Fadli Zon: Pelaksanaan Keistimewaan Tidak Boleh Menyalahi UU Lainnya
A
A
A
JAKARTA - Tim Pemantau DPR RI atas pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di tiga daerah, yaitu Aceh, Papua dan Yogyakarta, melakukan kunjungan kerja ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kunjungan kerja ini diikuti oleh sembilan anggota DPR RI lintas fraksi yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Dr. Fadli Zon, M.Sc., yang juga merupakan Ketua Tim Pemantau.
"Salah satu tugas DPR adalah melakukan pengawasan. Dan kunjungan kerja ke DIY ini adalah dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta. Kami ingin mendalami sejumlah persoalan yang berkembang di Yogya terkait pelaksanaan UU tersebut, terutama untuk soal agraria," papar Fadli.
DPR kata Fadli, menangkap ada kegelisahan di sejumlah masyarakat Yogya akibat berubahnya politik hukum pertanahan sesudah berlakunya UU Keistimewaan.
Persoalan ini lanjut Fadli tentu saja tidak boleh diabaikan, harus dicarikan penyelesaiannya. Dari pengaduan-pengaduan yang masuk, ada kesan bahwa UU Keistimewaan telah ditafsirkan seolah bersifat lex specialis terhadap UU Pokok Agraria.
"Padahal seharusnya tidak. UU Keistimewaan hanya bersifat lex specialis terhadap UU Pemerintah Daerah," sebutnya.
Di Yogyakarta, Tim Pemantau melakukan kunjungan ke Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Bantul.
Sejumlah kasus sengketa agraria, seperti kasus penambangan pasir besi, lahan bandara, serta sejumlah kasus penggusuran, yang kesemuanya terkait dengan klaim tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), menjadi obyek sorotan tim.
Di Kulonprogo, tim ditemui oleh Sekretaris Daerah dan jajarannya, mewakili bupati yang tidak bisa hadir. Sementara, di Bantul tim disambut oleh bupati dan jajarannya lengkap.
"Ini merupakan kunjungan kerja kedua Tim Pemantau ke Yogya. Kunjungan pertama adalah pada 5-6 Juni 2015. Dari dua kali kunjungan ini, serta FGD yang dilakukan DPR pada 26 Oktober 2015 tentang pertanahan di DIY," terangnya.
Fadli menilai jika sejumlah persoalan yang muncul pasca-berlakunya UU Keistimewaan berasal dari dua hal.
Pertama, pemerintah pusat belum melengkapi UU tersebut dengan berbagai peraturan pelaksana, sehingga menimbulkan interpretasi beragam. "Dan kedua, UU Keistimewaan masih butuh sinkronisasi dengan UU lainnya, terutama UUPA," sebutnya.
Proses sinkronisasi sebut Fadli, memang seharusnya terjadi di level undang-undang. Artinya, harus digodok bersama lagi oleh pemerintah pusat dan DPR berdasarkan masukan-masukan dari berbagai pihak, dan bukan disinkronisasi di level Perda.
Karena kalau sinkronisasi aturannya dilakukan di level Perda, UU Keistimewaan berpotensi akan menjadi lex specialis dari berbagai undang-undang.
"Sesuai undang-undang, keistimewaan dan otonomi khusus dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan bagi rakyat. Itu sebabnya, jika ada yang malah menggelisahkan rakyat, harus kita evaluasi dan awasi," pungkasnya.
Kunjungan kerja ini diikuti oleh sembilan anggota DPR RI lintas fraksi yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Dr. Fadli Zon, M.Sc., yang juga merupakan Ketua Tim Pemantau.
"Salah satu tugas DPR adalah melakukan pengawasan. Dan kunjungan kerja ke DIY ini adalah dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta. Kami ingin mendalami sejumlah persoalan yang berkembang di Yogya terkait pelaksanaan UU tersebut, terutama untuk soal agraria," papar Fadli.
DPR kata Fadli, menangkap ada kegelisahan di sejumlah masyarakat Yogya akibat berubahnya politik hukum pertanahan sesudah berlakunya UU Keistimewaan.
Persoalan ini lanjut Fadli tentu saja tidak boleh diabaikan, harus dicarikan penyelesaiannya. Dari pengaduan-pengaduan yang masuk, ada kesan bahwa UU Keistimewaan telah ditafsirkan seolah bersifat lex specialis terhadap UU Pokok Agraria.
"Padahal seharusnya tidak. UU Keistimewaan hanya bersifat lex specialis terhadap UU Pemerintah Daerah," sebutnya.
Di Yogyakarta, Tim Pemantau melakukan kunjungan ke Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Bantul.
Sejumlah kasus sengketa agraria, seperti kasus penambangan pasir besi, lahan bandara, serta sejumlah kasus penggusuran, yang kesemuanya terkait dengan klaim tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), menjadi obyek sorotan tim.
Di Kulonprogo, tim ditemui oleh Sekretaris Daerah dan jajarannya, mewakili bupati yang tidak bisa hadir. Sementara, di Bantul tim disambut oleh bupati dan jajarannya lengkap.
"Ini merupakan kunjungan kerja kedua Tim Pemantau ke Yogya. Kunjungan pertama adalah pada 5-6 Juni 2015. Dari dua kali kunjungan ini, serta FGD yang dilakukan DPR pada 26 Oktober 2015 tentang pertanahan di DIY," terangnya.
Fadli menilai jika sejumlah persoalan yang muncul pasca-berlakunya UU Keistimewaan berasal dari dua hal.
Pertama, pemerintah pusat belum melengkapi UU tersebut dengan berbagai peraturan pelaksana, sehingga menimbulkan interpretasi beragam. "Dan kedua, UU Keistimewaan masih butuh sinkronisasi dengan UU lainnya, terutama UUPA," sebutnya.
Proses sinkronisasi sebut Fadli, memang seharusnya terjadi di level undang-undang. Artinya, harus digodok bersama lagi oleh pemerintah pusat dan DPR berdasarkan masukan-masukan dari berbagai pihak, dan bukan disinkronisasi di level Perda.
Karena kalau sinkronisasi aturannya dilakukan di level Perda, UU Keistimewaan berpotensi akan menjadi lex specialis dari berbagai undang-undang.
"Sesuai undang-undang, keistimewaan dan otonomi khusus dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan bagi rakyat. Itu sebabnya, jika ada yang malah menggelisahkan rakyat, harus kita evaluasi dan awasi," pungkasnya.
(nag)