Mobil Diintip Intel GAM, Berujung Penyanderaan
A
A
A
SESAL kemudian tak berguna. Ya, itu yang mendera kakak beradik Safrida-Soraya. Seandainya kakak beradik itu mendengarkan petuah Maminya, penyanderaan terhadap dirinya tidak akan pernah terjadi.
Sebab, ibu mereka yang biasa dipangil Mami melarang mereka keluar rumah. Sebab, sebagai istri TNI aktif sangat berbahaya keluyuran di Aceh yang sedang bergolak. Mami mengatakan, sejak diberlakukan darurat militer 19 Mei 2003, Lhokseumawe jadi salah satu kota paling rawan di Aceh. Apalagi, yang ada kaitannya dengan TNI. Termasuk para istri TNI aktif seperti mereka berdua. Sayang, mereka tak memperdulikannya. Diam-diam Safrida mengajak Soraya tanpa izin Maminya pergi ke kamp pengungsian Bayeun, Aceh Timur.
Kronologinya, aku datang ke Lhokseumawe 25 Juni 2003. Rencananya, 25 Juni 2003 aku balik ke Surabaya di mana suamiku dan ketiga anakkku tinggal. Sebab, sejak 18 Juni aku pergi ke Pekanbaru, Riau, melakukan tugas bulanan mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolonganku dengan pengobatan alternatif dan supranatural. Berkat kuasa Allah SWT aku diberi kepercayaan membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan.
Tapi, 25 Juni 2003 tidak jadi ke Surabaya karena adikku Soraya mengabarkan dari Lhokseumawe, Mami dalam kondisi sakit keras. Kebetulan di hari yang sama ada pesawat Hercules dari Riau menuju Bandara Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Aku pun memutuskan menumpang. Adikku Soraya menjemputku. Aku senang setibanya di rumah karena penyakit mami berangsur pulih.
Rencanaya aku kembali ke Surabaya 30 Juni 2003. Alhamdulillah mami juga cepat sembuh. Maka, hari-hari di Lhokseumawe kuisi kegiatan yang sifatnya membantu bisnis Mami. Yakni, mengurusi butik, (usaha patungan saya dan Soraya) yang buka di salah satu bagian rumah. Sebagaian rumah yang lain disewa RCTI. Terdiri repoter dan juru kamera terdiri 8-10 orang. Mereka menempati empat kamar di lantai dua dari tiga lantai rumah Mami.
Repoter dan juru kamera yang menyewa antara lain Ersa dan Fery. Aku berkenalan dengan mereka saat kedatangan 25 Juni. Ersa orangnya sabar dan ramah hingga hubungan dengan Mami cukup baik. Karena kedekatannya, Ersa suka membawakan makanan kesukaan maminya lontong sayur. Ersa dan Fery biasanya meningalkan rumah untuk meliput pagi hari dan kembali ke rumah pukul 10.00 siang. Lalu ke lapangan lagi sampai malam.
Begitu juga pada hari Minggu, 29 Juni 2003 saat pulang liputan sekitar pukul 10.00 berpapasan dengan saya yang berada di butik. Ersa bertanya apa kegiatanya Safrida di hari Minggu? Safrida menjawab tidak ada acara khusus. Ersa pun cerita akan meliput ke Bayeun, lokasi pengungsian Aceh yang baru dibangun.
’’Oh kalau Bang Ersa ke Bayeun, apa saya bisa titip pakaian untuk pengungsi?’’ tanyaku. Kebetulan butik Mami punya banyak stok pakaian baru tapi sudah lama tertimbun di gudang. Pikirku, daripada rusak lebih baik untuk pengungsi.
‘’Maaf, kalau saya dititipi kok repot ya, karena banyak yang kami liput. Kalau mau, Anda ikut saja kami,’’ ujar Ersa ramah. Ke Bayeun? Terus terang aku tertarik. Pertama. Sudah lama tidak ke Bayeun, karena sudah dua tahun tidak pulang ke Aceh. Kedua, aku ingin ketemu pengungsi untuk menyumbangkan pakaian. Jika ada yang sakit, aku mau mengobati dengan caraku. ‘’Ya, saya mau ikut ke Bayeun, Bang!’’ kusampaikan keinginanku. ‘’Ayo!’’ sambut Ersa semangat.
