Ersa Tewas dalam Penyergapan TNI ke Anggota GAM
A
A
A
AGAR TNI tidak bisa membebaskan para sandera secara serentak, maka GAM memisahkan mereka. Ishak Daud mengatakan, pemisahan itu sifatnya sementara demi keamanan para sandera. Nanti, jika akan dibebaskan mereka akan disatukan lagi.
Fery dan Rahmatsyah dijadikan satu. Ersa sendirian sedangkan kakak beradik Safrida dan Soraya jadi satu. Mereka digiring ke arah dan tempat terpisah dengan mata tertutup. Masing-masing di bawah penjagaan pasukan GAM dalam kelompok kecil antara empat sanmpai enam orang.
Saya dan Rahmatsyah dikawal empat pasukan GAM dengan senjata siap tembak. Seperti biasa GAM mencari lokasi yang aman dari incaran TNI. Hanya beberapa hari, saya diserahterimakan ke pasukan GAM lainnya.
Sedangkan Rahmatsyah dijaga pasukan lama. Rahmatsyah sempat menangis saat saya tinggalkan. Tapi, itu harus dilakukan karena perintah pimpinan GAM.
GAM beralasan memindah saya karena segera dibebaskan. Tapi, saya tidak begitu percaya karena sudah beberapa kali dijanjikan bebas tapi tetap disandera. Setelah naik perahu dilanjutkan naik motor.
“Nanti Bang Fery ditemukan Bang Ersa,” kata anggota GAM yang membonceng saya. Arah motor ke hutan lebat. Benar saja saya ketemu Bang Ersa. Alangkah girangnya hati saya. Ada rekan seperjuangan, sependeritaan dan sepenangggungan. Bang Ersa juga senang bertemu saya.
Kami berdua dijaga tiga anggota GAM dan bermalam di rawa-rawa jauh dari pemukiman warga. Kata GAM, mereka akan tinggal di situ selama 20 hari. Bang Ersa dan saya malam harinya mengobrol tentang pengalaman selama dipisah.
Kondisi kesehatan Bang Ersa makin hari terus menurun. Asam uratnya kambuh, persendian kakinya bengkak hingga untuk bergerak sulit dan terlihat sangat kesakitan. Itu karena Ersa terus mengosumsi udang dan kepiting karena makanan lain tidak ada. Hingga asam uratnya kian parah.
Saya berusaha memijitnya tapi tidak mempan. Ersa pun minta dibelikan obat pada GAM untuk mengurangi rasa sakit asam urat. Setelah minum obat kondisi Ersa sedikit membaik.
Selama disandera Ersa lebih berinisitaif dibanding saya. Bang Ersa misalnya, meminta anggota GAM keluar kamp menanyakan kepada komandanya soal kelanjutan pembebasan sandera. Bahkan Ersa minta izin GAM untuk berolahraga agar asam uratnya tidak kambuh. Karena kondisi aman, GAM mengizinkan.
Makin hari kondisi GAM kian gawat karena TNI terus meningkatkan operasi memburu Ishak Daud dan anak buahnya. Maka, rencana ke Pereulak, pun dibatalkan. Bahkan kami pun harus bisik –bisik atau menggunakan bahasa isyarat kalau bicara.
“Banyak TNI di sekeliling kita,” bisik anggota GAM. Karena makanan sudah habis, maka pagi itu dua anggota GAM memaksakan belanja meski kondisi lapangan tidak aman.
Senjata mereka tinggalkan. Esoknya, karena kamp dirasa tidak aman maka pindah lagi saat tengah malam. Perjalanan cukup jauh dan gelap gulita, lewat semak, parit dan menyeberangi sungai. Kondisi Ersa kian lemah. Entah sudah berapa kali Ersa jatuh terpeleset, tapi semangatnya luar biasa. Setelah ganti baju karena basah kuyup, ada perintah jalan lagi. Dan, terus jalan.
Karena belum menemukan kamp yang aman, maka rombongan tidur di semak-semak beralaskan pelepah daun pisang. Esoknya, baru tahu lokasi dekat jalan hitam atau beraspal.
Terdengar bunyi kendaraan, juga terlihat aktivitas masyarakat. Ada yang ke ladang, pasar. Mereka pura-pura tidak melihat kami. Hari itu juga kami berdua diserahterimakan ke pasukan GAM lain. Pasukan lama GAM menjaga 12 hari dengan memperlakukan kami cukup baik. Sedangkan pasukan baru akan menjaga kami entah berapa lama.
