Sebulan di Hutan, Safrida Terbiasa dengar Auman Harimau dan Kuntilanak
A
A
A
AWAL Agustus 2003, aku dan Soraya diserahkan dari pasukan PBB pimpinan Tengku Muda ke pasukan PBB lainnya. Aku protes dan menolak karena sudah merasa nyaman dengan Tengku Muda dan anak buahnya. Tapi, apalah kuasa sandera. Sebab, kami dalam penguasaan penuh GAM. GAM bersikukuh keputusan semula.
Pasukan PBB yang satu ini tinggal di hutan super lebat di bagian tengah lagi. Kusebut hutan tua karena saking lebatnya. Batang pohon juga super besar. Rata-rata berdiameter lima meter. Batang kulitnya berbalut kayu tebal, kulitnya juga tampak keriput saking tuanya.
Kekalutan pikiran, hidup menderita dan tidak ada kepastian akan dibebaskan, membuat saya nekat kabur. Maka, ketika anggota GAM melaksanakan salat Jumat, aku pergi ke sungai sambil membawa perlengkapan mandi.
Handuk dan perlengkapan mandi kusembunyikan di ilalang. Saya pun menyeberangi sungai berkedalaman satu meter dengan arus cukup kuat. Berhasil, lalu ketemu jalan setapak.
Tapi, apa yang terjadi? Hoooo!.Jantungku hampir copot karena di depan ada pos tentara GAM. Ada tiga anggota GAM berjaga dengan senjata siap ditembakkan. Aku langsung balik badan. Tubuhku gemetar takut ditembak. Sebab, GAM sebelumnya mengancam akan menembak sandera jika berusaha kabur.
Setelah sampai di pingir sungai, tampak Soraya melambaikan tangan. “Kakak, darimana?” tanya Soraya. “Aku berusaha mencari bantuan TNI, Dik!” kataku berbisik sambil memeluk erat. Jelas aku berdusta. “Mengapa tidak mengajak aku,” protes Soraya.
Tinggal di tepi sungai beberapa hari, rombongan GAM pindah lagi. Jalan dalam kegelapan sampai lah pada hutan lebat. Benar-benar lebat. Di hutan ini kami berdua tinggal sebulan bersama pasukan PBB. Gubuk dibangun dari kayu gelondongan. Kalau tidur rasanya sakit di badan.
Karena jarang mandi, dan bila mandi menggunakan air kotor. Maka, penyakit kulit mulai menyerang. Selain jamur yang gatal sekali. Juga bisul-bisul yang bernanah. Begitu pecah darahnya mengeluarkan aroma busuk dan membuat tubuh meriang. Rasanya tidak kuat lagi menahan bisul tadi.
Tinggal di hutan, badan Safrida maupun Soraya mulai kurus karena makanan terbatas. Kadang makan sehari sekali. Jarang mandi, hingga badan kotor dan berbau.
Minumnya air sungai juga bau amis. Untuk menghilangkan bau amis air dicampur teh. Semula aku muntah tapi, lama kelamaan jadi terbiasa.
Kondisi Soraya lebih parah. Selain penyakit asmanya kambuh, dia juga mengalami bleeding atau keguguran akibat kecapaian jalan keluar masuk hutan, naik turun gunung.
Darah yang keluar dari vaginanya sedikit tapi terus menerus tapi tidak ada pembalut. Sebab, lokasi kamp berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman. Itu membuatku cemas. Akhirnya, kaos Soraya kugunting-gunting sebagai pengganti pembalut.
Soraya menangis pedih ketika jabang bayi yang dikandungnya mengalami keguguran. Sebab, status Soraya sebenarnya masih pengantin baru. Suaminya, Lettu TNI AU Agung Setio Budi berasal dari Surabaya baru menikahi bulan April 2003.
Jadi, masih dalam suasana pengantin baru. Mendadak Soraya dan kakaknya Safrida disandera GAM. Kondisi Soraya selain pucat juga lemah karena tidak mau makan. Meski kalau makan pun menunya tidak layak. Ditambah penyakit asmanya kambuh. Aku benar-benar takut kehilangan adikku.
Berbagai upaya aku lakukan. Termasuk memberi ramuan obat dari dedaunan yang diambil dari hutan belantara. Anggota GAM yang bersimpati membantu mencarikan. Daun-daun direbus lalu diminumkan pada Soraya. Seminggu kemudian, kondisi Soraya berangsur membaik. Syukur.
Saat hujan deras, kondisi kamp banjir hingga penghuni tidak bisa tidur. Kalau sudah begitu aku keluar gubug mencari pohon teduh untuk tidur di ayunan. Tubuhku kubalut selimut, sarung.
Pokoknya, apa saja agar tidak kedinginan. Juga pakai plastik agar tetesan air hujan tidak membasahi tubuh. Suara auman harimau, suara cekikikan perempuan hutan atau kuntilanak tidak lagi menakutkan aku seperti sebelumnya. Aku menjelma jadi perempuan hutan.
