Serangan TNI Bikin Kocar-kacir GAM, Sandera Terpisah
A
A
A
GUNA menghindari kontak dengan TNI, GAM terus bergerak dari satu tempat ke wilayah lain. Dari satu gunung ke bukit lain, dari satu rawa-rawa ke hutan belantara lain. Para sandera pun dibawa serta. Sehari minim jalan bisa 20 kilometer dengan kondisi medan super berat bahkan bisa 35 kilometer per hari bahkan lebih kalau posisi GAM lagi diburu TNI. Juga melewati desa yang sudah ditinggal penduduknya alias mengungsi.
Tak jarang ditemukan bekas kaleng makanan sisa prajurit TNI. Seperti, kaleng ikan sarden, rendang, nasi goreng, asinan buah berserakan di jalan yang dilalui GAM. Artinya, jalan yang sama juga pernah dilewati TNI. Kesimpulan itu kaleng bekas rangsum TNI karena selama disandera GAM, saya tidak pernah melihat anggota GAM makanan kalengan begituan.
Juga banyak tulisan dengan arang di batu. Isinya, sayembara berbunyi ‘’Siapa bisa tangkap Ishak Daud Dapat Hadiah Rp100 juta’’. Tulisan lain menyebut nilai hadiah Rp150 juta. ‘’Ya, coba tangkap saja kalau bisa. Ini sayembara gila!,’’ ledek Ishak tertawa.
Selentingan dari anggota GAM yang menyediakan hadiah dua pejabat. Yakni, Bupati Aceh Timur dan Gubernur Aceh saat itu. Kedua pejabat itu menginginkan Ishak Daud segera ditangkap karena meresahkan masyarakat. Selain membunuh, merampok, menteror dan menculik warga, Ishak Daud dkk menghasut dan menyesatkan masyarakat.
Tentu saja Ishak Daud merasa tidak sejahat itu. Dia pernah berkata kepadaku, kurang lebih,’’Misi perjuangan kami, para GAM menyelamatkan Bangsa Aceh dari jajahan Indonesia yang hanya mengambil kekayaan Aceh.
Padahal, kalau kekayaan tidak diambil rakyat Aceh bisa makmur,’’ ujarnya berapi-api. ‘’Kami GAM, tidak menyelamatkan seorang pengkhianat bangsa, cuak atau mata-mata TNI yang membahayakan keselamatan anggota GAM. Kami tidak rela ada orang menyakiti rakyar Aceh.
Maka, jika kami melihat itu kami hukum. Jangan lalu kami dibilang jahat,’’ tambahnya. ‘’Ini, Kak Cut sebagai orang Aceh harus tahu,’ ingatnya. Aku tidak berkomentar mengenai penjelasanya. Kubiarkan dia bicara soal perjuangan GAM dan misinya.
Bersama Ishak Daud rombongan terus berjalan naik turun bukit. Menyeberangi sungai baik dalam maupun dangkal. Lokasinya dekat pantai. Sebab, sering tampak tambak atau deburan ombak meski jauh.
‘’Hari ini kalian akan dibawa ke Wakil Danyon GAM,’’ jelas Ishak Daud pada pagi hari, 15 Juli 2003. ‘’Kapan kami dibebaskan, Abu Ci,’’ tanyaku kepada Ishak Daud santai untuk menutupi ketakutanku. Sengaja kupangil Abu Ci agar dia merasa dihormati.
‘’Tungulah waktu yang tepat,’’ jawabnya sambil tersenyum-senyum. Tersenyum kecil atau tertawa adalah kebiasaan Abu Ci, seakan tanpa beban. Padahal, sebagai Panglima GAM Aceh Timur hidupnya ada di ujung tanduk karena terus diburu TNI. ‘’Waktu yang tepat itu kapan Abu Ci? Tolong bebaskan kami secepatnya,’’ pintaku memberanikan diri.
