Pengamat: Istana Ingin Kultur Berbicara Pejabat Langsung Pada Inti Persoalan
A
A
A
JAKARTA - Menteri dan pejabat setingkat menteri kini tidak bisa leluasa saat berpidato di depan Presiden Joko Widodo. Hal ini setelah Sekretariat Kabinet menerbitkan surat yang mengatur agar menteri, kepala lembaga, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri hanya punya waktu masimal 7 menit saat berpidato dalam kegiatan yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.
Pembatasan waktu pidato ini tercantum dalam surat B750/Seskab/ Polhukam/12/2016 mengenai Ketentuan Sambutan Menteri/Pimpinan Lembaga pada Kegiatan yang dihadiri Presiden. Surat yang dikeluarkan pada 23 Desember 2016 ditandatangani Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung.
Menanggapi kebijakan tersebut, Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati melihat dari kaca mata berbeda. Dalam pandangannya, pembatasan waktu, yang di formalkan melalui sebuah surat edaran menjadi cara untuk secara cepat dan drastis merubah kultur masyarakat Indonesia yang terbiasa menyampaikan pesan dengan metode high context.
"High context adalah cara berkomunikasi yang menggunakan simbol simbol, tidak langsung pada inti pembicaraan dan cenderung memakan waktu yang lebih panjang," katanya, Selasa (17/1/2017).
Dia menuturkan, metode high context biasa digunakan masyarakat oleh masyarakat di Asia seperti Indonesia, Jepang dan China. Metode ini berbeda dengan gaya komunikasi low context yang menggunakan pesan pesan verbal yang langsung dan sederhana. Metode low context itu sendiri biasa digunakan oleh masyarakat Barat yang terkenal sangat efisien.
"Langkah yang diambil presiden ini dugaan saya terkait dengan berbagai prioritas kerja yang ingin dicapai oleh pemerintah, yang diharapkan dapat terwujud dalam waktu yang efektif (tepat sasaran) dan efisien (cara yang cepat)," tutur Dosen Komunikasi program Vokasi itu.
Dalam metode presentasi yang low context, sang penyampai pesan langsung masuk pada inti pembicaraan berupaya butir-butir persoalan atau capaian maupun solusi tanpa menggunakan pesan pesan tersirat yang dibungkus oleh narasi panjang. Menurut dia, presentasi adalah ketrampilan komunikasi yang dapat dilatih.
"Hanya saja, karena secara kultural, masyarakat kita masuk dalam kategori masyarakat high context maka dengan hadirnya kebijakan resmi negara, hal ini akan mampu mempercepat perubahan kultur tadi," pungkasnya.
Pembatasan waktu pidato ini tercantum dalam surat B750/Seskab/ Polhukam/12/2016 mengenai Ketentuan Sambutan Menteri/Pimpinan Lembaga pada Kegiatan yang dihadiri Presiden. Surat yang dikeluarkan pada 23 Desember 2016 ditandatangani Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung.
Menanggapi kebijakan tersebut, Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati melihat dari kaca mata berbeda. Dalam pandangannya, pembatasan waktu, yang di formalkan melalui sebuah surat edaran menjadi cara untuk secara cepat dan drastis merubah kultur masyarakat Indonesia yang terbiasa menyampaikan pesan dengan metode high context.
"High context adalah cara berkomunikasi yang menggunakan simbol simbol, tidak langsung pada inti pembicaraan dan cenderung memakan waktu yang lebih panjang," katanya, Selasa (17/1/2017).
Dia menuturkan, metode high context biasa digunakan masyarakat oleh masyarakat di Asia seperti Indonesia, Jepang dan China. Metode ini berbeda dengan gaya komunikasi low context yang menggunakan pesan pesan verbal yang langsung dan sederhana. Metode low context itu sendiri biasa digunakan oleh masyarakat Barat yang terkenal sangat efisien.
"Langkah yang diambil presiden ini dugaan saya terkait dengan berbagai prioritas kerja yang ingin dicapai oleh pemerintah, yang diharapkan dapat terwujud dalam waktu yang efektif (tepat sasaran) dan efisien (cara yang cepat)," tutur Dosen Komunikasi program Vokasi itu.
Dalam metode presentasi yang low context, sang penyampai pesan langsung masuk pada inti pembicaraan berupaya butir-butir persoalan atau capaian maupun solusi tanpa menggunakan pesan pesan tersirat yang dibungkus oleh narasi panjang. Menurut dia, presentasi adalah ketrampilan komunikasi yang dapat dilatih.
"Hanya saja, karena secara kultural, masyarakat kita masuk dalam kategori masyarakat high context maka dengan hadirnya kebijakan resmi negara, hal ini akan mampu mempercepat perubahan kultur tadi," pungkasnya.
(pur)