Indonesia Siap Hadapi Perkembangan Dunia Digital

Rabu, 07 Desember 2016 - 03:38 WIB
Indonesia Siap Hadapi...
Indonesia Siap Hadapi Perkembangan Dunia Digital
A A A
SINGAPURA - Makin majunya bisnis media digital tidak bisa dibendung. Tapi, media konvensional seperti televisi, radio, serta cetak, bisa mempertahankan keunggulannya dalam bentuk quality content.

Bahkan, media konvensional dapat memperoleh keuntungan dalam situasi ini. Pandangan itu dikemukakan CEO MNC David Fernando Audy dalam keynote speech pada Singapore Media Festival di Marina Bay Sands, Singapura, Selasa (6/12/2016).

“Salah satu sektor yang sangat diuntungkan dengan perkembangan media digital ini adalah televisi. Dengan adanya internet, orang yang tadinya tidak bisa nonton televise karena sibuk, sekarang bisa nonton video on demand seperti lewat Iflix dan Netflix,” jelas David yang memaparkan ‘What Digital Means in The World’s Third Largest Country’.

David menggambarkan, dalam kondisi ini pendapatan bukan hanya dari iklan, namun juga dari segi langganan. Dia mencontohkan, di Amerika Serikat (AS) ada televisi CBS yang meraup pendapatan besar dari berlangganan.

“Memang ada risiko disruptif untuk media cetak yang didatangkan oleh internet, dan itu tak terhindarkan. Oleh karena itu, industri media cetak harus bekerja lebih keras lagi kerjanya untuk menghadapi digital wave ini,” imbuhnya.

David menjelaskan di tengah pesatnya dunia digital, ada sejumlah surat kabar yang menunjukkan perkembangan yang baik dan kuat menjaga basis pelanggannya. Contohnya, New Yok Times, Asian Wall Street Journal, Financial Times yang masih terus berkembang.

“Kuncinya adalah pada kontennya. Kebijakan editorial dalam pemberitaannya harus mendalam dan kredibel. Jangan hanya memberitakan hal-hal seperti yang diberitakan oleh media online. Kedalaman pemberitaan adalah kelebihan media cetak. Selain itu layout, desain harus bagus dan marketing strategy juga agar orang mau beli,” papar David.

Namun sekalipun perkembangan internet di Indonesia sangat menggembirakan, kata David, MNC masih belum terburu-buru untuk fokus ke media digital. Baginya untuk suatu perusahaan dengan portofolio yang besar untuk masuk ke bisnis seperti ini butuh pembuktian dari segi kesiapan pasar. Selain itu, perlu diketahui apakah pasarnya menguntungkan atau tidak.

“Indonesia itu besar, pengguna internetnya banyak. Namun mayoritas penggunanya baru untuk menggunakan media sosial, masih sangat sedikit yang menggunakan internet untuk misalnya nonton Netflix. Biaya berlangganannya masih dianggap terlalu mahal untuk orang Indonesia yang GDP nya baru di kisaran USD3.800,” ungkap David.

Sekalipun David mengatakan bahwa monetization of internet tidak akan datang dalam waktu dekat ini di Indonesia, tetap saja MNC Group mempersiapkan diri untuk perkembangan ini. “Walaupun kami jual konten ke Iflix, kami juga launching konten kami sendiri, koran juga kami online-kan semua, library kami juga di-digitalisasi, media sosial juga kami pakai untuk monetisasi konten kami,” jelas David.

Dia juga menjelaskan, harus ada roadmap yang jelas dalam digitalisasi di Indonesia, terutama di sektor pertelevisian. Misalnya dalam masalah izin televisi, Indonesia ada baiknya mengikuti pola AS, Jepang, atau Korea Selatan.

“Kalau berikan izin sebaiknya hanya ke pihak yang committed mau investasi, bukannya dapat izin lalu dijual seperti broker. Itu kan kesalahan masa lalu kita. Kalau digital jangan seperti Thailand dari tiga tv jadi 60 tv,” paparnya.

David juga menggarisbawahi kekhawatiran terhadap industri televisi dimana generasi muda tidak lagi menonton televisi. Namun David menepis kekhawatiran tersebut, bahwa anak muda di zaman mana pun relatif rendah konsumsi televisinya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2449 seconds (0.1#10.140)