‘Ya, lihat saja nanti. Tidak usah dipikirkan. Nanti, malah sakit. Rajin-rajin saja berdoa. Salatnya jangan telat. Nah, sekarang kemasi barang kalian, sebentar lagi berangkat,’’ kata Abu Ci bernada sabar. Kemudian Abu Ci meninggalkan para sandera.
Rombongan sandera diangkut menggunakan sepeda motor satu per satu. Lokasi Wakil Danyon GAM cukup jauh. Kurang lebih enam jam perjalanan ganti motor dua kali. Para sandera dipisahkan. Aku dan adikku Soraya dibawa ke suatu tempat yang arahnya berlawanan dengan rombongan GAM yang membawa Ersa, Fery dan Rahmatsyah, sopir rental mobil yang disewa kru RCTI.
Mulanya Ishak Daud dan pengawalnya bersama kami. Tapi, kemudian menghilang. Jadinya, saya dan Soraya dikawal pasukan GAM bernama Pasukan Nagoya. Turun dari motor kami berdua diajak masuk hutan lebat. Benar-benar lebat. Pohonnya tinggi besar. Lingkar batangnya saja mungkin 10 pelukan orang dewasa.
Semak belukarnya rapat bak teralis besi hingga sulit disibak. Aku dan Soraya langsung menangis ketakutan di hutan lebat. Pasukan GAM tidak menghiraukan. ‘’Sssst ..diam,’’ bentak seorang anggota GAM melotot. ‘’Ayo! Jalan…. Ada anggota GAM jalan di depan, disamping dan belakang kami dengan senjata siap ditembakkan.
‘’Ayo jalan merangkak. Kalau susah ya tiarap sambil jalan," perintah GAM. Duri-duri menggores sekujur tubuh kami. Pakaian Soraya robek terkena duri. Kulitku juga berdarah-darah. ‘’Kalau tidak merayap cepat, nanti keburu ketahuan TNI dan ditembak mati. Apa kalian mau mati!’’ bentak anggota GAM.
‘’Ya, aku memang ingin mati,’’ sanggahku kesal. ‘’Hu..jangan cerewet. Nanti kutembak," ancam seorang anggota GAM. ‘’Kalau mau selamat diam,’’ bentak yang lain. Kulirik anak muda GAM yang mengancam menembakku menggegat-gegat geram ke arahku. Itu membuat aku naik pitam.
Maka, kulawan dia. ‘’Coba, tembak saja aku! Tembak saja aku! Tantangku dengan suara tercekat. ‘’Ayo tembak,’’ tantangku lagi. Anak muda GAM yang mau menembakku diam, kemudian tertawa sinis. Teman-temannya ikut tertawa. Mereka menertawai aku.
Jadinya, aku menangis juga Soraya. Sungguh waktu itu aku tidak takut ditembak GAM, karena aku ingin mati. Aku sudah putus asa. Tersiksa hidup dalam penyanderaan tanpa tahu kapan akan dilepas. Adikku Soraya tampak ketakutan melihat pertengkaran aku dan anggota GAM. ‘’Sabar, Kak,’’ bisik Soraya. Suaranya menggigil ketakutan.’’Sudah! Sudah! Jangan ribut. Ayo jalan..,’’ ujar anggota GAM berusaha menengahi.’’Mari Kak Cut kita jalan," bujuk anggota GAM tadi. Dia lebih sabar.
Akhirnya perjalanan tiba di hutan agak bersahabat karena tidak perlu merayap. Saat tiba di tanah agak lapang bertemu sekumpulan anggota GAM yang lebih tua. Kami pun diserahkan dari pasukan Nagoya ke Pasukan Jenewa yang umumnya dihuni pasukan GAM berumur rata-rata 40 tahun. Mereka cukup baik dan sopan dalam memberlakukan kami.
Selain lokasi peristirahatan lebih bagus, juga tersedia makanan. Nasi, sayur santan dan ikan asin. Malam itu emosiku sudah reda serta bisa salat dan zikir. Para anggota GAM juga banyak yang salat malam, zikir dilanjutkan salat Subuh berjamaah. Kesannya seperti perkemahan santri.
