Tuntutan Hukuman bagi Koruptor Ringan, Kinerja Jaksa Agung Disorot
A
A
A
JAKARTA - Kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) di bawah kepemimpinan M Prasetyo dinilai masih lemah, khususnya terkait perumusan penuntutan hukuman bagi koruptor.
"Hampir dua tahun kepemimpinan Jaksa Agung M Prasetyo, kinerja penuntutan belum optimal dilakukan," kata peneliti ICW Aradila Caesar di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Aradila menuturkan, berdasarkan catatan ICW sepanjang November 2015 hingga Juni 2016, setidaknya ada 332 perkara yang ditangani kejaksaan diputus oleh pengadilan.
Dari total perkara, rata-rata tuntutan pidana yang dikenakan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah tiga tahun empat bulan.
Hal tersebut dinilai Aradila tidak membanggakan bagi kerja penuntutan perkara korupsi. "Jaksa Agung seharusnya dapat mendorong kejaksaan menuntut koruptor secara lebih berat," kata Aradila.
Menurut dia, idealnya penuntutan terhadap koruptor berdasarkan bobot kesalahan terdakwa serta kerugian yang ditimbulkan.
Namun demikian, kata Aradila, dalam hal ini seringkali jaksa tidak menggunakan standar yang jelas dalam mengenakan tuntutan pidana. Sehingga masih dijumpai disparitas penuntutan oleh jaksa.
"Dari kinerja penuntutan ini arah Kejagung perlu dipertanyakan. Apakah Jaksa Agung mendukung kampanye pemerintah untuk memberantas korupsi atau tidak," tutur Aradila.
"Hampir dua tahun kepemimpinan Jaksa Agung M Prasetyo, kinerja penuntutan belum optimal dilakukan," kata peneliti ICW Aradila Caesar di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Aradila menuturkan, berdasarkan catatan ICW sepanjang November 2015 hingga Juni 2016, setidaknya ada 332 perkara yang ditangani kejaksaan diputus oleh pengadilan.
Dari total perkara, rata-rata tuntutan pidana yang dikenakan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah tiga tahun empat bulan.
Hal tersebut dinilai Aradila tidak membanggakan bagi kerja penuntutan perkara korupsi. "Jaksa Agung seharusnya dapat mendorong kejaksaan menuntut koruptor secara lebih berat," kata Aradila.
Menurut dia, idealnya penuntutan terhadap koruptor berdasarkan bobot kesalahan terdakwa serta kerugian yang ditimbulkan.
Namun demikian, kata Aradila, dalam hal ini seringkali jaksa tidak menggunakan standar yang jelas dalam mengenakan tuntutan pidana. Sehingga masih dijumpai disparitas penuntutan oleh jaksa.
"Dari kinerja penuntutan ini arah Kejagung perlu dipertanyakan. Apakah Jaksa Agung mendukung kampanye pemerintah untuk memberantas korupsi atau tidak," tutur Aradila.
(dam)