Mereka juga baik karena tahu Ersa sebelumnya di tv. Setiap malam anggota GAM mengajak diskusi hingga larut malam. Temanya seputar tindakan TNI, DOM dan tindakan kekerasan TNI lainya. Yang jelas, GAM selalu menyalahkan TNI.
Esoknya, kami menuju kamp yang lebih luas. Jalan 1,5 jam sampai lah di tempat tujuan. Banyak anggota GAM menatap kami yang sebagaian sudah kami kenal karena pernah menjaga sandera sebelumnya. Karena ada anak sungai, mandi terasa enak. Namun karena ada anggota GAM tepergok TNI saat berbelanja, maka semua penghuni kamp diperintahkan bersiap pindah. Karena biasanya tidak lama lagi kamp akan diserang.
Saat memasuki perkampungan, saya dan Bang Ersa dipisah lagi. Kata GAM demi keselamatan. Di lokasi kamp yang baru, saya ikut memasak rangsum daripada bengong. Suasana baru ramai lagi, saat saya dipertemukan Bang Ersa kembali beberapa hari kemudian. Malam harinya, kami juga belanjar mengaji pada Teungku yang mengerti agama Islam.
Anggota GAM kalau malam juga banyak mengaji, salat malam, zikir dan baca Alquran. Jadilah suasana kamp layaknya pesantren dadakan.
Menjelang akhir bulan puasa persediaan logistik menipis, maka empat anggota GAM turun gunung berbelanja. Tapi, sampai pukul 21.30 WIB mereka belum kembali.
Ini seakan jadi firasat mereka tertangkap TNI. Maka, malam itu juga rombongan GAM berkemas pindah tempat. Sebab, kalau ada anggota tertangkap mereka biasanya dipaksa menunjukkan kamp persembunyian.
Benar saja, kamp GAM yang baru ditinggalkan dihajar TNI pada esok hari pukul 07.00 WIB Rombongan terus bergerak mencari tempat aman. Karena waktunya berbuka tidak ada air, anggota GAM memotong akar tumbuhan yang keluar airnya. Saya dan Bang Ersa juga melakukan hal sama. Jadilah sore itu kami berbuka puasa dengan air akar.
Hari Senin, 29 Desember 2003, seperti biasa di pagi yang cerah itu kami berdua dan anggota GAM sarapan. Ada kopi dan nasi goreng. Sekitar pukul 09.30 WIB lima anggota GAM keluar kamp meneruskan pembuatan kamp di tempat baru. Setelah itu mereka akan berbelanja sekalian ke tempat tauke, pemilik toko melihat tv untuk mendapatkan informasi terlait perkembangan pembebasan para sandera.
Salah satu diantara mereka ada yang hendak pulang kampung. Ersa sempat nyeletuk. “Mau kemana? Pulang ya, untuk sunah Rosul,” ledek Ersa. Dijawab mereka sambil senyum-senyum.
Layaknya orang pergi anggota GAM pun berpamitan pada rekan dan para sandera karena sudah akrab. Saat bersalaman, Ersa menolak. “Jangan berjabat tangan! Nanti enggak ketemu saya lagi,” Dijawab oleh mereka,” Enggak apa-apa sesama muslim.”. Akhirnya mereka bersalaman.
Maka berangkatlah lima anggota GAM tanpa membawa senjata. Tinggallah saya dan Ersa, seorang anggota GAM dan Ayah, orang sipil yang minta perlindungan GAM.
Kami tinggal empat orang. Cuaca pagi itu agak mendung. Saya sendiri merasa aneh karena hari itu jarang berbicara dengan Bang Ersa. Padahal, biasanya setiap hari kami berceloteh, saling bercerita, saling menghibur dan saling menguatkan.
Hari itu, Saya sendiri lebih banyak mendengarkan berita dari radio milik Ayah Lip. Yang saya panteng berita BBC dan radio lokal di Lhokseumawe yang kerap memberitakan seputar GAM dan kondisi terkini para sandera.
Hari itu Ersa punya kesibukan sendiri, senam pagi. Dan, baru berhenti kalau sudah keluar keringatnya. Sedangkan satu anggota GAM yang berjaga sedang memasak, menyiapkan sarapan. Sedangkan Ayah Lip tampak tidak tenang.