Tinggal di hutan lebat sungguh mengerikan terlebih malam hari. Kudengar suara-suara aneh. Mulai auman harimau bersahut-sahutan, jeritan kesakitan perempuan yang kuperkirakan arwah orang yang mati penasaran. Ada pula suara perempuan cekikikan seperti kuntilanak layaknya dalam film horor, suara burung parau, suara desis ular di sekitar tenda. Semua itu membuat kami takut dan tidak bisa tidur. ‘Tenang Dik! Tidur Dik,’ bisikku lembut pada Soraya. Dia kepeluk erat. Begitu juga Soraya memelukku erat penuh ketakutan. Pipinya hangat panas karena lelehan air mata.
Esoknya kami para sandera sarapan mie rebus. Siangnya, makan dengan lauk kijang disantan daun pakis hasil buruan GAM. Enak juga daging kijang membuat tubuh hangat hingga malam harinya bisa tidur.
Esoknya suasana di peristirahatan GAM tampak ceria. Itu karena anggota GAM dikunjungi anak isterinya. Bagiku selama disandera itu kali pertama anggota GAM dijenguk anak istri. Pikirku, naik apa mereka bisa menembus hutan lebat? Sungguh mengherankan. Barangkali mereka punya jalan khusus menembus hutan lebat.
Saya makin heran saat lihat penampilan istri dan anak anggota GAM. Kupikir mereka kumal dan miskin karena ditinggal suaminya berperang di hutan belantara. Kenyataannya? Umumnya mereka berparas cantik, berkulit bersih. Dandananya pun modis. Ketika aku berkenalan dan menyalami mereka semerbak tercium aroma wangi dalam tubuh mereka. Tak hanya itu juga menggunakan parfum berkelas dan pelembab kulit.
Mereka menggunakan sepatu kets untuk memudahkan perjalanan. Diantara istri GAM ada yang cerita sama saya, beberapa istri anggota GAM ada yang lulusan S-1 dari perguruan tingi Medan, atau Aceh. Ada juga yang jadi guru, perawat dan bidan. Anak-anak mereka yang umumnya balita cukup terawat. Pakaian bersih badan sehat. Mereka bercengkerama lari kesana kemari dengan anak-anak sesama anggota GAM. Para ibunya ikut bercengkerama hingga suasana jadi ceria.
Lama-lama aku jadi murung karena teringat keluargaku di Surabaya. ‘’Aku masuk tenda dan menangis sejadinya,’ tutur Safrida.
Kedamaian hutan lebat suatu pagi, 19 Juli 2003 berubah panic saat TNI mendadak menyerang lokasi tersebut
‘’TNI menyerang Kita,’’ "Ayo Kita Lari,’’ teriak anggota GAM silih berganti seraya mengemasi barang bawaannya. Anggota GAM yang semula bersikap sopan, mendadak kasar, galak dan brutal. Sedikit saja perintahnya tidak segera dilaksanakan mereka tidak segan memukul kami, sandera. Kami pun mengikuti lari anggota GAM Jenewa masuk ke hutan, atau berlawan arah dari datangnya serangan.
Sambil merangkak, terjadi baku tembak GAM-TNI. Peluru berdesingan di atas kepala kami. Sungguh suasananya ngeri. Pasukan GAM terus lari masuk hutan. Jika suasana sedikit aman kami, para sandera dipaksa terus berlari. Begitu ada suara desingan peluru kami secara refleks tomat langsung tiarap. Begitu seterusnya. Lama-lama kami terbiasa jalan cepat bahkan lari menghindari serangan TNI. Begitu ada tembakan langsung tiarap. Begitu seterusnya.
Setelah menempuh jarak 26 kilometer baru dirasakan aman. Tapi, GAM tak mau ambil risiko dan terus berjalan bahkan malam hari. Tak tertahan capeknya. Apalagi, sekujur tubuh luka, perih akibat luka gores duri dan sengatan matahari.
