Pemerintah Diminta Terapkan Sistem Peradilan Terpadu
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta mencatat penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum sepanjang 2016. Berdasarkan kajiannya, LBH APIK menyimpulkan bahwa kondisi penegakan hukum belum membaik seperti yang diharapkan.
Menurut LBH APIK, hal tersebut ditunjukkan dengan masih meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, dan pelanggaran terhadap hak-haknya yang mendasar termasuk belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan korban serta kelompok rentan lainnya, seperti pekerja rumah tangga.
Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Ahmad Luthfi Firdaus menjelaskan kebijakan yang positif seperti Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan Perda DKI Jakarta tentang Perlindungan Perempuan dan Anak belum diterapkan sepenuhnya untuk kepentingan korban.
Sementara, lanjut dia, kebijakan lainnya masih kurang memadai untuk memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/Revisi KUHP, dan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Khususnya terkait Undang-undang Bantuan Hukum, kata Luthfi, masih banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan maupun keterbatasan dalam UU yang harus diperbaiki.
Menyikapi kondisi tersebut, LBH APIK Jakarta menuntut pemerintah, DPR, aparat penegak hukum, serta pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan agar segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Revisi KUHP yang lebih berpihak kepada kepentingan perempuan korban serta kelompok rentan dan marjinal lainnya.
“Kedua, menghapus dan merevisi ketentuan yang diskriminatif dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan KUHAP serta produk aturan dan kebijakan lainnya yang masih melegitimasi pelanggaran HAM dan hak-hak dasar warga negara termasuk hak-hak perempuan dan anak,” kata Luthfi dalan siaran pers yang diterima SINDOnews, Minggu (22/1/2017).
Tuntutan ketiga, sambung dia, menegakkan implementasi Undang udang Penanganan Kekerasan Dalam Rumah tangga (UU PKDRT), Undang undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
Keempat, memberlakukan sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.
“Kelima, memaksimalkan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang sudah dijamin dalam konstitusi maupun aturan perundang-undangan, khususnya hak korban atas restitusi dan hak atas bantuan hukum,” tutur Luthfi.
Menurut LBH APIK, hal tersebut ditunjukkan dengan masih meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, dan pelanggaran terhadap hak-haknya yang mendasar termasuk belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan korban serta kelompok rentan lainnya, seperti pekerja rumah tangga.
Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Ahmad Luthfi Firdaus menjelaskan kebijakan yang positif seperti Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan Perda DKI Jakarta tentang Perlindungan Perempuan dan Anak belum diterapkan sepenuhnya untuk kepentingan korban.
Sementara, lanjut dia, kebijakan lainnya masih kurang memadai untuk memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/Revisi KUHP, dan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Khususnya terkait Undang-undang Bantuan Hukum, kata Luthfi, masih banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan maupun keterbatasan dalam UU yang harus diperbaiki.
Menyikapi kondisi tersebut, LBH APIK Jakarta menuntut pemerintah, DPR, aparat penegak hukum, serta pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan agar segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Revisi KUHP yang lebih berpihak kepada kepentingan perempuan korban serta kelompok rentan dan marjinal lainnya.
“Kedua, menghapus dan merevisi ketentuan yang diskriminatif dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan KUHAP serta produk aturan dan kebijakan lainnya yang masih melegitimasi pelanggaran HAM dan hak-hak dasar warga negara termasuk hak-hak perempuan dan anak,” kata Luthfi dalan siaran pers yang diterima SINDOnews, Minggu (22/1/2017).
Tuntutan ketiga, sambung dia, menegakkan implementasi Undang udang Penanganan Kekerasan Dalam Rumah tangga (UU PKDRT), Undang undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
Keempat, memberlakukan sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.
“Kelima, memaksimalkan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang sudah dijamin dalam konstitusi maupun aturan perundang-undangan, khususnya hak korban atas restitusi dan hak atas bantuan hukum,” tutur Luthfi.
(dam)