Dia mondar-mandir seperti orang kebingungan. Padahal, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di sekitar lokasi kamp. Hari itu, saya mencatat ada kata-kata kurang enak, meski diucapkan secara bercanda. Saya dengar Ayah bilang sama Ersa. “Pak, ini ada senjata empat pucuk, bila nanti terjadi apa-apa kita pegang satu-satu,” kata Ayah dengan nada bercanda.
Ersa pun menjawab dengan nada canda pula, “Kalau nanti ada apa-apa, saya pegang dan saya serahkan ke TNI. Maka, tembak saja saya dulu,” ujar Ersa guyon. Setelah menyelesaikan senam paginya, Ersa saya ajak tidur-tiduran sambil mendengarkan radio. Saya lihat Bang Ersa lebih sehat dan tambah gemuk.
Ersa mengatakan,” Fer! Perasaan saya mungkin awal bulan Januari 2004 kemungkinan besar kita sudah pulang,” katanya. “Amien! Semoga bisa selamat sampai ketemu keluarga,” jawabku.
Sekitar pukul 12.00 WIB saat kami semua sedang santai, ngobrol ngalor ngidul. Sedangkan anggota GAM yang memasak tidak mendengar derap sepatu lars mendekati kamp.
Namun anggota GAM itu sempat memasang kuping untuk mendeteksi suara yang mendekati kamp. Tapi, belum sempat memberi peringatan, mendadak terdengar senjata menyalak dari arah depan.
Rentetan bunyi senjata begitu kerasnya. Dari suara letupan senjata itu saya mengenali dari senjata SS senapan serbu TNI. Saya terkejut mendapati persembunyian kami mendadak dihajar TNI. Tapi, saya juga senang karena yakin TNI akan menyelamatkan sandera. Pandangan saya seperti kabur dan dengan refleks menyelamatkan diri.
Saya meloncat ke sana kemari, kalau tidak peluru sudah menghantam kaki. Ersa pun saya lihat berusaha meloncat menghindari terjangan peluru. Setelah itu, saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri beliau. Sedangkan Ayah Lip dan anggota GAM yang menjaga kami juga langsung kabur. Entah ke mana mereka.
Benar-benar serangan mendadak yang mengejutkan. Pasukan GAM tidak sempat bereaksi atas serangan itu. Boro-boro mau menyandang senjata dan melakukan tembakan balasan, anggota GAM tadi malah kabur, menyelamatkan diri.
Tembakan gencar diiringi suara teriakan prajurit TNI benar-benar membuat GAM ketakutan. Saya tidak tahu, apakah prajurit TNI yang menyerbu mengetahui kami, para sandera ada di situ atau tidak.
Melihat pola serangan mereka, itu bukan serangan penyelamatan atau pembebasan, tapi, benar-benar serangan mematikan. Melihat kondisi seperti itu, apalagi prajurit itu saya asumsikan tidak mengenali sandera, maka saya pilih menyelamatkan diri. Yang penting tidak diterjang peluru yang berseliweran di atas kepala.
Saya tiarap dan merunduk menghindari desingan peluru sambil menjauh dari kamp yang dihajar TNI. Setelah merayap 10 meter dari kamp saya berhenti. Maksudnya, balik lagi untuk menolong Bang Ersa.
Dalam pikiran terus berkecamuk, apakah bang Ersa selamat atau tidak. Seperti ada yang memperingatkan saya. “Papa..jangan,” seperti suara anak saya. Saya pun mengurungkan niat balik ke kamp karena begitu melangkah, tembakan gencar kembali menderu dan peluru berdesingan di atas kepala saya. Alhamdulillah, peluru mengenai pohon nipah bukan kepala saya. Di saat itu juga saya ketemu Ayah.
Ayah terus melompat dan mencari tempat aman. Saya mencoba mengikuti dia. Padahal, Ayah tidak memaksa atau mengajak saya. Naluri saya, Ayah kenal tempat ini. Kami berdua menelusuri medan lumpur dan rawa-rawa yang dalam.
Hanya memakai celana pendek dan baju. Sedangkan barang lain tidak sempat dibawa. Pokoknya tingal baju di badan. Sedangkan Ayah hanya mengenakan celana panjang tanpa baju karena tidak sempat memakai baju.