Akhirnya, tiba lah di hutan lain. Pasukan Jenewa menyerahkan aku dan adikku Soraya ke Pasukan PBB yang kabarnya pasukan elitnya GAM. Pimpinanya bernama Tengku Muda. Sesuai namanya orangnya masi muda. Begitu pun anak buahnya muda-muda. Jadi, masih semangat-semangatnya bertempur. Meski demikian wajah mereka tidak sangar-sangar bahkan mereka bersiklap sopan terhadap kami berdua. Bahkan ada yang memagggil saya dengan sebutan Ibu. Tapi, lebih banyak memanggil ‘Kak Cut’’.
Hidup bersama pasukan PBB sangat repot dan melelahkan karena tiap hari bergerilya tanpa mengenal cuaca. Setiap hari mereka membawa kami jalan paling pendek 20 kilometer. Bila ada serangan TNI bisa jalan 35 kilometer bahkan lebih. Medan yang ditempuh beragam, naik turun bukit, gunung , menyeberangi sungai, masuk keluar hutan. Begitu seterusnya.
Malam hari, pasukan PBB tidak pernah tidur di tenda tapi di ayunan atau hammock yang mereka ikatkan ke pohon. Setiap pasukan juga mendapat jatah rangsel. Kelihatanya cukup kuat. Aku suka ayunan mereka. Pernah kucoba bisa tidur nyenyak. Maka, kubeli salah satu ayunan mereka. Untuk rileks siang hari dan tidur malam hari.
Tapi, pasukan GAM PB terus bergerilya tidak kecuali malam hari. Suatu saat sampai di hutan gundul. Ternyata di sini banyak angota GAM dan penduduk desa. Sekitar 150 orang. Anehnya, orang sebanyak itu tidak berisik. Kami tidak bermalam di tempat itu karena keberadaan kami sudah tercium TNI.
Benar saja tidak lama TNI menghujani peluru. Rombongan GAM pun kocar kacir lari tidak tentu arah. Ditambah malam gelap gulita. Aku dan adikku jadinya terpisah. Peluru terus berdesingan, saya dan GAM berjalan merayap menjauhi serangan TNI. Mendadak Tengku Muda menginjak bom. Semua panik, banyak yang berlari menjauh.
Beruntung bom tidak meledak. Perjalanan berlanjut, pukul 06.30 WIB rombongan tiba di hutan lebat. Lebih lebat dari hutan lebat yang menakutkan sebelumnya.
Tak jarang ditemukan bekas kaleng makanan sisa prajurit TNI. Seperti, kaleng ikan sarden, rendang, nasi goreng, asinan buah berserakan di jalan yang dilalui GAM. Artinya, jalan yang sama juga pernah dilewati TNI. Kesimpulan itu kaleng bekas rangsum TNI karena selama disandera GAM, saya tidak pernah melihat anggota GAM makanan kalengan begituan.
Juga banyak tulisan dengan arang di batu. Isinya, sayembara berbunyi ‘’Siapa bisa tangkap Ishak Daud Dapat Hadiah Rp100 juta’’. Tulisan lain menyebut nilai hadiah Rp150 juta. ‘’Ya, coba tangkap saja kalau bisa. Ini sayembara gila!,’’ ledek Ishak tertawa.
Selentingan dari anggota GAM yang menyediakan hadiah dua pejabat. Yakni, Bupati Aceh Timur dan Gubernur Aceh saat itu. Kedua pejabat itu menginginkan Ishak Daud segera ditangkap karena meresahkan masyarakat. Selain membunuh, merampok, menteror dan menculik warga, Ishak Daud dkk menghasut dan menyesatkan masyarakat.
Tentu saja Ishak Daud merasa tidak sejahat itu. Dia pernah berkata kepadaku, kurang lebih,’’Misi perjuangan kami, para GAM menyelamatkan Bangsa Aceh dari jajahan Indonesia yang hanya mengambil kekayaan Aceh.
Padahal, kalau kekayaan tidak diambil rakyat Aceh bisa makmur,’’ ujarnya berapi-api. ‘’Kami GAM, tidak menyelamatkan seorang pengkhianat bangsa, cuak atau mata-mata TNI yang membahayakan keselamatan anggota GAM. Kami tidak rela ada orang menyakiti rakyar Aceh.