Semua yang ada di hutan kuajak bicara. Pohon besar, kecil rumput, binatang. Juga bicara dengan embun, angin, hujan, halilintar dan berbagai binatang yang kutemui.
“Kak Cut mulai gila ya? Suka bicara sendiri,” ujar anggota GAM muda yang akrab denganku. “Kak Cut harusnya banyak berdoa supaya jangan bicara sendiri,” ingatnya.
“Aku sudah berdoa bahkan zikir tiap malam,” tegasku . “Ya, itu benar. Tapi, mengapa masih bicara dengan pohon,” tanyanya. “Karena aku ingin ngomong dan rindu keluarga,” ujar Safrida.
Di tengah kegelisahan ada sedikit kabar menyenangkan, Ishak Daud tengah menghubungi Palang Merah Interansional (ICRC)untuk pembebasan sandera. Tapi, kudengar Internasional Committee of the Red Cross itu menolak. Karena masalah sandera urusan dalam negeri Indonesia.
Kabar itu memukul perasaanku. Mendadak ada niat bunuh diri untuk mengakhiri penderitaanku. Pagi itu, ketika matahari belum terbit aku pergi ke sungai.” Mau kemana pagi-pagi begini,” sapa anggota GAM. “Mau ke sungai. Buang air besar. Perutku mulas,” terangku. “Oh.ya. hati-hati kak,” balasnya percaya.
Bisikan antara “ya” dan “tidak” melakukan bunuh diri terus mendengung di telinga. Aku terus mendekati pinggir sungai. Kutengok kiri kanan, tidak ada anggota GAM mengawasi. Suasana pagi itu sepi. Aku pun terjun ke sungai.
Byurr.. dengan cara menghanyutkan diri. Tapi, aku tersentak. Mengapa tidak tenggelam dan hanyut. Aku hanya berdiri di atas arus air seleher. “Hai, lagi apa di situ, Kak,” sapa anggota GAM. Aku diam saja meski disapa berkali-kali.
Karena tidak segera keluar dari sungai, anggota GAM mencoba menakutiku bahwa di sungai ada buaya, ular kobra. Aku bergeming. Sampai akhirnya ada suara lembut, anak GAM yang lulusan SMA yang akrab denganku memanggil.
“Hai, Kak Cut keluarlah dari air,” katanya lembut. “Mari kita kembali ke kamp,” pintanya. Aku pun teringat keluargaku. Aku begitu menyesali ada niat bunuh diri. Akhirnya, aku keluar sungai.
Pada awal September 2003 rombongan anggota dan sandera keluar hutan lebat tua. Kami diserahkan ke pasukan Jenewa yang dipimpin Garuda. Lokasinya, di perkebunan sawit. Kabarnya, setelah itu aku bisa bertemu Ishak Daud yang tentu saja aku minta dibebaskan. Begitu girang aku membayangkan kebebasan jika bertemu Ishak Daud.
“Situasi belum memungkinkan Abu Ci bertemu kalian. Sekarang TNI mengejar Abu Ci,” kata anggota GAM. Aku sedih mendengar itu, tapi juga gembira karena berharap TNI yang mengepung GAM bisa segera membebaskanku.
Kepungan TNI membuat anggota GAM tidak tenang. Mereka stress dan gampang marah. Jadinya, aku dan Soraya sering ketakutan. Paling garang GAM bernama Waldi, bukan nama sebenarnya.
Pada suatu siang, ketika sedang mandi Waldi marah-marah. “Mandinya jangan lama-lama. Kalau membangkang aku tembak,” ancam Waldi. Saya dan Soraya diam saja, kalau dibantah malah ngamuk. Sebab, hari sebelumnya Waldi melempar pisau ke Soraya saat cuci tangan. Dia juga pernah melempar kayu balok ke tenda kami tanpa sebab. Juga memaki-maki Soraya tanpa sebab.
Kupikir, Waldi anggota tentara GAM yang frustasi. Agar kami tidak dilukai, lebih baik menyingkir bila ada dia. Kami pun menjalani hari-hari bersama pasukan Jenewa GAM dengan penuh tekanan.
Sore hari, 6 Septermber 2003 pasukan GAM meninggalkan kamp karena sudah tercium TNI. Para sandera dibawa lari masuk desa dan diserahkan ke Danyon GAM. Esoknya, kami bertemu Ishak Daud. Sungguh, aku terkejut melihat Ishak Daud.Sosoknya sedikit berbeda. Selain lebih kurus, wajahnya agak murung, matanya kuyu.
Dia tampak lelah sekali. Meski demikian, dia berusaha tampak ceria di hadapan kami. Seperti biasanya, Abu Ci didampingi pengawalnya dan juru bicaranya.