Perasaan saya serba takut dan ngeri. Saya selalu teringat Bang Ersa. Saya menyesal meninggalkan begitu saja. Saya berdoa semoga beliau selamat dan tidak terjadi apa-apa. Di tengah hutan saya dan Ayah berhenti. Saat itu kami melihat dua heli terbang di atas kami. Pilot tidak melihat kami dibawahnya akibat lebatnya tajuk pohon. Tinggal kami berdua.
Kemana Ersa dan anggota GAM tukang masak tadi? Mudah-mudahan Bang Ersa tidak terterjang peluru. Kembali ke Bang Ersa? Mengapa tidak segera menyusul kami? Atau jangan-jangan tersesat di hutan. Atau, malah sudah diselamatkan TNI.
Setelah pikiran agak jernih, kami berdua keluar dari hutan menuju arah matahari tenggelam. Kami berdua tidak tahu harus ke mana? Saya coba bilang ke Ayah, “Kita ke arah perkampungan saja, saya pernah ke sana,” ajakku. Setelah berjalan tiga kilometer, terdengar suara senjata lagi.
Karena lari bertelanjang kaki, maka banyak luka di sekujur tubuh. Terkena duri sampai ilalang yang tajamnya layaknya silet. Badan juga pegal karena jalan tiarap dan tegang.
Selain letih, hari mulai gelap. Makanya, kami berdua putuskan tidur di hutan, di antara sungai dan tambak. Nyamuknya luar biasa banyak. Untung Ayah menemukan plastik. Jadi, tidur beralas rumput dengan selimut plastik.
Malam hari perut keroncongan karena seharian tidak terisi. Tapi, kami lebih bersyukur nyawa masih menempel di badan. Malam itu saya tidak bisa tidur membayangkan kembali penyergapan TNI pagi sebelumnya. Syukur, Allah masih melindungi saya.
Pagi hari, 30 Desember 2003, kami melanjutkan perjalanan mencari perkampungan. Menyeberangi sungai dangkal sampai dalam. Dalam usia kepala enam, Ayah tergolong tangkas berjalan meski bertelanjang dada.
Pagi itu, hujan hingga bisa mengurangi rasa haus kami. Sampai akhirnya menemukan perkampungan warga. Di situ Ayah menceritakan apa yang baru kami alami. Termasuk status saya sebagai juru kamera RCTI yang kini disandera GAM.
Sebab, selama GAM terus menyembunyikan keberadaan saya baik dari masyarakat maupun anggota GAM sendiri. Hanya anggota GAM yang mengawal yang tahu bahwa kami sandera.
Warga tadi lalu memberi makan dan minum. Juga pakaian karena melihat kami sudah compang camping. Seandainya ada pos TNI dekat perkampungan pastilah niat saya menyerahkan diri karena sudah terlau capai berkelana dengan GAM. Tapi, yang terjadi malah dating pasukan GAM yang menjemput kami. Setelah mandi dan ganti baju pemberian warga, maka kutanyakan kabar Ersa ke komandan GAM? “Tidak apa-apa. Semoga selamat mungkin dia masih di hutan,” terang GAM tadi.
Tapi, perasaan saya tidak enak dan selalu bingung. Terasa jawaban anggota GAM tadi tidak jujur dan ada yang disembunyikan. Ternyata firasat saya benar saat 31 Desember 2003 tengah malam mendadak Panglima Operasi GAM Wilayah Aceh Timur Ishak Daud menelpon pasukan GAM yang mengawal saya. Telepon pun diserahkan saya.
Ishak menanyakan kronologi penyerangan TNI. Saya jelaskan apa adanya, seperti yang saya ingat. Ishak lalu memberi tahu bahwa dalam penyergapan itu ada dua orang terbunuh. Ersa dan anggota GAM yang memasak.
Byar….Bagaikan disambar geledek, badan saya langsung lemas. Saya pun terkulai lemas. Tangis saya meledak. Innalillahi Wainnailaihirojiun. Semoga Bang Ersa diterima didi sisi-NYA. Aminn…
Esoknya, 2 Januari 2004 komandan GAM yang mengawal saya mempersilakan saya telepon keluarga. Mendengar suara Maya, istriku saya meneteskan air mata.
Sedih menceritakan nasib yang dialami Bang Ersa.
