Tetapkan Status Siaga Satu, Polisi Berlebihan
A
A
A
JAKARTA - Polri menetapkan kondisi siaga I bagi seluruh personel Korps Brimob guna mengantisipasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Penetapan siaga I ini terhitung mulai Jumat 28 Oktober 2016 dan berlaku hingga ada pencabuitan terhadap status kesiagaan tersebut.
Penetapan siaga I ini mengundang pertanyaan banyak kalangan. Apalagi Polri tidak memberi penjelasan yang cukup mengenai alasan penetapan siaga I tersebut. Kritik atas Polri antara lain disampaikan Pimpinan Muhammadiyah dan Komisi III DPR.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti menilai pihak kepolisian berlebihan dan terkesan membesar-besarkan hal-hal yang tidak semestinya. Melihat kondisi bangsa saat ini yang relatif kondusif, sikap kepolisian itu menurutnya justru menimbulkan tanda tanya besar.
"Karena kalau dinyatakan siaga I akan berlaku ketentuan pengamanan siaga I. Berarti negara dalam keadaan darurat. Kalau siaga I berarti ada penindakan tegas kepada mereka yang akan melakukan kekisruhan," ujarnya, Sabtu 29 Oktober 2016.
Menurut Muti, daripada menetapkan status negara siaga I, kepolisian lebih baik berintrospeksi atas kinerjanya selama ini yang belum memuaskan masyarakat. Salah satunya dalam hal penanganan kasus yang berbau penistaan agama yang membuat masyarakat tidak cukup puas atas respons dan tindak lanjut Polri. (Baca: Antisipasi Gangguan Kamtibmas RI, Polri Tetapkan Siaga Satu)
Kondisi Indonesia yang diwarnai ketegangan di masyarakat, menurut dia, itu terjadi karena polisi tidak melakukan follow-up atas kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok (Gubernur DKI nonaktif Basuki T Purnama).
Muti juga meminta agar kepolisian menjelaskan latar belakang dikeluarkannya surat perintah siaga I tersebut. "Harus dijelaskan keadaan gawat ini seperti apa. Tapi saya tetap meminta polisi mengevaluasi, jangan banyak mengedepankan represif dan kurang dialog," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Riza Patria mengaku belum tahu dasar dikeluarkannya status siaga I tersebut. Jika pemicunya adalah kondisi jelang Pilkada Serentak 2017, itu tidak cukup beralasan karena pemungutan suara masih lama. Saat ini baru memasuki masa kampanye dan masih tersisa 107 hari sebelum masa tenang pilkada.
Sekdar perbandingan, pada Pilkada Serentak 2015 Polri baru menetapkan status siaga I pada hari pertama masa tenang yakni 7 Desember 2015. Saat itu dua hari jelang pemungutan suara yang digelar 9 Desember 2015.
Untuk itu, Riza juga meminta Polri menjelaskan lebih terperinci maksud dari kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat. "Saya tidak tahu dasarnya apa, kalau pilkada ini kan masih lama (pemungutan suara). Pilkada 2015 kemarin tidak seperti itu. Jadi harus diverifikasi apakah ada temuan dari Polri?" ujar anggota fraksi Partai Gerindra DPR itu.
Riza menyayangkan Polri yang dinilai terlalu mudah menetapkan kondisi bangsa dalam status sisga I.
"Ini harus segera diredam karena berimplikasi pada ekonomi, berpengaruh pada investor. Juga sosial, orang merasa tidak aman," kata Riza.
Penetapan siaga I ini mengundang pertanyaan banyak kalangan. Apalagi Polri tidak memberi penjelasan yang cukup mengenai alasan penetapan siaga I tersebut. Kritik atas Polri antara lain disampaikan Pimpinan Muhammadiyah dan Komisi III DPR.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti menilai pihak kepolisian berlebihan dan terkesan membesar-besarkan hal-hal yang tidak semestinya. Melihat kondisi bangsa saat ini yang relatif kondusif, sikap kepolisian itu menurutnya justru menimbulkan tanda tanya besar.
"Karena kalau dinyatakan siaga I akan berlaku ketentuan pengamanan siaga I. Berarti negara dalam keadaan darurat. Kalau siaga I berarti ada penindakan tegas kepada mereka yang akan melakukan kekisruhan," ujarnya, Sabtu 29 Oktober 2016.
Menurut Muti, daripada menetapkan status negara siaga I, kepolisian lebih baik berintrospeksi atas kinerjanya selama ini yang belum memuaskan masyarakat. Salah satunya dalam hal penanganan kasus yang berbau penistaan agama yang membuat masyarakat tidak cukup puas atas respons dan tindak lanjut Polri. (Baca: Antisipasi Gangguan Kamtibmas RI, Polri Tetapkan Siaga Satu)
Kondisi Indonesia yang diwarnai ketegangan di masyarakat, menurut dia, itu terjadi karena polisi tidak melakukan follow-up atas kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok (Gubernur DKI nonaktif Basuki T Purnama).
Muti juga meminta agar kepolisian menjelaskan latar belakang dikeluarkannya surat perintah siaga I tersebut. "Harus dijelaskan keadaan gawat ini seperti apa. Tapi saya tetap meminta polisi mengevaluasi, jangan banyak mengedepankan represif dan kurang dialog," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Riza Patria mengaku belum tahu dasar dikeluarkannya status siaga I tersebut. Jika pemicunya adalah kondisi jelang Pilkada Serentak 2017, itu tidak cukup beralasan karena pemungutan suara masih lama. Saat ini baru memasuki masa kampanye dan masih tersisa 107 hari sebelum masa tenang pilkada.
Sekdar perbandingan, pada Pilkada Serentak 2015 Polri baru menetapkan status siaga I pada hari pertama masa tenang yakni 7 Desember 2015. Saat itu dua hari jelang pemungutan suara yang digelar 9 Desember 2015.
Untuk itu, Riza juga meminta Polri menjelaskan lebih terperinci maksud dari kebijakan tersebut agar tidak menimbulkan tanda tanya di masyarakat. "Saya tidak tahu dasarnya apa, kalau pilkada ini kan masih lama (pemungutan suara). Pilkada 2015 kemarin tidak seperti itu. Jadi harus diverifikasi apakah ada temuan dari Polri?" ujar anggota fraksi Partai Gerindra DPR itu.
Riza menyayangkan Polri yang dinilai terlalu mudah menetapkan kondisi bangsa dalam status sisga I.
"Ini harus segera diredam karena berimplikasi pada ekonomi, berpengaruh pada investor. Juga sosial, orang merasa tidak aman," kata Riza.
(kur)