“Apa kabar kalian berdua,” sapa Abu Ci. Seperti biasanya, dia tidak bersalaman. Tapi, cukup menganggukkan kepala sebagai ganti salaman.”Kami baik-baik saja,” jawabku. “Ya, kami ingin cepat pulang Abu Ci,” sambungku.
Pertemuan kami siang hari itu di kebun rambutan dan jengkol yang cukup rindang. Seperti biasa, kalau berbiacara dengan Ishak Daud tidak berhadapan dekat. Tapi, sekitar empat meter jauhnya. Tapi, karena suasana hening, pembicaraan kami tidak perlu keras.
“Jadi, bagaimana Abu Ci? Kapan kami bisa pulang ke rumah,” kuulangi pertanyaanku karena Abu Ci diam. “Kami lagi minta bantuan Palang Merah Internasional agar pembebasan kalian berjalan mulus. Kalau lewat TNI pasti ada baku tembak. Ini yang aku tidak mau,” Ishak Daud menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Saya pikir, pembebasan kami tidak perlu Palang Merah Internasional maupun TNI,” kataku tiba-tiba. Soraya terkejut tapi kuberi isyarat agar diam. “Apa maksudmu,” tanya Abu Ci. Keningnya tampak berkerut.
“Keluarga kami mau menebus. Mereka akan menyediakan dana semampu kami. Pokoknya, kami berusaha mendapatkan dana itu,” tambahku. Tiba-tiba Ishak Daud tertawa mendengar apa yang kukatakan. Kemudian dia bergumam. “Keluargamu kalau tidak salah ibumu sudah menelpon saya, membicarakan itu,” akunya.
Aku sendiri sudah tahu karena waktu menelepon suamiku, dia mengatakan rencana itu. Tapi, Mamiku menghubungi Ishak Daud. Itu yang aku kaget.”Abangmu juga menghubungiku dan membicarakan itu,” tambah Ishak.
“Ada dana berapa yang kalian punya?” tanyanya kemudian. “Maaf, seharusnya berapa,” selaku. Tanpa kuduga, Ishak Daud tertawa mengejekku. Pengawal Ishak Daud hanya diam. Mereka tampak tegang. “Abangmu mengatakan, lebih dari tiga ratus juta,” Ishak menyanggah perhitunganku.
“Kalau begitu Abu Ci (Ishak Daud,-red) silakan bicara lagi dengan Mami atau abang kami,” kataku. “Baik, aku akan menghubungi keluargamu lagi,” janji Ishak.
Esoknya, Ishak berbicara lagi perihal uang tebusan. “Saya sudah bicara sama Mami kalian. Katanya, dia rindu kalian,” terangnya. “Kami juga rindu Mami,” kataku.
“Mami kalian boleh diajak kemari. Intel kami bisa mengambil Mami kalian untuk diajak ke sini,” katanya.
Tentu saja aku tidak mau. Apa jadinya kalau Mami juga diculik? Aku jadi cemas. “Tidak. Tidak usah Mami diajak kemari,” pintaku. Ishak Daud tertawa, menertawakanku yang cemas.
“Maaf, Abu Ci, bagaimana hasil pembicaraan dengan keluarga kami,” tanya Safrida. Ishak Daud tertawa seraya berkata,” Keluarga kamu akan memmbayar Rp500 juta atau Rp1 miliar pun kalian berdua tidak akan kami lepas.”
“Lalu” tanyaku. “Kami akan membebaskan kalian kalau kamu bisa memberi peluru. Suami kamu kan TNI, nah minta peluru sama dia. Kami peluru bukan uang,” ujarnya. Aku sungguh terkejut sementara Soraya tampak gemetar. Sebab, itu tentu tidak mungkin.
“Bagaimana? Kau bisa mengusahakan peluru untuk kami?” tanya Ishak lalu tertawa. “Kalau bisa kalian berdua segera bebas.” Tawa Ishak kian panjang. Pembicaraan soal pembebasan pun dikuncinya. Sejak itu, kami tidak berbicara soal pembebasan. Ishak pun tidak lagi menghubungiku. Komunikasi dengan keluarga pun disetop.
Kami tinggal di perkebunan dekat pemukiman warga. Dua hari kemudian, anggota GAM memberitahu kami akan ada wawancara dengan Metro TV. Dua wartawan sebut saja X dan Y. Setelah wawancara mereka menginap di tenda Ishak Daud. Baru esoknya, wartawan kembali ke kota. Saya sempat menitipkan surat ke wartawan buat keluarga.
Sebelumnya, saya minta Abu Ci memeriksa surat sebelum saya serahkan ke wartawan. Tapi, Ishak Daud menolaknya. Pagi hari, setelah repoter Metro TV meningalkan kamp yang dihuni GAM termasuk Ishak Daud, terdengar rentetan senjata yang dahsyat. Suaranya mengerikan. “Ayo, kita pindah,” ajak Ishak berusaha tenang.