Tak lama kemudian beberapa wartawan seperti, dari Kompas, Jakarta Pos dan Radio Suara Amerika menelpon saya bergantian menanyakan kronologi penyergapan yang menewaskan Ersa Siregar.
Fery dan Rahmatsyah dijadikan satu. Ersa sendirian sedangkan kakak beradik Safrida dan Soraya jadi satu. Mereka digiring ke arah dan tempat terpisah dengan mata tertutup. Masing-masing di bawah penjagaan pasukan GAM dalam kelompok kecil antara empat sanmpai enam orang.
Saya dan Rahmatsyah dikawal empat pasukan GAM dengan senjata siap tembak. Seperti biasa GAM mencari lokasi yang aman dari incaran TNI. Hanya beberapa hari, saya diserahterimakan ke pasukan GAM lainnya.
Sedangkan Rahmatsyah dijaga pasukan lama. Rahmatsyah sempat menangis saat saya tinggalkan. Tapi, itu harus dilakukan karena perintah pimpinan GAM.
GAM beralasan memindah saya karena segera dibebaskan. Tapi, saya tidak begitu percaya karena sudah beberapa kali dijanjikan bebas tapi tetap disandera. Setelah naik perahu dilanjutkan naik motor.
“Nanti Bang Fery ditemukan Bang Ersa,” kata anggota GAM yang membonceng saya. Arah motor ke hutan lebat. Benar saja saya ketemu Bang Ersa. Alangkah girangnya hati saya. Ada rekan seperjuangan, sependeritaan dan sepenangggungan. Bang Ersa juga senang bertemu saya.
Kami berdua dijaga tiga anggota GAM dan bermalam di rawa-rawa jauh dari pemukiman warga. Kata GAM, mereka akan tinggal di situ selama 20 hari. Bang Ersa dan saya malam harinya mengobrol tentang pengalaman selama dipisah.
Kondisi kesehatan Bang Ersa makin hari terus menurun. Asam uratnya kambuh, persendian kakinya bengkak hingga untuk bergerak sulit dan terlihat sangat kesakitan. Itu karena Ersa terus mengosumsi udang dan kepiting karena makanan lain tidak ada. Hingga asam uratnya kian parah.
Saya berusaha memijitnya tapi tidak mempan. Ersa pun minta dibelikan obat pada GAM untuk mengurangi rasa sakit asam urat. Setelah minum obat kondisi Ersa sedikit membaik.
Selama disandera Ersa lebih berinisitaif dibanding saya. Bang Ersa misalnya, meminta anggota GAM keluar kamp menanyakan kepada komandanya soal kelanjutan pembebasan sandera. Bahkan Ersa minta izin GAM untuk berolahraga agar asam uratnya tidak kambuh. Karena kondisi aman, GAM mengizinkan.
Makin hari kondisi GAM kian gawat karena TNI terus meningkatkan operasi memburu Ishak Daud dan anak buahnya. Maka, rencana ke Pereulak, pun dibatalkan. Bahkan kami pun harus bisik –bisik atau menggunakan bahasa isyarat kalau bicara.
“Banyak TNI di sekeliling kita,” bisik anggota GAM. Karena makanan sudah habis, maka pagi itu dua anggota GAM memaksakan belanja meski kondisi lapangan tidak aman.
Senjata mereka tinggalkan. Esoknya, karena kamp dirasa tidak aman maka pindah lagi saat tengah malam. Perjalanan cukup jauh dan gelap gulita, lewat semak, parit dan menyeberangi sungai. Kondisi Ersa kian lemah. Entah sudah berapa kali Ersa jatuh terpeleset, tapi semangatnya luar biasa. Setelah ganti baju karena basah kuyup, ada perintah jalan lagi. Dan, terus jalan.
Karena belum menemukan kamp yang aman, maka rombongan tidur di semak-semak beralaskan pelepah daun pisang. Esoknya, baru tahu lokasi dekat jalan hitam atau beraspal.
Terdengar bunyi kendaraan, juga terlihat aktivitas masyarakat. Ada yang ke ladang, pasar. Mereka pura-pura tidak melihat kami. Hari itu juga kami berdua diserahterimakan ke pasukan GAM lain. Pasukan lama GAM menjaga 12 hari dengan memperlakukan kami cukup baik. Sedangkan pasukan baru akan menjaga kami entah berapa lama.
