KPU Optismitis Pemungutan Suara Berlangsung Lancar

Selasa, 14 Februari 2017 - 11:10 WIB
KPU Optismitis Pemungutan Suara Berlangsung Lancar
KPU Optismitis Pemungutan Suara Berlangsung Lancar
A A A
JAKARTA - Setelah membeberkan visi dan misi selama 3,5 bulan, para pasangan calon di 101 daerah akan bertarung secara terbuka di pemilihan kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) optismitis pilkada serentak akan berlangsung lancar meski sehari sebelum pencoblosan masih terdapat masalah.

Dalam wawancara dengan KORAN SINDO, Ketua KPU Juri Ardiantoro membeberkan bagaimana tingkat kesiapan dan semua antisipasi pesta demokrasi di Indonesia itu. Berikut ini petikan wawancaranya :

T : Menjelang pemungutan suara, bagaimana persiapan pilkada di 101 daerah?

J : Kalau secara umum menurut hasil monitoring dan laporan-laporan yang masuk dari 101 daerah, pertama bisa dipastikan pemungutan suara dalam pilkada akan berlangsung serentak. Ini kan beda dengan Pilkada 2015, di mana pemungutan suara tidak bisa serentak karena ada konflik a atau sengketa pencalonan yang berkepanjangan. Kalau ini kan ada konflik sengketa, tapi bisa diselesaikan. Jadi, yang pertama yang jadi komitmen bersama adalah pilkada serentak akan dilaksanakan serentak di 101 daerah. Kedua, seluruh tahapan yang berjalan sudah sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan secara umum berjalan dengan baik, lancar.

Tidak ada kendala misalnya dalam hal rekrutmen petugas, logistik, kampanye, penyiapan daftar pemilih; walaupun ada beberapa catatan daftar pemilih yang harus segera diatasi. Salah satu yang masih jadi persoalan dalam daftar pemilih adalah ada warga yang memiliki hak pilih, tapi karena tidak punya identitas kependudukan, surat keterangan yang bersangkutan tidak bisa masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Tapi secara umum, persiapan kita relatif baik, lancar.

Ketiga memang ada fakta bahwa peserta Pilkada kita itu turun, jumlahnya ratarata turun per daerah. Kalau 2015 itu paling banyak 3-4 pasangan calon, kalau sekarang hanya 2-3 pasangan calon. Selain itu, juga meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal, kalau yang lalu itu 3 daerah sekarang ada 9 daerah. Tinggal sekarang memastikan tahapan- tahapan tersisa jelang hari pemungutan suara, yakni distribusi logistik, kemudian apakah daerah-daerah sudah bisa dipastikan logistik akan sampai di tempatnya pada waktu ditentukan, sehingga tidak ada cerita seperti dulu di Papua pilkada ditunda karena logistik belum sampai, bukan karena tidak dikirim tapi karena alasan geografis, cuaca, dan lainnya, termasuk kemungkinan adanya gangguan sehingga harus cari spare waktu yang panjang.

Kemudian yang jadi perhatian kita juga jelang hari H, masa kritis hari tenang. Karena hari tenang itu siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang bermuatan kampanye, tapi tentu ada orang yang ingin cari kesempatan. Yang sering diperbincangkan adalah kemungkinan politik uang pada hari tenang, ini yang harus diwaspadai.

T : Ada perlakuan khusus antisipasi pelanggaran hari tenang?


J : Khusus tidak, karena semua orang sudah paham apa itu hari tenang, apa yang boleh dan tidak dilakukan di hari tenang, maka KPU hanya mengimbau kepada masyarakat, kepada tim pendukung agar menghormati hari tenang. Dan kalau ada kegiatan dikategorikan kampanye, itu kan bisa di pidana pemilu dan itu bisa dihukum orang itu.

T : Kalau ditemukan ada kegiatan yang dilarang, tanggung jawab siapa?


J : Ya makanya dalam peraturan diatur pasangan calon harus mengidentifikasi siapa yang jadi pendukungnya, timsesnya atau pihak lain yang jadi pendukung. Itu diatur. Penanggungjawabnya tidak hanya pelaksana, tapi juga calon. Jadi kalau ada pelanggaran, calonnya harus bertanggung jawab. Bahkan dalam ancaman pidana bisa kena calonnya, misalnya soal politik uang.

T : Ada kaitan jumlah pasangan calon dengan partisipasi pemilih?


J : Sebab kenapa orang mau datang ke TPS juga sebaliknya, itu terkait dengan partisipasi itu memang harus dicek melalui riset, dan kita sudah melakukan. Tapi selalu kita tidak berani mengklaim turunnya partisipasi karena sebab ini atau itu, atau karena tadi disebut karena sedikitnya pasangan calon. Ada beberapa daerah yang rendah, ada juga yang calonnya sedikit partisipasinya tinggi. Jadi agak sulit untuk memastikan. Tapi memang betul dari pilkada ke pilkada cenderung turun.