Semua anggota GAM panik. Suara semakin keras dan mendekat. Kontak senjata berlangsung sengit dan lama. Ishak Daud lalu bertanya kepadaku,” Surat apa yang kamu tulis? Apa ada hubungannya dengan kontak senjata ini,” selidiknya, tetapi tidak marah. “Saya tidak menulis apa-apa Abu Ci. Mengapa kemarin Abu Ci tidak membacanya agar tahu isi suratnya,” sanggahku.
“Ya, sudah. Yang penting, kita berusaha selamat,” sambungnya. Pikirku aku tidak akan selamat karena serangan TNI begitu gencar. Waktu itu kami berada di kebuh sawit. Aku yang ketakutan berada di atas pohon. Sedangkan Soraya di tenda dekat tenda Ishak Daud.
Kulihat ada beberapa anggota GAM dengan wajah pucat, nafasnya tersengal. Mereka masuk tenda Ishak Daud. Tak lama kemudian, Soraya keluar tenda. Dia menghampiriku sambil menangis. ”Kak, banyak anggota GAM mati,” bisiknya. “Kamu tahu darimana,” tanyaku balik.
“Tadi kudengar ada anggota GAM melapor Abu Ci sambil menangis. Dia menyebut nama-nama anggota GAM yang mati,” bisik Soraya sambil menahan tangis.
Tubuhnya bergetar ketakutan. “Kabarnya yang mati ada enam orang,”. Aku menangis mendengar nama pemuda lulusan SMA yang selama ini baik kepada kami termasuk yang ikut mati.
“Tolong, kami dibantu mengeluarkan peluru yang nyangsang di perut teman kami,” pinta anggota GAM kepada saya. Sungguh terkejut aku dimintai tolong. Selain tidak tega, aku bukan seorang dokter atau bidan. “Tolonglah kak,” desak anggota GAM tadi.
Demi kemanusiaan, aku mencoba mengambil peluru dengan silet yang sudah disetrilkan dengan cara dibakar sebelumnya. Lalu kemi bedah mengambil pelurunya. Darah berceceran. Anggota GAM segera menaburkan cairan ke luka yang baru disayat, lalu korban diminta minum pil penghenti aliran darah yang katanya dibeli di Thailand.
Harganya cukup mahal. Makanya, begitu minum, darah langsung berhenti. Korban akhirnya selamat. Mereka yang luka dirawat di tenda yang lokasinya tersembunyi. TNI tentu kesulitan mencarinya.
Kami bergabung mereka selama lima hari. Setelah itu pindah mengikuti Ishak Daud. “Kalian ikut kami agar selamat,” ujar Ishak. Ternyata ikut rombongan Ishak Daud bak hidup diujung tanduk. Karena posisinya selalu dikepung TNI. Setiap saat selalu terdengar tembakan TNI. Bahkan kami juga menyaksikan hujan peluru. Makanya, kami terus berlari dan tiarap bergantian untuk menghindari desingan peluru.
Yang paling mengerikan saat kontak senjata di persawahan, ketika Ishak Daud menyeberangi kampung Menasah Kumbang. Aku dan Soraya menangis histeris seperti orang gila.
”Tenang! Tenang! Kalian tidak usah takut. Kalian boleh takut kalau melihat saya ketakutan,” kata Ishak menentramkan kami. “Kalian aman. Kita dijaga lima lapisan pasukan,” sambungnya.
Kami lolos kontak senjata dan masuk perkampungan dan singgah di rumah penduduk. Saat itu waktu hampir malam. Sehabis salat Magrib, kami makan seadanya. Sehabis makan terdengar lagi kontak senjata.
“Ayo, kita pergi lagi,” ajak Ishak. Setelah jalan beberapa jam sampailah pada sebuah gubug sekitar pukul 20.00. Kami bermalam di situ.
Besoknya, pagi-pagi jalan lagi. Kali ini melewati hutan sawit. Alamak! Durinya sangat tajam hingga melukai tubuh kami. Dengan tenda darurat semalam kami menginap di hutan sawit. Esoknya jalan lagi menuju hutan lebat.
Ishak Daud menyerahkan kami berdua kepada Pasukan Jenewa wilayah Bakok. Ishak lalu meninggalkan kami. Saya dan Soraya tidak nyaman dengan pasukan ini.
Selain tidak ramah, mereka memandang kami seperti mau menelan saja. Akibat gencarnya kontak senjata di mana-mana membuat kami terkurung. Kami hidup terisolasi dan sulit memperoleh logistik dari anggota GAM di luar kamp kami.