Mereka juga baik karena tahu Ersa sebelumnya di tv. Setiap malam anggota GAM mengajak diskusi hingga larut malam. Temanya seputar tindakan TNI, DOM dan tindakan kekerasan TNI lainya. Yang jelas, GAM selalu menyalahkan TNI.
Esoknya, kami menuju kamp yang lebih luas. Jalan 1,5 jam sampai lah di tempat tujuan. Banyak anggota GAM menatap kami yang sebagaian sudah kami kenal karena pernah menjaga sandera sebelumnya. Karena ada anak sungai, mandi terasa enak. Namun karena ada anggota GAM tepergok TNI saat berbelanja, maka semua penghuni kamp diperintahkan bersiap pindah. Karena biasanya tidak lama lagi kamp akan diserang.
Saat memasuki perkampungan, saya dan Bang Ersa dipisah lagi. Kata GAM demi keselamatan. Di lokasi kamp yang baru, saya ikut memasak rangsum daripada bengong. Suasana baru ramai lagi, saat saya dipertemukan Bang Ersa kembali beberapa hari kemudian. Malam harinya, kami juga belanjar mengaji pada Teungku yang mengerti agama Islam.
Anggota GAM kalau malam juga banyak mengaji, salat malam, zikir dan baca Alquran. Jadilah suasana kamp layaknya pesantren dadakan.
Menjelang akhir bulan puasa persediaan logistik menipis, maka empat anggota GAM turun gunung berbelanja. Tapi, sampai pukul 21.30 WIB mereka belum kembali.
Ini seakan jadi firasat mereka tertangkap TNI. Maka, malam itu juga rombongan GAM berkemas pindah tempat. Sebab, kalau ada anggota tertangkap mereka biasanya dipaksa menunjukkan kamp persembunyian.
Benar saja, kamp GAM yang baru ditinggalkan dihajar TNI pada esok hari pukul 07.00 WIB Rombongan terus bergerak mencari tempat aman. Karena waktunya berbuka tidak ada air, anggota GAM memotong akar tumbuhan yang keluar airnya. Saya dan Bang Ersa juga melakukan hal sama. Jadilah sore itu kami berbuka puasa dengan air akar.
Hari Senin, 29 Desember 2003, seperti biasa di pagi yang cerah itu kami berdua dan anggota GAM sarapan. Ada kopi dan nasi goreng. Sekitar pukul 09.30 WIB lima anggota GAM keluar kamp meneruskan pembuatan kamp di tempat baru. Setelah itu mereka akan berbelanja sekalian ke tempat tauke, pemilik toko melihat tv untuk mendapatkan informasi terlait perkembangan pembebasan para sandera.
Salah satu diantara mereka ada yang hendak pulang kampung. Ersa sempat nyeletuk. “Mau kemana? Pulang ya, untuk sunah Rosul,” ledek Ersa. Dijawab mereka sambil senyum-senyum.
Layaknya orang pergi anggota GAM pun berpamitan pada rekan dan para sandera karena sudah akrab. Saat bersalaman, Ersa menolak. “Jangan berjabat tangan! Nanti enggak ketemu saya lagi,” Dijawab oleh mereka,” Enggak apa-apa sesama muslim.”. Akhirnya mereka bersalaman.
Maka berangkatlah lima anggota GAM tanpa membawa senjata. Tinggallah saya dan Ersa, seorang anggota GAM dan Ayah, orang sipil yang minta perlindungan GAM.
Kami tinggal empat orang. Cuaca pagi itu agak mendung. Saya sendiri merasa aneh karena hari itu jarang berbicara dengan Bang Ersa. Padahal, biasanya setiap hari kami berceloteh, saling bercerita, saling menghibur dan saling menguatkan.
Hari itu, Saya sendiri lebih banyak mendengarkan berita dari radio milik Ayah Lip. Yang saya panteng berita BBC dan radio lokal di Lhokseumawe yang kerap memberitakan seputar GAM dan kondisi terkini para sandera.
Hari itu Ersa punya kesibukan sendiri, senam pagi. Dan, baru berhenti kalau sudah keluar keringatnya. Sedangkan satu anggota GAM yang berjaga sedang memasak, menyiapkan sarapan. Sedangkan Ayah Lip tampak tidak tenang.
