ada pihak yang membutuhkan perlindungan,” ujarnya lewat rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (9/3/2017).
Kasus korupsi, menurut Semendawai, merupakan salah satu dari tujuh kasus prioritas yang ditangani LPSK sesuai amanat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kehadiran LPSK juga di antaranya untuk membantu pengungkapan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Caranya yaitu dengan memastikan terpenuhinya hak-hak saksi, pelapor (whistle blower), saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) bahkan ahli.
Pada sidang awal yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus korupsi e-KTP baru mendudukkan dua orang terdakwa, yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman.
Namun, isyarat dari KPK, kasus ini berkembang dan ada pelaku lain selain kedua terdakwa yang disidangkan. Kedua terdakwa sebelumnya juga sudah mengajukan diri menjadi juctice collaborator dengan membantu penegak hukum melalui pemberian keterangan yang seluas-luasnya.
“Kita apresiasi terdakwa yang bersedia membantu penegak hukum dengan memberikan keterangan untuk membongkar keterlibatan pihak lain,” tutur Semendawai.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai, potensi terjadinya intimidasi bahkan ancaman terhadap mereka yang mengetahui kasus senilai Rp5,9 triliun atau bahkan menjadi saksi dalam persidangan cukup tinggi.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pihaknya mempersilakan saksi atau pihak-pihak lain yang mengetahui kasus ini, namun takut mengungkapkannya ke penegak hukum akibat intimidasi atau ancaman, dapat mengajukan permohonan perlindungan.
“Kita menilai potensi intimidasi dan ancaman dalam kasus KTP elektronik cukup tinggi. LPSK membuka diri seandainya ada pihak yang membutuhkan perlindungan,” ujarnya lewat rilis yang diterima SINDOnews, Kamis (9/3/2017).
Kasus korupsi, menurut Semendawai, merupakan salah satu dari tujuh kasus prioritas yang ditangani LPSK sesuai amanat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kehadiran LPSK juga di antaranya untuk membantu pengungkapan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Caranya yaitu dengan memastikan terpenuhinya hak-hak saksi, pelapor (whistle blower), saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) bahkan ahli.
Pada sidang awal yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus korupsi e-KTP baru mendudukkan dua orang terdakwa, yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman.
Namun, isyarat dari KPK, kasus ini berkembang dan ada pelaku lain selain kedua terdakwa yang disidangkan. Kedua terdakwa sebelumnya juga sudah mengajukan diri menjadi juctice collaborator dengan membantu penegak hukum melalui pemberian keterangan yang seluas-luasnya.
“Kita apresiasi terdakwa yang bersedia membantu penegak hukum dengan memberikan keterangan untuk membongkar keterlibatan pihak lain,” tutur Semendawai.
(kri)