Kondisi semakin parah. Kami makan nasi hanya dengan bonggol pisang. Sedangkan pakaian hanya menempel di badan. Gizi yang buruk membuat mata Soraya yang minus enam semakin kabur. Dia menjerit saat melihat wajahku peletat pelotot. Ini kasus kali kedua. Sebelumnya juga terjadi demikian. Dengan semampuku, kuurut otot syaraf dengan matanya. Alhamdulillah, penglihatan Soraya baik kembali.
Pasukan PBB yang satu ini tinggal di hutan super lebat di bagian tengah lagi. Kusebut hutan tua karena saking lebatnya. Batang pohon juga super besar. Rata-rata berdiameter lima meter. Batang kulitnya berbalut kayu tebal, kulitnya juga tampak keriput saking tuanya.
Kekalutan pikiran, hidup menderita dan tidak ada kepastian akan dibebaskan, membuat saya nekat kabur. Maka, ketika anggota GAM melaksanakan salat Jumat, aku pergi ke sungai sambil membawa perlengkapan mandi.
Handuk dan perlengkapan mandi kusembunyikan di ilalang. Saya pun menyeberangi sungai berkedalaman satu meter dengan arus cukup kuat. Berhasil, lalu ketemu jalan setapak.
Tapi, apa yang terjadi? Hoooo!.Jantungku hampir copot karena di depan ada pos tentara GAM. Ada tiga anggota GAM berjaga dengan senjata siap ditembakkan. Aku langsung balik badan. Tubuhku gemetar takut ditembak. Sebab, GAM sebelumnya mengancam akan menembak sandera jika berusaha kabur.
Setelah sampai di pingir sungai, tampak Soraya melambaikan tangan. “Kakak, darimana?” tanya Soraya. “Aku berusaha mencari bantuan TNI, Dik!” kataku berbisik sambil memeluk erat. Jelas aku berdusta. “Mengapa tidak mengajak aku,” protes Soraya.
Tinggal di tepi sungai beberapa hari, rombongan GAM pindah lagi. Jalan dalam kegelapan sampai lah pada hutan lebat. Benar-benar lebat. Di hutan ini kami berdua tinggal sebulan bersama pasukan PBB. Gubuk dibangun dari kayu gelondongan. Kalau tidur rasanya sakit di badan.
Karena jarang mandi, dan bila mandi menggunakan air kotor. Maka, penyakit kulit mulai menyerang. Selain jamur yang gatal sekali. Juga bisul-bisul yang bernanah. Begitu pecah darahnya mengeluarkan aroma busuk dan membuat tubuh meriang. Rasanya tidak kuat lagi menahan bisul tadi.
Tinggal di hutan, badan Safrida maupun Soraya mulai kurus karena makanan terbatas. Kadang makan sehari sekali. Jarang mandi, hingga badan kotor dan berbau.
Minumnya air sungai juga bau amis. Untuk menghilangkan bau amis air dicampur teh. Semula aku muntah tapi, lama kelamaan jadi terbiasa.
Kondisi Soraya lebih parah. Selain penyakit asmanya kambuh, dia juga mengalami bleeding atau keguguran akibat kecapaian jalan keluar masuk hutan, naik turun gunung.
Darah yang keluar dari vaginanya sedikit tapi terus menerus tapi tidak ada pembalut. Sebab, lokasi kamp berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman. Itu membuatku cemas. Akhirnya, kaos Soraya kugunting-gunting sebagai pengganti pembalut.
Soraya menangis pedih ketika jabang bayi yang dikandungnya mengalami keguguran. Sebab, status Soraya sebenarnya masih pengantin baru. Suaminya, Lettu TNI AU Agung Setio Budi berasal dari Surabaya baru menikahi bulan April 2003.
Jadi, masih dalam suasana pengantin baru. Mendadak Soraya dan kakaknya Safrida disandera GAM. Kondisi Soraya selain pucat juga lemah karena tidak mau makan. Meski kalau makan pun menunya tidak layak. Ditambah penyakit asmanya kambuh. Aku benar-benar takut kehilangan adikku.
Berbagai upaya aku lakukan. Termasuk memberi ramuan obat dari dedaunan yang diambil dari hutan belantara. Anggota GAM yang bersimpati membantu mencarikan. Daun-daun direbus lalu diminumkan pada Soraya. Seminggu kemudian, kondisi Soraya berangsur membaik. Syukur.
Saat hujan deras, kondisi kamp banjir hingga penghuni tidak bisa tidur. Kalau sudah begitu aku keluar gubug mencari pohon teduh untuk tidur di ayunan. Tubuhku kubalut selimut, sarung.
Pokoknya, apa saja agar tidak kedinginan. Juga pakai plastik agar tetesan air hujan tidak membasahi tubuh. Suara auman harimau, suara cekikikan perempuan hutan atau kuntilanak tidak lagi menakutkan aku seperti sebelumnya. Aku menjelma jadi perempuan hutan.
Semua yang ada di hutan kuajak bicara. Pohon besar, kecil rumput, binatang. Juga bicara dengan embun, angin, hujan, halilintar dan berbagai binatang yang kutemui.