Tapi, Mami melarangku pergi ke Bayeun. Mami tidak menyatakan alasannya. Dia hanya berkata.’’ Sebaiknya kamu jangan pergi-pergi. Kamu di rumah saja!’’ tekannya.
Tingal di rumah saja, aku merasa sumpek. Inilah yang membuatku bersikeras ke Bayeun. Tapi, bilang sama Mami ke toko sebelah. Mami masuk kamarnya. Kupersiapkan semua barang yang akan kubawa ke Bayeun lalu kumasukan ke mobil operasional RCTI. Kuberitahu Ersa, aku ke Bayeun mengajak adikku Soraya. Ersa setuju. Kami menjemput dulu Soraya yang pagi itu sedang memperbaiki gelangnya yang putus di toko tak jauh dari rumah. Begitu ketemu Soraya, dia langsung kuajak ke Bayeun. Ia tampak senang ikut kami.
Mobil pun melaju ke Bayeun disopiri Rahmatsyah. Ersa duduk di depan. Saya dan adikku duduk di jok tengah. Fery yang pendiam duduk di jok belakang. Begitu mobil jalan, Fery langsung tertidur. Sedangkan saya, Soraya, Ersa dan sopir mengobrol sepanjangn perjalanan.
Sungguh aku terkejut melihat kota Bayeun yang hancur akibat panasnya pertikaian TNI-GAM. Rumah beton warga kini banyak lubang bekas peluru, atapnya rusak dan tak berpenghuni. Begitu juga pertokoan, sekolah dan rumah kayu milik warga jadi kerangka. Reyot . Padahal, seingatku saat Bayeun aman aktivitas kota ramai. Berkat hasil bumi dan ternak sapi. Semua itu kini tinggal kenangan.
10 Menit dari Bayeun sampailah ke lokasi pengungsian. Kondisi kamp Bayeun bersih karena baru di bangun. Tapi, penghuninya tampak stress, dan sebagain sakit-sakitan terutama anak-anak berpakaian lusuh. Saya dan Soraya langsung membagi-bagikan pakaian, Ersa-Fery meliput di seputar areal pengungsian. Sedangkan Rahmatsyah tinggal di mobil.
Di kamp anak klinik tapi tidak ada dokter. Hanya dilayani para medis. Aku bertemu beberapa orangtua yang mengeluh sakit kepala. Setelah kupijit mereka mengaku sudah entengan. Juga bertemu dua balita. Kata ibu mereka, perut anaknya kembung jadi sulit makan. Balita itu lalu kuurut perutnya dan tampaknya sudah merasa enakan. Masih beberapa orang lagi kutangani sebelum kembali ke mobil 13.00 WIB untuk meninggalkan Bayeun.
Saat kembali ke mobil yang diparkir dekat pos penjagaan TNI ternyata Ersa-Fery belum tampak. Aku dan Soraya pun ngobrol ringan dengan tentara yang berjaga di situ. Hal-hal ringan kami obrolkan dan jadinya kami akrab. Tak lama Ersa dan Fery dating. Kami pun meninggalkan Bayeun.
Sebelum kembali ke rumah kami sepakat mencari makan siang. Ternyata, di Bayeun sulit mencari rumah makan yang pas. Kami putuskan terus ke Langsa, Ibu Kota Aceh Timur. Setelah putar-putar akhirnya ada restoran Padang. Entah kenapa saya yang begitu lapar tiba-tiba kenyang saat masuk RM Padang. Perasaanku juga tidak enak. Itu karena aku ingat Mami. Pasti mencariku, karena aku hanya pamit ke toko sebelah rumah. Kenyataannya, aku ke Bayeun.
Perasaanku berubah jadi was-was. Makan hanya sedikit karena kepikiran Mami. Setelah makan akan minta izin Ersa mencari wartel menelpon Mami. Benar saja, Mami mencariku. Dia terkejut ketika kutelepon. Mami mengaku gelisah karena berkali-kali telepon aku tidak bisa amsuk. Kukatakan, tidak ada sinyal.