Dia mondar-mandir seperti orang kebingungan. Padahal, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di sekitar lokasi kamp. Hari itu, saya mencatat ada kata-kata kurang enak, meski diucapkan secara bercanda. Saya dengar Ayah bilang sama Ersa. “Pak, ini ada senjata empat pucuk, bila nanti terjadi apa-apa kita pegang satu-satu,” kata Ayah dengan nada bercanda.
Ersa pun menjawab dengan nada canda pula, “Kalau nanti ada apa-apa, saya pegang dan saya serahkan ke TNI. Maka, tembak saja saya dulu,” ujar Ersa guyon. Setelah menyelesaikan senam paginya, Ersa saya ajak tidur-tiduran sambil mendengarkan radio. Saya lihat Bang Ersa lebih sehat dan tambah gemuk.
Ersa mengatakan,” Fer! Perasaan saya mungkin awal bulan Januari 2004 kemungkinan besar kita sudah pulang,” katanya. “Amien! Semoga bisa selamat sampai ketemu keluarga,” jawabku.
Sekitar pukul 12.00 WIB saat kami semua sedang santai, ngobrol ngalor ngidul. Sedangkan anggota GAM yang memasak tidak mendengar derap sepatu lars mendekati kamp.
Namun anggota GAM itu sempat memasang kuping untuk mendeteksi suara yang mendekati kamp. Tapi, belum sempat memberi peringatan, mendadak terdengar senjata menyalak dari arah depan.
Rentetan bunyi senjata begitu kerasnya. Dari suara letupan senjata itu saya mengenali dari senjata SS senapan serbu TNI. Saya terkejut mendapati persembunyian kami mendadak dihajar TNI. Tapi, saya juga senang karena yakin TNI akan menyelamatkan sandera. Pandangan saya seperti kabur dan dengan refleks menyelamatkan diri.
Saya meloncat ke sana kemari, kalau tidak peluru sudah menghantam kaki. Ersa pun saya lihat berusaha meloncat menghindari terjangan peluru. Setelah itu, saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri beliau. Sedangkan Ayah Lip dan anggota GAM yang menjaga kami juga langsung kabur. Entah ke mana mereka.
Benar-benar serangan mendadak yang mengejutkan. Pasukan GAM tidak sempat bereaksi atas serangan itu. Boro-boro mau menyandang senjata dan melakukan tembakan balasan, anggota GAM tadi malah kabur, menyelamatkan diri.
Tembakan gencar diiringi suara teriakan prajurit TNI benar-benar membuat GAM ketakutan. Saya tidak tahu, apakah prajurit TNI yang menyerbu mengetahui kami, para sandera ada di situ atau tidak.
Melihat pola serangan mereka, itu bukan serangan penyelamatan atau pembebasan, tapi, benar-benar serangan mematikan. Melihat kondisi seperti itu, apalagi prajurit itu saya asumsikan tidak mengenali sandera, maka saya pilih menyelamatkan diri. Yang penting tidak diterjang peluru yang berseliweran di atas kepala.
Saya tiarap dan merunduk menghindari desingan peluru sambil menjauh dari kamp yang dihajar TNI. Setelah merayap 10 meter dari kamp saya berhenti. Maksudnya, balik lagi untuk menolong Bang Ersa.
Dalam pikiran terus berkecamuk, apakah bang Ersa selamat atau tidak. Seperti ada yang memperingatkan saya. “Papa..jangan,” seperti suara anak saya. Saya pun mengurungkan niat balik ke kamp karena begitu melangkah, tembakan gencar kembali menderu dan peluru berdesingan di atas kepala saya. Alhamdulillah, peluru mengenai pohon nipah bukan kepala saya. Di saat itu juga saya ketemu Ayah.
Ayah terus melompat dan mencari tempat aman. Saya mencoba mengikuti dia. Padahal, Ayah tidak memaksa atau mengajak saya. Naluri saya, Ayah kenal tempat ini. Kami berdua menelusuri medan lumpur dan rawa-rawa yang dalam.
Hanya memakai celana pendek dan baju. Sedangkan barang lain tidak sempat dibawa. Pokoknya tingal baju di badan. Sedangkan Ayah hanya mengenakan celana panjang tanpa baju karena tidak sempat memakai baju.