“Kak Cut mulai gila ya? Suka bicara sendiri,” ujar anggota GAM muda yang akrab denganku. “Kak Cut harusnya banyak berdoa supaya jangan bicara sendiri,” ingatnya.
“Aku sudah berdoa bahkan zikir tiap malam,” tegasku . “Ya, itu benar. Tapi, mengapa masih bicara dengan pohon,” tanyanya. “Karena aku ingin ngomong dan rindu keluarga,” ujar Safrida.
Di tengah kegelisahan ada sedikit kabar menyenangkan, Ishak Daud tengah menghubungi Palang Merah Interansional (ICRC)untuk pembebasan sandera. Tapi, kudengar Internasional Committee of the Red Cross itu menolak. Karena masalah sandera urusan dalam negeri Indonesia.
Kabar itu memukul perasaanku. Mendadak ada niat bunuh diri untuk mengakhiri penderitaanku. Pagi itu, ketika matahari belum terbit aku pergi ke sungai.” Mau kemana pagi-pagi begini,” sapa anggota GAM. “Mau ke sungai. Buang air besar. Perutku mulas,” terangku. “Oh.ya. hati-hati kak,” balasnya percaya.
Bisikan antara “ya” dan “tidak” melakukan bunuh diri terus mendengung di telinga. Aku terus mendekati pinggir sungai. Kutengok kiri kanan, tidak ada anggota GAM mengawasi. Suasana pagi itu sepi. Aku pun terjun ke sungai.
Byurr.. dengan cara menghanyutkan diri. Tapi, aku tersentak. Mengapa tidak tenggelam dan hanyut. Aku hanya berdiri di atas arus air seleher. “Hai, lagi apa di situ, Kak,” sapa anggota GAM. Aku diam saja meski disapa berkali-kali.
Karena tidak segera keluar dari sungai, anggota GAM mencoba menakutiku bahwa di sungai ada buaya, ular kobra. Aku bergeming. Sampai akhirnya ada suara lembut, anak GAM yang lulusan SMA yang akrab denganku memanggil.
“Hai, Kak Cut keluarlah dari air,” katanya lembut. “Mari kita kembali ke kamp,” pintanya. Aku pun teringat keluargaku. Aku begitu menyesali ada niat bunuh diri. Akhirnya, aku keluar sungai.
Pada awal September 2003 rombongan anggota dan sandera keluar hutan lebat tua. Kami diserahkan ke pasukan Jenewa yang dipimpin Garuda. Lokasinya, di perkebunan sawit. Kabarnya, setelah itu aku bisa bertemu Ishak Daud yang tentu saja aku minta dibebaskan. Begitu girang aku membayangkan kebebasan jika bertemu Ishak Daud.
“Situasi belum memungkinkan Abu Ci bertemu kalian. Sekarang TNI mengejar Abu Ci,” kata anggota GAM. Aku sedih mendengar itu, tapi juga gembira karena berharap TNI yang mengepung GAM bisa segera membebaskanku.
Kepungan TNI membuat anggota GAM tidak tenang. Mereka stress dan gampang marah. Jadinya, aku dan Soraya sering ketakutan. Paling garang GAM bernama Waldi, bukan nama sebenarnya.
Pada suatu siang, ketika sedang mandi Waldi marah-marah. “Mandinya jangan lama-lama. Kalau membangkang aku tembak,” ancam Waldi. Saya dan Soraya diam saja, kalau dibantah malah ngamuk. Sebab, hari sebelumnya Waldi melempar pisau ke Soraya saat cuci tangan. Dia juga pernah melempar kayu balok ke tenda kami tanpa sebab. Juga memaki-maki Soraya tanpa sebab.
Kupikir, Waldi anggota tentara GAM yang frustasi. Agar kami tidak dilukai, lebih baik menyingkir bila ada dia. Kami pun menjalani hari-hari bersama pasukan Jenewa GAM dengan penuh tekanan.
Sore hari, 6 Septermber 2003 pasukan GAM meninggalkan kamp karena sudah tercium TNI. Para sandera dibawa lari masuk desa dan diserahkan ke Danyon GAM. Esoknya, kami bertemu Ishak Daud. Sungguh, aku terkejut melihat Ishak Daud.Sosoknya sedikit berbeda. Selain lebih kurus, wajahnya agak murung, matanya kuyu.
Dia tampak lelah sekali. Meski demikian, dia berusaha tampak ceria di hadapan kami. Seperti biasanya, Abu Ci didampingi pengawalnya dan juru bicaranya.
“Apa kabar kalian berdua,” sapa Abu Ci. Seperti biasanya, dia tidak bersalaman. Tapi, cukup menganggukkan kepala sebagai ganti salaman.”Kami baik-baik saja,” jawabku. “Ya, kami ingin cepat pulang Abu Ci,” sambungku.