Mami menyuruhku cepat-cepat pulang. Aku berjanji segera pulang seraya membawakan oleh-oleh kesukaan Mami. Aku beli kue kesukaan Mami. Waktu jam menujukkan pukul 15.00 WIB. ‘’Saya mau salat Ashar dulu baru pulang,’’ kata bang Ersa.
Dia lalu salat di masjid Bayeun bersama Fery, Rahmatsyah dan Soraya. Saya sedang berhalangan dan memilih menunggu di mobil. Suasana sekitar masjid sepi karena tidak ada jamaah lain yang salat kecuali rombongan kami. Ketika menunggu selesainya salat, mendadak ada anak muda laki-laki, naik sepeda ontel. Dia berhenti lalu mengintip di dalam mobil. Mungkin dia melihatku. Hanya sekejap, lalu ia melarikan sepedanya. Kulihat dari balik kaca mobil dia menikung ke ujung jalan masuk perkampungan lalu menghilang.
‘’Tadi, ada anak muda naik sepeda lalu berhenti mengintip dalam mobil kita,’’ aku memberitahu Ersa. ‘’Anak muda itu cepat mengayuh sepedanya pergi meningalkan mobil. Lalu masuk ujung gang," kataku sambil menunjuk jalan ke arah gang itu.
"Oh, ya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa,’’ ujar Ersa tetap tenang. ‘’Bang, perasaanku kok enggak enak,’’ kataku pada Ersa. ‘’Akan ada apa ya?’’ tanyaku sambil kuelus dadaku yang mendadak berdebar kencang dan jantungku berdetak cepat.
Ersa menanggapi dengan kalem. ‘’Kalau begitu mobil kita jalan pelan saja agar tidak terjadi kecelakaan,’’ kata Ersa kepada sopir Rahmatsyah. Kecepatan sekitar 60 km per jam. Kira-kira perjalanan baru lima menit dari masjid Bayeun, tahu-tahu mobil dihadang lima angota GAM bersenjata yang muncul dari selokan pinggir jalan, seperti ditulis di awal tulisan ini.
Rupanya, anak muda yang naik sepeda yang mengintip dalam mobil saat parkir di pelataran masjid Bayeun adalah seorang intel GAM yang memandu penyanderaan kami.
Sebab, ibu mereka yang biasa dipangil Mami melarang mereka keluar rumah. Sebab, sebagai istri TNI aktif sangat berbahaya keluyuran di Aceh yang sedang bergolak. Mami mengatakan, sejak diberlakukan darurat militer 19 Mei 2003, Lhokseumawe jadi salah satu kota paling rawan di Aceh. Apalagi, yang ada kaitannya dengan TNI. Termasuk para istri TNI aktif seperti mereka berdua. Sayang, mereka tak memperdulikannya. Diam-diam Safrida mengajak Soraya tanpa izin Maminya pergi ke kamp pengungsian Bayeun, Aceh Timur.
Kronologinya, aku datang ke Lhokseumawe 25 Juni 2003. Rencananya, 25 Juni 2003 aku balik ke Surabaya di mana suamiku dan ketiga anakkku tinggal. Sebab, sejak 18 Juni aku pergi ke Pekanbaru, Riau, melakukan tugas bulanan mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolonganku dengan pengobatan alternatif dan supranatural. Berkat kuasa Allah SWT aku diberi kepercayaan membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongan.
Tapi, 25 Juni 2003 tidak jadi ke Surabaya karena adikku Soraya mengabarkan dari Lhokseumawe, Mami dalam kondisi sakit keras. Kebetulan di hari yang sama ada pesawat Hercules dari Riau menuju Bandara Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Aku pun memutuskan menumpang. Adikku Soraya menjemputku. Aku senang setibanya di rumah karena penyakit mami berangsur pulih.
Rencanaya aku kembali ke Surabaya 30 Juni 2003. Alhamdulillah mami juga cepat sembuh. Maka, hari-hari di Lhokseumawe kuisi kegiatan yang sifatnya membantu bisnis Mami. Yakni, mengurusi butik, (usaha patungan saya dan Soraya) yang buka di salah satu bagian rumah. Sebagaian rumah yang lain disewa RCTI. Terdiri repoter dan juru kamera terdiri 8-10 orang. Mereka menempati empat kamar di lantai dua dari tiga lantai rumah Mami.
