KPK Tetapkan Atase Imigrasi KBRI Malaysia Tersangka Suap
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo sebagai tersangka penerima suap.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, berdasarkan pengembangan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out 2016 dan proses penerbitan calling visa 2013-2016 di KBRI Kuala Lumpur, kemudian ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan kasusnya ke tahap penyidikan.
Bersamaan dengan itu, KPK meningkatkan status Atase Imigrasi di KBRI Kuala Lumpur Dwi Widodo sebagai tersangka penerima suap.
"Tersangka DW selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang menjabat sebagai Atase Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia diduga menerima suap Rp1 miliar dalam penerbitan paspor reach out dan proses penerbitan calling visa tersebut," kata Febri saat konferensi di Gedung baru KPK, Jakarta, Selasa (7/2/2017).
Dari penelusuran KORAN SINDO, Dwi Widodo pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau dan Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur 2012-2013.
Setelah di Tanjung Perak, Dwi kemudian ditugaskan atau diperbantukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asai Manusia (Kemenkumham) untuk menjadi Atase Imigrasi di KBRI Malaysia.
Dwi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Febri membeberkan, modus yang dilakukan Dwi ada beberapa. Pertama, Dwi diduga meminta sejumlah perusahaan untuk menjadi agen atau calo atau makelar untuk menyasar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di perusahaan yang sudah habis masa berlaku atau rusak paspor dan visa serta tidak bisa mengurus langsung di KBRI.
Kedua, dari pengurusan tersebut, Dwi meminta perusahaan makelar agar memberikan sejumlah uang kepadanya. "Pungutan yang dilakukan melebihi tarif resmi. Berapa jumlah tarif dan selisihnya belum bisa disampaikan saat ini," ucap Febri.
"Memang variatif. Jadi tersangka DW meminta pihak agen perusahaan yang menjadi kuasa/penjamin WNA untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya," imbuhnya.
Mantan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini membeberkan, kasus ini bermula dari inspeksi pelayanan publik yang dilakukan Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC) atau KPK-nya Malaysia di Kuala Lumpur terkait pelayanan paspor dengan metode reach out dan calling visa.
Karenanya, penanganan kasus dugaan suap pengurusan penerbitan paspor dan visa ini merupakan hasil kerja sama antara KPK dengan MACC atau sejak pertengahan 2016. Saat ini kedua lembaga, MACC, dan KPK sedang melakukan penyidikan terkait subjek hukum yang kewenangan masing-masing.
"Pihak MACC sesuai kewenangannya menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi dan beberapa warga negara Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Sedangkan KPK menyidik DW selaku PPNS yang menjabat sebagai atase Imigrasi," tegas Febri.
Untuk penanganan kasus ini, tim KPK sudah menggeledah rumah Dwi di Depok, Jawa Barat pada Senin (6/2/2017). Dari penggeledahan disita sejumlah dokumen. Febri membeberkan, untuk pengembangan perkara nantinya akan diusut dugaan penerimaan lain yang diduga dilakukan Dwi.
Selain itu juga didalami bukti-bukti dugaan adanya aliran dana ke pegawai negeri atau penyelenggara negara selain Dwi di KBRI Kuala Lumpur. "Kami belum menemukan pihak lain yang juga menikmati aliran dana, namun tentu saja proses pendalaman akan terus dilakukan," tandasnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, berdasarkan pengembangan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out 2016 dan proses penerbitan calling visa 2013-2016 di KBRI Kuala Lumpur, kemudian ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan kasusnya ke tahap penyidikan.
Bersamaan dengan itu, KPK meningkatkan status Atase Imigrasi di KBRI Kuala Lumpur Dwi Widodo sebagai tersangka penerima suap.
"Tersangka DW selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang menjabat sebagai Atase Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia diduga menerima suap Rp1 miliar dalam penerbitan paspor reach out dan proses penerbitan calling visa tersebut," kata Febri saat konferensi di Gedung baru KPK, Jakarta, Selasa (7/2/2017).
Dari penelusuran KORAN SINDO, Dwi Widodo pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau dan Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur 2012-2013.
Setelah di Tanjung Perak, Dwi kemudian ditugaskan atau diperbantukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asai Manusia (Kemenkumham) untuk menjadi Atase Imigrasi di KBRI Malaysia.
Dwi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Febri membeberkan, modus yang dilakukan Dwi ada beberapa. Pertama, Dwi diduga meminta sejumlah perusahaan untuk menjadi agen atau calo atau makelar untuk menyasar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di perusahaan yang sudah habis masa berlaku atau rusak paspor dan visa serta tidak bisa mengurus langsung di KBRI.
Kedua, dari pengurusan tersebut, Dwi meminta perusahaan makelar agar memberikan sejumlah uang kepadanya. "Pungutan yang dilakukan melebihi tarif resmi. Berapa jumlah tarif dan selisihnya belum bisa disampaikan saat ini," ucap Febri.
"Memang variatif. Jadi tersangka DW meminta pihak agen perusahaan yang menjadi kuasa/penjamin WNA untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya," imbuhnya.
Mantan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini membeberkan, kasus ini bermula dari inspeksi pelayanan publik yang dilakukan Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC) atau KPK-nya Malaysia di Kuala Lumpur terkait pelayanan paspor dengan metode reach out dan calling visa.
Karenanya, penanganan kasus dugaan suap pengurusan penerbitan paspor dan visa ini merupakan hasil kerja sama antara KPK dengan MACC atau sejak pertengahan 2016. Saat ini kedua lembaga, MACC, dan KPK sedang melakukan penyidikan terkait subjek hukum yang kewenangan masing-masing.
"Pihak MACC sesuai kewenangannya menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi dan beberapa warga negara Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Sedangkan KPK menyidik DW selaku PPNS yang menjabat sebagai atase Imigrasi," tegas Febri.
Untuk penanganan kasus ini, tim KPK sudah menggeledah rumah Dwi di Depok, Jawa Barat pada Senin (6/2/2017). Dari penggeledahan disita sejumlah dokumen. Febri membeberkan, untuk pengembangan perkara nantinya akan diusut dugaan penerimaan lain yang diduga dilakukan Dwi.
Selain itu juga didalami bukti-bukti dugaan adanya aliran dana ke pegawai negeri atau penyelenggara negara selain Dwi di KBRI Kuala Lumpur. "Kami belum menemukan pihak lain yang juga menikmati aliran dana, namun tentu saja proses pendalaman akan terus dilakukan," tandasnya.
(maf)