Maka, jika kami melihat itu kami hukum. Jangan lalu kami dibilang jahat,’’ tambahnya. ‘’Ini, Kak Cut sebagai orang Aceh harus tahu,’ ingatnya. Aku tidak berkomentar mengenai penjelasanya. Kubiarkan dia bicara soal perjuangan GAM dan misinya.
Bersama Ishak Daud rombongan terus berjalan naik turun bukit. Menyeberangi sungai baik dalam maupun dangkal. Lokasinya dekat pantai. Sebab, sering tampak tambak atau deburan ombak meski jauh.
‘’Hari ini kalian akan dibawa ke Wakil Danyon GAM,’’ jelas Ishak Daud pada pagi hari, 15 Juli 2003. ‘’Kapan kami dibebaskan, Abu Ci,’’ tanyaku kepada Ishak Daud santai untuk menutupi ketakutanku. Sengaja kupangil Abu Ci agar dia merasa dihormati.
‘’Tungulah waktu yang tepat,’’ jawabnya sambil tersenyum-senyum. Tersenyum kecil atau tertawa adalah kebiasaan Abu Ci, seakan tanpa beban. Padahal, sebagai Panglima GAM Aceh Timur hidupnya ada di ujung tanduk karena terus diburu TNI. ‘’Waktu yang tepat itu kapan Abu Ci? Tolong bebaskan kami secepatnya,’’ pintaku memberanikan diri.
‘Ya, lihat saja nanti. Tidak usah dipikirkan. Nanti, malah sakit. Rajin-rajin saja berdoa. Salatnya jangan telat. Nah, sekarang kemasi barang kalian, sebentar lagi berangkat,’’ kata Abu Ci bernada sabar. Kemudian Abu Ci meninggalkan para sandera.
Rombongan sandera diangkut menggunakan sepeda motor satu per satu. Lokasi Wakil Danyon GAM cukup jauh. Kurang lebih enam jam perjalanan ganti motor dua kali. Para sandera dipisahkan. Aku dan adikku Soraya dibawa ke suatu tempat yang arahnya berlawanan dengan rombongan GAM yang membawa Ersa, Fery dan Rahmatsyah, sopir rental mobil yang disewa kru RCTI.
Mulanya Ishak Daud dan pengawalnya bersama kami. Tapi, kemudian menghilang. Jadinya, saya dan Soraya dikawal pasukan GAM bernama Pasukan Nagoya. Turun dari motor kami berdua diajak masuk hutan lebat. Benar-benar lebat. Pohonnya tinggi besar. Lingkar batangnya saja mungkin 10 pelukan orang dewasa.
Semak belukarnya rapat bak teralis besi hingga sulit disibak. Aku dan Soraya langsung menangis ketakutan di hutan lebat. Pasukan GAM tidak menghiraukan. ‘’Sssst ..diam,’’ bentak seorang anggota GAM melotot. ‘’Ayo! Jalan…. Ada anggota GAM jalan di depan, disamping dan belakang kami dengan senjata siap ditembakkan.
‘’Ayo jalan merangkak. Kalau susah ya tiarap sambil jalan," perintah GAM. Duri-duri menggores sekujur tubuh kami. Pakaian Soraya robek terkena duri. Kulitku juga berdarah-darah. ‘’Kalau tidak merayap cepat, nanti keburu ketahuan TNI dan ditembak mati. Apa kalian mau mati!’’ bentak anggota GAM.
‘’Ya, aku memang ingin mati,’’ sanggahku kesal. ‘’Hu..jangan cerewet. Nanti kutembak," ancam seorang anggota GAM. ‘’Kalau mau selamat diam,’’ bentak yang lain. Kulirik anak muda GAM yang mengancam menembakku menggegat-gegat geram ke arahku. Itu membuat aku naik pitam.