Pertemuan kami siang hari itu di kebun rambutan dan jengkol yang cukup rindang. Seperti biasa, kalau berbiacara dengan Ishak Daud tidak berhadapan dekat. Tapi, sekitar empat meter jauhnya. Tapi, karena suasana hening, pembicaraan kami tidak perlu keras.
“Jadi, bagaimana Abu Ci? Kapan kami bisa pulang ke rumah,” kuulangi pertanyaanku karena Abu Ci diam. “Kami lagi minta bantuan Palang Merah Internasional agar pembebasan kalian berjalan mulus. Kalau lewat TNI pasti ada baku tembak. Ini yang aku tidak mau,” Ishak Daud menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Saya pikir, pembebasan kami tidak perlu Palang Merah Internasional maupun TNI,” kataku tiba-tiba. Soraya terkejut tapi kuberi isyarat agar diam. “Apa maksudmu,” tanya Abu Ci. Keningnya tampak berkerut.
“Keluarga kami mau menebus. Mereka akan menyediakan dana semampu kami. Pokoknya, kami berusaha mendapatkan dana itu,” tambahku. Tiba-tiba Ishak Daud tertawa mendengar apa yang kukatakan. Kemudian dia bergumam. “Keluargamu kalau tidak salah ibumu sudah menelpon saya, membicarakan itu,” akunya.
Aku sendiri sudah tahu karena waktu menelepon suamiku, dia mengatakan rencana itu. Tapi, Mamiku menghubungi Ishak Daud. Itu yang aku kaget.”Abangmu juga menghubungiku dan membicarakan itu,” tambah Ishak.
“Ada dana berapa yang kalian punya?” tanyanya kemudian. “Maaf, seharusnya berapa,” selaku. Tanpa kuduga, Ishak Daud tertawa mengejekku. Pengawal Ishak Daud hanya diam. Mereka tampak tegang. “Abangmu mengatakan, lebih dari tiga ratus juta,” Ishak menyanggah perhitunganku.
“Kalau begitu Abu Ci (Ishak Daud,-red) silakan bicara lagi dengan Mami atau abang kami,” kataku. “Baik, aku akan menghubungi keluargamu lagi,” janji Ishak.
Esoknya, Ishak berbicara lagi perihal uang tebusan. “Saya sudah bicara sama Mami kalian. Katanya, dia rindu kalian,” terangnya. “Kami juga rindu Mami,” kataku.
“Mami kalian boleh diajak kemari. Intel kami bisa mengambil Mami kalian untuk diajak ke sini,” katanya.
Tentu saja aku tidak mau. Apa jadinya kalau Mami juga diculik? Aku jadi cemas. “Tidak. Tidak usah Mami diajak kemari,” pintaku. Ishak Daud tertawa, menertawakanku yang cemas.
“Maaf, Abu Ci, bagaimana hasil pembicaraan dengan keluarga kami,” tanya Safrida. Ishak Daud tertawa seraya berkata,” Keluarga kamu akan memmbayar Rp500 juta atau Rp1 miliar pun kalian berdua tidak akan kami lepas.”
“Lalu” tanyaku. “Kami akan membebaskan kalian kalau kamu bisa memberi peluru. Suami kamu kan TNI, nah minta peluru sama dia. Kami peluru bukan uang,” ujarnya. Aku sungguh terkejut sementara Soraya tampak gemetar. Sebab, itu tentu tidak mungkin.
“Bagaimana? Kau bisa mengusahakan peluru untuk kami?” tanya Ishak lalu tertawa. “Kalau bisa kalian berdua segera bebas.” Tawa Ishak kian panjang. Pembicaraan soal pembebasan pun dikuncinya. Sejak itu, kami tidak berbicara soal pembebasan. Ishak pun tidak lagi menghubungiku. Komunikasi dengan keluarga pun disetop.
Kami tinggal di perkebunan dekat pemukiman warga. Dua hari kemudian, anggota GAM memberitahu kami akan ada wawancara dengan Metro TV. Dua wartawan sebut saja X dan Y. Setelah wawancara mereka menginap di tenda Ishak Daud. Baru esoknya, wartawan kembali ke kota. Saya sempat menitipkan surat ke wartawan buat keluarga.
Sebelumnya, saya minta Abu Ci memeriksa surat sebelum saya serahkan ke wartawan. Tapi, Ishak Daud menolaknya. Pagi hari, setelah repoter Metro TV meningalkan kamp yang dihuni GAM termasuk Ishak Daud, terdengar rentetan senjata yang dahsyat. Suaranya mengerikan. “Ayo, kita pindah,” ajak Ishak berusaha tenang.
