Membaca Karakter Ahok dari Kaca Mata Psikolog
A
A
A
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) seolah tidak berhenti menyita perhatian publik.
Sebelum tersangkut kasus dugaan penistaan agama, Ahok sudah dikenal sebagai sosok temperamen, blak-blakan, ceplas-ceplos dan tidak jarang menunjukkan emosinya di hadapan publik.
Belakangan, Ahok sempat terlihat lebih tenang dan terkesan lebih rendah hati. Hingga akhirnya Ahok kembali menjadi sorotan publik terkait sikapnya terhadap Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin yang hadir menjadi saksi ahli dalam persidangan perkaranya, Rabu 31 Januari 2017. (Baca juga: GP Ansor: Seolah-olah Ahok Posisikan Ma'ruf Amin Terdakwa)
Menanggapi hal tersebut, psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan setiap manusia memiliki karakteristik pribadi yang dipengaruh dua faktor, yakni sifat bawaan lahir dan lingkungan.
Dia menganggap wajar apabila karakter Ahok sempat berubah. Menurut dia, setiap manusia memiliki "topeng-topeng" untuk menyesuaikan diri dan dapat diterima oleh lingkungan.
Shinta memisalkan, ketika orang yang berkepribadian introvert harus menjadi pribadi terbuka karena tuntutan pekerjaan yang memaksanya menjalin hubungan dengan orang lain.
"Maka orang itu berupaya membuka diri menjadi lebih ekstrovert," kata Shinta, Rabu 1 Februari 2017. (Baca juga: Hardik KH Ma'ruf Amin di Sidang, Ahok Minta Maaf)
Kendati demikian dikatakan Shinta, bukan berarti orang itu telah mengubah kepribadian. Lebih tepatnya, kata dia, orang itu berubah agar sesuai tuntutan lingkungan sosialnya.
Dia menilai perubahan semacam itu baik karena didorong oleh rasa ingin menyesuaikan diri dengan lingkungannya. "Tetapi tetap saja karakter kepribadian seseorang, apalagi sudah pada usia yang matang sulit berubah," katanya.
Shinta tidak setuju jika perubahan sikap Ahok yang sempat menjadi lebih "kalem" dianggap pencitraan. Dia menduga perubahan tersebut bagian dari cara Ahok memahami apa yang telah dialaminya.
"Mungkin sekarang Ahok baru merasa bahwa kadang yang disampaikannya tidak bisa diterima oleh orang lain, bahkan bisa dibawa ke ranah hukum. Maka dia berusaha untuk berubah menjadi lebih santun sesuai tuntutan lingkungannya," tuturnya. (Baca juga: Menanti Basuki yang Pasif, Ahok si Penyerang)
Terlebih, kata dia, masyarakat Indonesia umumnya terbiasa berbasa-basi dan tidak terbiasa melihat gaya seseorang yang menyampaikan sesuatu secara gamblang.
"Masalahnya Ahok tidak berkarakter tersebut. Sehingga wajar ketika dia berusaha mengubah perilaku (bukan kepribadiannya) dianggap pencitraan. Karena karakter pribadinya memang seperti itu maka ketika ada trigger (pemicu) yang menyentuh emosinya, sangat mungkin dia kembali ke pribadi asalnya," katanya.
Sebelum tersangkut kasus dugaan penistaan agama, Ahok sudah dikenal sebagai sosok temperamen, blak-blakan, ceplas-ceplos dan tidak jarang menunjukkan emosinya di hadapan publik.
Belakangan, Ahok sempat terlihat lebih tenang dan terkesan lebih rendah hati. Hingga akhirnya Ahok kembali menjadi sorotan publik terkait sikapnya terhadap Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin yang hadir menjadi saksi ahli dalam persidangan perkaranya, Rabu 31 Januari 2017. (Baca juga: GP Ansor: Seolah-olah Ahok Posisikan Ma'ruf Amin Terdakwa)
Menanggapi hal tersebut, psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan setiap manusia memiliki karakteristik pribadi yang dipengaruh dua faktor, yakni sifat bawaan lahir dan lingkungan.
Dia menganggap wajar apabila karakter Ahok sempat berubah. Menurut dia, setiap manusia memiliki "topeng-topeng" untuk menyesuaikan diri dan dapat diterima oleh lingkungan.
Shinta memisalkan, ketika orang yang berkepribadian introvert harus menjadi pribadi terbuka karena tuntutan pekerjaan yang memaksanya menjalin hubungan dengan orang lain.
"Maka orang itu berupaya membuka diri menjadi lebih ekstrovert," kata Shinta, Rabu 1 Februari 2017. (Baca juga: Hardik KH Ma'ruf Amin di Sidang, Ahok Minta Maaf)
Kendati demikian dikatakan Shinta, bukan berarti orang itu telah mengubah kepribadian. Lebih tepatnya, kata dia, orang itu berubah agar sesuai tuntutan lingkungan sosialnya.
Dia menilai perubahan semacam itu baik karena didorong oleh rasa ingin menyesuaikan diri dengan lingkungannya. "Tetapi tetap saja karakter kepribadian seseorang, apalagi sudah pada usia yang matang sulit berubah," katanya.
Shinta tidak setuju jika perubahan sikap Ahok yang sempat menjadi lebih "kalem" dianggap pencitraan. Dia menduga perubahan tersebut bagian dari cara Ahok memahami apa yang telah dialaminya.
"Mungkin sekarang Ahok baru merasa bahwa kadang yang disampaikannya tidak bisa diterima oleh orang lain, bahkan bisa dibawa ke ranah hukum. Maka dia berusaha untuk berubah menjadi lebih santun sesuai tuntutan lingkungannya," tuturnya. (Baca juga: Menanti Basuki yang Pasif, Ahok si Penyerang)
Terlebih, kata dia, masyarakat Indonesia umumnya terbiasa berbasa-basi dan tidak terbiasa melihat gaya seseorang yang menyampaikan sesuatu secara gamblang.
"Masalahnya Ahok tidak berkarakter tersebut. Sehingga wajar ketika dia berusaha mengubah perilaku (bukan kepribadiannya) dianggap pencitraan. Karena karakter pribadinya memang seperti itu maka ketika ada trigger (pemicu) yang menyentuh emosinya, sangat mungkin dia kembali ke pribadi asalnya," katanya.
(dam)