Maka, kulawan dia. ‘’Coba, tembak saja aku! Tembak saja aku! Tantangku dengan suara tercekat. ‘’Ayo tembak,’’ tantangku lagi. Anak muda GAM yang mau menembakku diam, kemudian tertawa sinis. Teman-temannya ikut tertawa. Mereka menertawai aku.
Jadinya, aku menangis juga Soraya. Sungguh waktu itu aku tidak takut ditembak GAM, karena aku ingin mati. Aku sudah putus asa. Tersiksa hidup dalam penyanderaan tanpa tahu kapan akan dilepas. Adikku Soraya tampak ketakutan melihat pertengkaran aku dan anggota GAM. ‘’Sabar, Kak,’’ bisik Soraya. Suaranya menggigil ketakutan.’’Sudah! Sudah! Jangan ribut. Ayo jalan..,’’ ujar anggota GAM berusaha menengahi.’’Mari Kak Cut kita jalan," bujuk anggota GAM tadi. Dia lebih sabar.
Akhirnya perjalanan tiba di hutan agak bersahabat karena tidak perlu merayap. Saat tiba di tanah agak lapang bertemu sekumpulan anggota GAM yang lebih tua. Kami pun diserahkan dari pasukan Nagoya ke Pasukan Jenewa yang umumnya dihuni pasukan GAM berumur rata-rata 40 tahun. Mereka cukup baik dan sopan dalam memberlakukan kami.
Selain lokasi peristirahatan lebih bagus, juga tersedia makanan. Nasi, sayur santan dan ikan asin. Malam itu emosiku sudah reda serta bisa salat dan zikir. Para anggota GAM juga banyak yang salat malam, zikir dilanjutkan salat Subuh berjamaah. Kesannya seperti perkemahan santri.
Tinggal di hutan lebat sungguh mengerikan terlebih malam hari. Kudengar suara-suara aneh. Mulai auman harimau bersahut-sahutan, jeritan kesakitan perempuan yang kuperkirakan arwah orang yang mati penasaran. Ada pula suara perempuan cekikikan seperti kuntilanak layaknya dalam film horor, suara burung parau, suara desis ular di sekitar tenda. Semua itu membuat kami takut dan tidak bisa tidur. ‘Tenang Dik! Tidur Dik,’ bisikku lembut pada Soraya. Dia kepeluk erat. Begitu juga Soraya memelukku erat penuh ketakutan. Pipinya hangat panas karena lelehan air mata.
Esoknya kami para sandera sarapan mie rebus. Siangnya, makan dengan lauk kijang disantan daun pakis hasil buruan GAM. Enak juga daging kijang membuat tubuh hangat hingga malam harinya bisa tidur.
Esoknya suasana di peristirahatan GAM tampak ceria. Itu karena anggota GAM dikunjungi anak isterinya. Bagiku selama disandera itu kali pertama anggota GAM dijenguk anak istri. Pikirku, naik apa mereka bisa menembus hutan lebat? Sungguh mengherankan. Barangkali mereka punya jalan khusus menembus hutan lebat.
Saya makin heran saat lihat penampilan istri dan anak anggota GAM. Kupikir mereka kumal dan miskin karena ditinggal suaminya berperang di hutan belantara. Kenyataannya? Umumnya mereka berparas cantik, berkulit bersih. Dandananya pun modis. Ketika aku berkenalan dan menyalami mereka semerbak tercium aroma wangi dalam tubuh mereka. Tak hanya itu juga menggunakan parfum berkelas dan pelembab kulit.
Mereka menggunakan sepatu kets untuk memudahkan perjalanan. Diantara istri GAM ada yang cerita sama saya, beberapa istri anggota GAM ada yang lulusan S-1 dari perguruan tingi Medan, atau Aceh. Ada juga yang jadi guru, perawat dan bidan. Anak-anak mereka yang umumnya balita cukup terawat. Pakaian bersih badan sehat. Mereka bercengkerama lari kesana kemari dengan anak-anak sesama anggota GAM. Para ibunya ikut bercengkerama hingga suasana jadi ceria.