Perasaan saya serba takut dan ngeri. Saya selalu teringat Bang Ersa. Saya menyesal meninggalkan begitu saja. Saya berdoa semoga beliau selamat dan tidak terjadi apa-apa. Di tengah hutan saya dan Ayah berhenti. Saat itu kami melihat dua heli terbang di atas kami. Pilot tidak melihat kami dibawahnya akibat lebatnya tajuk pohon. Tinggal kami berdua.
Kemana Ersa dan anggota GAM tukang masak tadi? Mudah-mudahan Bang Ersa tidak terterjang peluru. Kembali ke Bang Ersa? Mengapa tidak segera menyusul kami? Atau jangan-jangan tersesat di hutan. Atau, malah sudah diselamatkan TNI.
Setelah pikiran agak jernih, kami berdua keluar dari hutan menuju arah matahari tenggelam. Kami berdua tidak tahu harus ke mana? Saya coba bilang ke Ayah, “Kita ke arah perkampungan saja, saya pernah ke sana,” ajakku. Setelah berjalan tiga kilometer, terdengar suara senjata lagi.
Karena lari bertelanjang kaki, maka banyak luka di sekujur tubuh. Terkena duri sampai ilalang yang tajamnya layaknya silet. Badan juga pegal karena jalan tiarap dan tegang.
Selain letih, hari mulai gelap. Makanya, kami berdua putuskan tidur di hutan, di antara sungai dan tambak. Nyamuknya luar biasa banyak. Untung Ayah menemukan plastik. Jadi, tidur beralas rumput dengan selimut plastik.
Malam hari perut keroncongan karena seharian tidak terisi. Tapi, kami lebih bersyukur nyawa masih menempel di badan. Malam itu saya tidak bisa tidur membayangkan kembali penyergapan TNI pagi sebelumnya. Syukur, Allah masih melindungi saya.
Pagi hari, 30 Desember 2003, kami melanjutkan perjalanan mencari perkampungan. Menyeberangi sungai dangkal sampai dalam. Dalam usia kepala enam, Ayah tergolong tangkas berjalan meski bertelanjang dada.
Pagi itu, hujan hingga bisa mengurangi rasa haus kami. Sampai akhirnya menemukan perkampungan warga. Di situ Ayah menceritakan apa yang baru kami alami. Termasuk status saya sebagai juru kamera RCTI yang kini disandera GAM.
Sebab, selama GAM terus menyembunyikan keberadaan saya baik dari masyarakat maupun anggota GAM sendiri. Hanya anggota GAM yang mengawal yang tahu bahwa kami sandera.
Warga tadi lalu memberi makan dan minum. Juga pakaian karena melihat kami sudah compang camping. Seandainya ada pos TNI dekat perkampungan pastilah niat saya menyerahkan diri karena sudah terlau capai berkelana dengan GAM. Tapi, yang terjadi malah dating pasukan GAM yang menjemput kami. Setelah mandi dan ganti baju pemberian warga, maka kutanyakan kabar Ersa ke komandan GAM? “Tidak apa-apa. Semoga selamat mungkin dia masih di hutan,” terang GAM tadi.
Tapi, perasaan saya tidak enak dan selalu bingung. Terasa jawaban anggota GAM tadi tidak jujur dan ada yang disembunyikan. Ternyata firasat saya benar saat 31 Desember 2003 tengah malam mendadak Panglima Operasi GAM Wilayah Aceh Timur Ishak Daud menelpon pasukan GAM yang mengawal saya. Telepon pun diserahkan saya.
Ishak menanyakan kronologi penyerangan TNI. Saya jelaskan apa adanya, seperti yang saya ingat. Ishak lalu memberi tahu bahwa dalam penyergapan itu ada dua orang terbunuh. Ersa dan anggota GAM yang memasak.
Byar….Bagaikan disambar geledek, badan saya langsung lemas. Saya pun terkulai lemas. Tangis saya meledak. Innalillahi Wainnailaihirojiun. Semoga Bang Ersa diterima didi sisi-NYA. Aminn…
Esoknya, 2 Januari 2004 komandan GAM yang mengawal saya mempersilakan saya telepon keluarga. Mendengar suara Maya, istriku saya meneteskan air mata.
Sedih menceritakan nasib yang dialami Bang Ersa.
Tak lama kemudian beberapa wartawan seperti, dari Kompas, Jakarta Pos dan Radio Suara Amerika menelpon saya bergantian menanyakan kronologi penyergapan yang menewaskan Ersa Siregar.
(kur)