Orang datang ke TPS itu turun, bahkan 2015 ada yang lumayan spektakuler penurunannya, Medan hanya 26,7%, bisa karena DPT bermasalah, atau ada persoalan tertentu di daerahnya jadi perlu dicek. Tapi memang perlu gerakan, langkahlangkah mendorong masyarakat untuk datang ke TPS, ini kesempatan yang baik menentukan siapa yang pantas jadi pemimpinnya. Jangan sampai orang tidak mau datang ke TPS dan yang terpilih bukan yang dikehendaki. Ini yang harus disosialisasikan.

T : Target Pemilih hingga 77,5%?


J : Iya target kan sebetulnya kita ingin setinggi- tingginya. Kemarin kita target 77,5% juga tidak sampai.

T : Ada pengaruh sistem kampanye ke partisipasi pemilih ?

J : Bisa jadi, sistem saat ini membuat kampanye tidak meriah. Tapi menurut saya, tidak signifikan kalaupun ada pengaruhnya. Kenapa, karena sekarang orang bisa mengakses informasi tentang pilkada, khususnya kapan hari pemungutan suara dari berbagai sumber. Bahkan hampir semua media elektronik cetak, membincangkan sehingga pilkada jadi konsumsi sehari-hari. Seluruh rumah ditempeli stiker dari KPU daerah masing-masing yang memuat tentang DPT, dan memuat tulisan tentang hari pemungutan suara.

Berarti kan mereka tahu kapan mencoblosnya. Ini yang memang jadi soal juga apa sebabnya, tapi berdasarkan teori, semakin banyak orang terlibat dalam datang ke TPS partisipasinya semakin tinggi. Misalnya kenapa pileg tinggi, karena caleg bekerja mencari dukungan dan mendorong orang untuk datang ke TPS. Jadi memang bisa dibenarkan, semakin banyak orang yang bekerja untuk mendorong orang datang ke TPS.

T : Bagaimana dengan daerah calon tunggal?


J : Soal calon tunggal ini memang masih ada sedikit problem dari pengaturan karena putusan MK mengenai dimungkinkannya pilkada diikuti oleh satu pasangan calon di sisi lain UU 10/2016 itu memang tidak secara detail mengatur pilkada dengan satu pasangan calon. Peraturan KPU juga tidak terlalu banyak mengakomodasi atau mengatur masalah ini. Misalnya bagaimana mengatur mengenai status kolom kosong dan pendukungnya apakah pendukung semua orang bisa mengorganisir kotak kosong atau tidak, padahal MK menentukan orang yang punya legal standing mengajukan gugatan adalah pemantau pemilu independen yang teregistrasi di KPU daerah.

Pertanyaannya adalah, kalau itu pemantau pemilu independen, tapi mendukung kotak kosong berarti kan tidak independen lagi. Kemudian, bagaimana hak dia mengawasi di TPS sementara statusnya sebagai pemantau yang tidak bisa sama dengan saksi. Kemudian yang paling prinsipil dan belum diatur adalah bagaimana kalau kotak kosong menang atau suaranya terbanyak dan pilkada diulang, bagaimana mengulangnya apakah dengan calon tunggal saja, atau dari awal membuka pendaftaran ulang sehingga calon lebih dari satu sehingga terjadi kocok ulang pendaftaran. Nah, itu semua belum secara memadai diatur.

T : Bawaslu sampaikan hasil daerah rawan dan tidak rawan. Kondisi terakhir dari pantauan KPU bagaimana?

J : Ya, data dari Bawaslu beberapa waktu lalu yang menilai kerawanan daerah bagi KPU ini bagus saja kita dibantu untuk mendapatkan data informasi terhadap daerah-daerah yang pilkada dan kita dengan mudah mencari jalan keluar kalau potensi itu muncul. Itu kan potensi, dan sejak IKP di-launching kita semua refleksi, evaluasi dan kalau iya bagaimana cara mengatasinya. Dan itu semua proses alami yang kemudian membuat semua pihak waspada termasuk KPU.

Tanpa bermaksud mengabaikan daerah lain, memang harus diakui Jakarta, Aceh, Papua itu harus mendapat perhatian yang tidak biasa saja karena karakteristiknya masing-masing. Jakarta yang pilkada ibukotanya terasa pilpres ketegangannya kuat, permainan media cara mempengaruhi, berkomunikasi mendorong orang dapat informasi, maupun fitnah, hoax sehingga membuat kegaduhan tersendiri.

Di samping isu lainnya menyangkut calon dan lainnya ada gerakan penghadangan, penolakan, dukungan dan lainnya, itu semua mudah kita identifikasi dan menurut saya ini sesuatu yang tidak produktif dan wajib kita cegah. Papua juga begitu, yang begitu sulit, data kependudukannya juga yang belum terlalu rapi, transportasi susah, jaringan komunikasi susah, di samping setting politik yang kita sama-sama tahu di Papua, ada noken dan sebagainya.

Aceh juga yang paling banyak pilkadanya di Indonesia, yang diikuti oleh banyak calon, ada 20 kabupaten/kota yang ikut jadi sebagai daerah bekas konflik tentu ini juga jadi perhatian yang tidak sederhana. Daerah lain juga potensinya ada tapi semua bisa diatasi kalau masalah muncul. Insya Allah aman. (Dian Ramdhani)
KPU Optismitis Pemungutan Suara Berlangsung Lancar
(bbk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6785 seconds (0.1#10.140)