Lama-lama aku jadi murung karena teringat keluargaku di Surabaya. ‘’Aku masuk tenda dan menangis sejadinya,’ tutur Safrida.
Kedamaian hutan lebat suatu pagi, 19 Juli 2003 berubah panic saat TNI mendadak menyerang lokasi tersebut
‘’TNI menyerang Kita,’’ "Ayo Kita Lari,’’ teriak anggota GAM silih berganti seraya mengemasi barang bawaannya. Anggota GAM yang semula bersikap sopan, mendadak kasar, galak dan brutal. Sedikit saja perintahnya tidak segera dilaksanakan mereka tidak segan memukul kami, sandera. Kami pun mengikuti lari anggota GAM Jenewa masuk ke hutan, atau berlawan arah dari datangnya serangan.
Sambil merangkak, terjadi baku tembak GAM-TNI. Peluru berdesingan di atas kepala kami. Sungguh suasananya ngeri. Pasukan GAM terus lari masuk hutan. Jika suasana sedikit aman kami, para sandera dipaksa terus berlari. Begitu ada suara desingan peluru kami secara refleks tomat langsung tiarap. Begitu seterusnya. Lama-lama kami terbiasa jalan cepat bahkan lari menghindari serangan TNI. Begitu ada tembakan langsung tiarap. Begitu seterusnya.
Setelah menempuh jarak 26 kilometer baru dirasakan aman. Tapi, GAM tak mau ambil risiko dan terus berjalan bahkan malam hari. Tak tertahan capeknya. Apalagi, sekujur tubuh luka, perih akibat luka gores duri dan sengatan matahari.
Akhirnya, tiba lah di hutan lain. Pasukan Jenewa menyerahkan aku dan adikku Soraya ke Pasukan PBB yang kabarnya pasukan elitnya GAM. Pimpinanya bernama Tengku Muda. Sesuai namanya orangnya masi muda. Begitu pun anak buahnya muda-muda. Jadi, masih semangat-semangatnya bertempur. Meski demikian wajah mereka tidak sangar-sangar bahkan mereka bersiklap sopan terhadap kami berdua. Bahkan ada yang memagggil saya dengan sebutan Ibu. Tapi, lebih banyak memanggil ‘Kak Cut’’.
Hidup bersama pasukan PBB sangat repot dan melelahkan karena tiap hari bergerilya tanpa mengenal cuaca. Setiap hari mereka membawa kami jalan paling pendek 20 kilometer. Bila ada serangan TNI bisa jalan 35 kilometer bahkan lebih. Medan yang ditempuh beragam, naik turun bukit, gunung , menyeberangi sungai, masuk keluar hutan. Begitu seterusnya.
Malam hari, pasukan PBB tidak pernah tidur di tenda tapi di ayunan atau hammock yang mereka ikatkan ke pohon. Setiap pasukan juga mendapat jatah rangsel. Kelihatanya cukup kuat. Aku suka ayunan mereka. Pernah kucoba bisa tidur nyenyak. Maka, kubeli salah satu ayunan mereka. Untuk rileks siang hari dan tidur malam hari.
Tapi, pasukan GAM PB terus bergerilya tidak kecuali malam hari. Suatu saat sampai di hutan gundul. Ternyata di sini banyak angota GAM dan penduduk desa. Sekitar 150 orang. Anehnya, orang sebanyak itu tidak berisik. Kami tidak bermalam di tempat itu karena keberadaan kami sudah tercium TNI.
Benar saja tidak lama TNI menghujani peluru. Rombongan GAM pun kocar kacir lari tidak tentu arah. Ditambah malam gelap gulita. Aku dan adikku jadinya terpisah. Peluru terus berdesingan, saya dan GAM berjalan merayap menjauhi serangan TNI. Mendadak Tengku Muda menginjak bom. Semua panik, banyak yang berlari menjauh.
Beruntung bom tidak meledak. Perjalanan berlanjut, pukul 06.30 WIB rombongan tiba di hutan lebat. Lebih lebat dari hutan lebat yang menakutkan sebelumnya.
(kur)