Semua anggota GAM panik. Suara semakin keras dan mendekat. Kontak senjata berlangsung sengit dan lama. Ishak Daud lalu bertanya kepadaku,” Surat apa yang kamu tulis? Apa ada hubungannya dengan kontak senjata ini,” selidiknya, tetapi tidak marah. “Saya tidak menulis apa-apa Abu Ci. Mengapa kemarin Abu Ci tidak membacanya agar tahu isi suratnya,” sanggahku.
“Ya, sudah. Yang penting, kita berusaha selamat,” sambungnya. Pikirku aku tidak akan selamat karena serangan TNI begitu gencar. Waktu itu kami berada di kebuh sawit. Aku yang ketakutan berada di atas pohon. Sedangkan Soraya di tenda dekat tenda Ishak Daud.
Kulihat ada beberapa anggota GAM dengan wajah pucat, nafasnya tersengal. Mereka masuk tenda Ishak Daud. Tak lama kemudian, Soraya keluar tenda. Dia menghampiriku sambil menangis. ”Kak, banyak anggota GAM mati,” bisiknya. “Kamu tahu darimana,” tanyaku balik.
“Tadi kudengar ada anggota GAM melapor Abu Ci sambil menangis. Dia menyebut nama-nama anggota GAM yang mati,” bisik Soraya sambil menahan tangis.
Tubuhnya bergetar ketakutan. “Kabarnya yang mati ada enam orang,”. Aku menangis mendengar nama pemuda lulusan SMA yang selama ini baik kepada kami termasuk yang ikut mati.
“Tolong, kami dibantu mengeluarkan peluru yang nyangsang di perut teman kami,” pinta anggota GAM kepada saya. Sungguh terkejut aku dimintai tolong. Selain tidak tega, aku bukan seorang dokter atau bidan. “Tolonglah kak,” desak anggota GAM tadi.
Demi kemanusiaan, aku mencoba mengambil peluru dengan silet yang sudah disetrilkan dengan cara dibakar sebelumnya. Lalu kemi bedah mengambil pelurunya. Darah berceceran. Anggota GAM segera menaburkan cairan ke luka yang baru disayat, lalu korban diminta minum pil penghenti aliran darah yang katanya dibeli di Thailand.
Harganya cukup mahal. Makanya, begitu minum, darah langsung berhenti. Korban akhirnya selamat. Mereka yang luka dirawat di tenda yang lokasinya tersembunyi. TNI tentu kesulitan mencarinya.
Kami bergabung mereka selama lima hari. Setelah itu pindah mengikuti Ishak Daud. “Kalian ikut kami agar selamat,” ujar Ishak. Ternyata ikut rombongan Ishak Daud bak hidup diujung tanduk. Karena posisinya selalu dikepung TNI. Setiap saat selalu terdengar tembakan TNI. Bahkan kami juga menyaksikan hujan peluru. Makanya, kami terus berlari dan tiarap bergantian untuk menghindari desingan peluru.
Yang paling mengerikan saat kontak senjata di persawahan, ketika Ishak Daud menyeberangi kampung Menasah Kumbang. Aku dan Soraya menangis histeris seperti orang gila.
”Tenang! Tenang! Kalian tidak usah takut. Kalian boleh takut kalau melihat saya ketakutan,” kata Ishak menentramkan kami. “Kalian aman. Kita dijaga lima lapisan pasukan,” sambungnya.
Kami lolos kontak senjata dan masuk perkampungan dan singgah di rumah penduduk. Saat itu waktu hampir malam. Sehabis salat Magrib, kami makan seadanya. Sehabis makan terdengar lagi kontak senjata.
“Ayo, kita pergi lagi,” ajak Ishak. Setelah jalan beberapa jam sampailah pada sebuah gubug sekitar pukul 20.00. Kami bermalam di situ.
Besoknya, pagi-pagi jalan lagi. Kali ini melewati hutan sawit. Alamak! Durinya sangat tajam hingga melukai tubuh kami. Dengan tenda darurat semalam kami menginap di hutan sawit. Esoknya jalan lagi menuju hutan lebat.
Ishak Daud menyerahkan kami berdua kepada Pasukan Jenewa wilayah Bakok. Ishak lalu meninggalkan kami. Saya dan Soraya tidak nyaman dengan pasukan ini.
Selain tidak ramah, mereka memandang kami seperti mau menelan saja. Akibat gencarnya kontak senjata di mana-mana membuat kami terkurung. Kami hidup terisolasi dan sulit memperoleh logistik dari anggota GAM di luar kamp kami.
Kondisi semakin parah. Kami makan nasi hanya dengan bonggol pisang. Sedangkan pakaian hanya menempel di badan. Gizi yang buruk membuat mata Soraya yang minus enam semakin kabur. Dia menjerit saat melihat wajahku peletat pelotot. Ini kasus kali kedua. Sebelumnya juga terjadi demikian. Dengan semampuku, kuurut otot syaraf dengan matanya. Alhamdulillah, penglihatan Soraya baik kembali.
(kur)