Repoter dan juru kamera yang menyewa antara lain Ersa dan Fery. Aku berkenalan dengan mereka saat kedatangan 25 Juni. Ersa orangnya sabar dan ramah hingga hubungan dengan Mami cukup baik. Karena kedekatannya, Ersa suka membawakan makanan kesukaan maminya lontong sayur. Ersa dan Fery biasanya meningalkan rumah untuk meliput pagi hari dan kembali ke rumah pukul 10.00 siang. Lalu ke lapangan lagi sampai malam.
Begitu juga pada hari Minggu, 29 Juni 2003 saat pulang liputan sekitar pukul 10.00 berpapasan dengan saya yang berada di butik. Ersa bertanya apa kegiatanya Safrida di hari Minggu? Safrida menjawab tidak ada acara khusus. Ersa pun cerita akan meliput ke Bayeun, lokasi pengungsian Aceh yang baru dibangun.
’’Oh kalau Bang Ersa ke Bayeun, apa saya bisa titip pakaian untuk pengungsi?’’ tanyaku. Kebetulan butik Mami punya banyak stok pakaian baru tapi sudah lama tertimbun di gudang. Pikirku, daripada rusak lebih baik untuk pengungsi.
‘’Maaf, kalau saya dititipi kok repot ya, karena banyak yang kami liput. Kalau mau, Anda ikut saja kami,’’ ujar Ersa ramah. Ke Bayeun? Terus terang aku tertarik. Pertama. Sudah lama tidak ke Bayeun, karena sudah dua tahun tidak pulang ke Aceh. Kedua, aku ingin ketemu pengungsi untuk menyumbangkan pakaian. Jika ada yang sakit, aku mau mengobati dengan caraku. ‘’Ya, saya mau ikut ke Bayeun, Bang!’’ kusampaikan keinginanku. ‘’Ayo!’’ sambut Ersa semangat.
Tapi, Mami melarangku pergi ke Bayeun. Mami tidak menyatakan alasannya. Dia hanya berkata.’’ Sebaiknya kamu jangan pergi-pergi. Kamu di rumah saja!’’ tekannya.
Tingal di rumah saja, aku merasa sumpek. Inilah yang membuatku bersikeras ke Bayeun. Tapi, bilang sama Mami ke toko sebelah. Mami masuk kamarnya. Kupersiapkan semua barang yang akan kubawa ke Bayeun lalu kumasukan ke mobil operasional RCTI. Kuberitahu Ersa, aku ke Bayeun mengajak adikku Soraya. Ersa setuju. Kami menjemput dulu Soraya yang pagi itu sedang memperbaiki gelangnya yang putus di toko tak jauh dari rumah. Begitu ketemu Soraya, dia langsung kuajak ke Bayeun. Ia tampak senang ikut kami.
Mobil pun melaju ke Bayeun disopiri Rahmatsyah. Ersa duduk di depan. Saya dan adikku duduk di jok tengah. Fery yang pendiam duduk di jok belakang. Begitu mobil jalan, Fery langsung tertidur. Sedangkan saya, Soraya, Ersa dan sopir mengobrol sepanjangn perjalanan.
Sungguh aku terkejut melihat kota Bayeun yang hancur akibat panasnya pertikaian TNI-GAM. Rumah beton warga kini banyak lubang bekas peluru, atapnya rusak dan tak berpenghuni. Begitu juga pertokoan, sekolah dan rumah kayu milik warga jadi kerangka. Reyot . Padahal, seingatku saat Bayeun aman aktivitas kota ramai. Berkat hasil bumi dan ternak sapi. Semua itu kini tinggal kenangan.
10 Menit dari Bayeun sampailah ke lokasi pengungsian. Kondisi kamp Bayeun bersih karena baru di bangun. Tapi, penghuninya tampak stress, dan sebagain sakit-sakitan terutama anak-anak berpakaian lusuh. Saya dan Soraya langsung membagi-bagikan pakaian, Ersa-Fery meliput di seputar areal pengungsian. Sedangkan Rahmatsyah tinggal di mobil.
Di kamp anak klinik tapi tidak ada dokter. Hanya dilayani para medis. Aku bertemu beberapa orangtua yang mengeluh sakit kepala. Setelah kupijit mereka mengaku sudah entengan. Juga bertemu dua balita. Kata ibu mereka, perut anaknya kembung jadi sulit makan. Balita itu lalu kuurut perutnya dan tampaknya sudah merasa enakan. Masih beberapa orang lagi kutangani sebelum kembali ke mobil 13.00 WIB untuk meninggalkan Bayeun.
Saat kembali ke mobil yang diparkir dekat pos penjagaan TNI ternyata Ersa-Fery belum tampak. Aku dan Soraya pun ngobrol ringan dengan tentara yang berjaga di situ. Hal-hal ringan kami obrolkan dan jadinya kami akrab. Tak lama Ersa dan Fery dating. Kami pun meninggalkan Bayeun.
Sebelum kembali ke rumah kami sepakat mencari makan siang. Ternyata, di Bayeun sulit mencari rumah makan yang pas. Kami putuskan terus ke Langsa, Ibu Kota Aceh Timur. Setelah putar-putar akhirnya ada restoran Padang. Entah kenapa saya yang begitu lapar tiba-tiba kenyang saat masuk RM Padang. Perasaanku juga tidak enak. Itu karena aku ingat Mami. Pasti mencariku, karena aku hanya pamit ke toko sebelah rumah. Kenyataannya, aku ke Bayeun.
Perasaanku berubah jadi was-was. Makan hanya sedikit karena kepikiran Mami. Setelah makan akan minta izin Ersa mencari wartel menelpon Mami. Benar saja, Mami mencariku. Dia terkejut ketika kutelepon. Mami mengaku gelisah karena berkali-kali telepon aku tidak bisa amsuk. Kukatakan, tidak ada sinyal.
Mami menyuruhku cepat-cepat pulang. Aku berjanji segera pulang seraya membawakan oleh-oleh kesukaan Mami. Aku beli kue kesukaan Mami. Waktu jam menujukkan pukul 15.00 WIB. ‘’Saya mau salat Ashar dulu baru pulang,’’ kata bang Ersa.
Dia lalu salat di masjid Bayeun bersama Fery, Rahmatsyah dan Soraya. Saya sedang berhalangan dan memilih menunggu di mobil. Suasana sekitar masjid sepi karena tidak ada jamaah lain yang salat kecuali rombongan kami. Ketika menunggu selesainya salat, mendadak ada anak muda laki-laki, naik sepeda ontel. Dia berhenti lalu mengintip di dalam mobil. Mungkin dia melihatku. Hanya sekejap, lalu ia melarikan sepedanya. Kulihat dari balik kaca mobil dia menikung ke ujung jalan masuk perkampungan lalu menghilang.
‘’Tadi, ada anak muda naik sepeda lalu berhenti mengintip dalam mobil kita,’’ aku memberitahu Ersa. ‘’Anak muda itu cepat mengayuh sepedanya pergi meningalkan mobil. Lalu masuk ujung gang," kataku sambil menunjuk jalan ke arah gang itu.
"Oh, ya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa,’’ ujar Ersa tetap tenang. ‘’Bang, perasaanku kok enggak enak,’’ kataku pada Ersa. ‘’Akan ada apa ya?’’ tanyaku sambil kuelus dadaku yang mendadak berdebar kencang dan jantungku berdetak cepat.
Ersa menanggapi dengan kalem. ‘’Kalau begitu mobil kita jalan pelan saja agar tidak terjadi kecelakaan,’’ kata Ersa kepada sopir Rahmatsyah. Kecepatan sekitar 60 km per jam. Kira-kira perjalanan baru lima menit dari masjid Bayeun, tahu-tahu mobil dihadang lima angota GAM bersenjata yang muncul dari selokan pinggir jalan, seperti ditulis di awal tulisan ini.
Rupanya, anak muda yang naik sepeda yang mengintip dalam mobil saat parkir di pelataran masjid Bayeun adalah seorang intel GAM yang memandu penyanderaan kami.
(kur)