Ada 'Tukang Obat' di Indonesia International Book Fair
A
A
A
PADA Jumat (30/9/2016) pukul 14.00 WIB siang tadi orang-orang masih pada belum datang ke Indonesia International Book Fair (IIBF) 2016 di Jakarta Convention Center alias Balai Sidang Jakarta.
Jalanan Tanah Betawi kini selalu padat, tetapi Balai Sidang terlihat lengang. Enak buat melenggang. Bahkan label internasional untuk pameran tidak juga membuat orang tertarik dan berbondong-bondong mengerumuni gerai dan membeli media paling penting bagi peradaban sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg: buku.
Di dalam Hall B, lokasi pameran, juga sepi. Stan peserta dari Jepang, Korea, Mesir, Arab Saudi, China, dan negara lain tampak bersih dan tak menarik. Hanya satu dua orang terlihat berbincang-bincang dalam obrolan kecil. Sisanya penjaga-penjaga stan yang tampak sudah jenuh bahkan saat pameran baru dimulai lagi setelah jam rehat salat Jumat.
“Kalau dibanding ajang pameran buku lain, sekarang ini terbilang sepi. Deretan stan di sebelah itu pukul lima sore sudah ditutup. Yang di depan itu pukul tujuh juga tutup. Padahal, di pameran buku lain pada jam-jam itu lagi ramai-ramainya pengunjung,” ujar Ali, penjaga stan Ikapi Yogyakarta, bangkit dari tempat duduk sambil memutar badan.
Maksud penyelenggara menambahi Indonesia Book Fair dangan kata "international" tiga tahun lalu mungkin ingin meniru keinternasionalan Frankfurt Book Fair atau Kolkata Book Fair yang padat dan bersemangat, tentu lengkap dengan guest of honor alias tamu kehormatan yang kali ini Malaysia duduk dengan manisnya.
Nyatanya, bahkan informasi, iklan, apalagi resonansi pameran ini tidak terasa sedikit saja. Siswa tak ada yang tahu, mahasiswa tak mendengar, reporter abai, warga Jakarta (eh, Indonesia!) ya anteng-anteng saja. Paling sedikit itulah yang jawaban beberapa kolega mengenai keberadaan pameran ini. Senyap tak menyala.
Untunglah ada Khalid Salleh yang cemerlang. Aktor terbaik pada Festival Film Asia-Pasifik 1999, dramawan terkemuka Malaysia dan penulis kebudayaan ini naik panggung utama dengan monolog karyanya sendiri, Jual Ubat.
"Mari, Mari! Yang jauh mendekat, yang sudah dekat semakin rekat, yang dekat mari lihat.... ayo, ayo... yeaaaah!"
Maka Khalid pun berteriak, lari-lari kecil, berjongkok, dan mengekspresikan seorang yang sedang jual obat dengan penampilan khas dan setumpuk properti yang hendak dijual atau dipertontonkan saja itu. Pemilihan judul monolog, Jual Ubat, sungguh cerdas dan menolong keadaan di Balai Sidang. Khalid jadi dengan enak berkoar tentang apa saja.
Dari isu sensitif mengenai kebudayaan Melayu di Indonesia dan Malaysia, cara orang Batak dan Jawa berinteraksi dalam contoh-contoh dialog yang segar, masalah politik, moral, agama, hingga bagaimana menggambarkan kernet sebuah bus di Jakarta yang tetap memaksa penumpang baru naik walau orang-orang sudah berjejalan menggelantung di luar pintu.
Tidak ketinggalan, sebagai tukang obat Khalid juga beratraksi menanam batu ukuran cukup besar di atas botol kecil sambil mulutnya tetap meracaukan apa saja. Dalam waktu tidak kurang dari satu jam Khalid bermonolog dengan sangat berhasil. Menawan di awal, kocak di tiap adegan, mengharukan, fasih dan menggetarkan saat menirukan Bung Karno berpidato di Istana Negara memperingati Maulid Nabi pada 1964, dan lihai memerankan tukang obat yang cerdik.
Dia juga menutup pentasnya dengan mengesankan. Staminanya prima dan penonton pun beroleh hiburan sehat dengan sukacita. Selebihnya acara demi acara dilangsungkan sebagai rutin yang tak juga menumbuhkan minat orang akan buku. Di koridor-koridor orang berjalan, para penunggu stan menonton pergerakan manusia yang tak seberapa atau diserang kantuk yang tiba-tiba.
Sebagai simpati, bolehlah membeli buku barang satu dua. Di sini tidak ada keriuhan orang dengan troli besar yang penuh buku yang harus diseret meliuk-liuk karena akan bertabrakan dengan troli pengunjung lain yang tidak kalah menggunung. Inilah Indonesia International Book Fair 2016.
Seorang kolega yang sudah cukup lama bergiat di dunia buku dan bekas pemimpin redaksi sebuah penerbitan buku nasional, Qomaruddin SF, tampak pasrah. "Memang sepi," katanya.
Pameran buku berskala internasional ini menjadi potret yang gemilang betapa mengenaskan nasib buku dan perbukuan Tanah Air. Sepi dan ditinggalkan orang. Seperti nasib banjir bandang di Garut, longsor di Sumedang, dan korban letusan Gunung Barujari di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kini orang-orang digiring untuk hanya mengenal tiga kosakata: tax amnesty, Ahok, dan sianida.
Jalanan Tanah Betawi kini selalu padat, tetapi Balai Sidang terlihat lengang. Enak buat melenggang. Bahkan label internasional untuk pameran tidak juga membuat orang tertarik dan berbondong-bondong mengerumuni gerai dan membeli media paling penting bagi peradaban sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg: buku.
Di dalam Hall B, lokasi pameran, juga sepi. Stan peserta dari Jepang, Korea, Mesir, Arab Saudi, China, dan negara lain tampak bersih dan tak menarik. Hanya satu dua orang terlihat berbincang-bincang dalam obrolan kecil. Sisanya penjaga-penjaga stan yang tampak sudah jenuh bahkan saat pameran baru dimulai lagi setelah jam rehat salat Jumat.
“Kalau dibanding ajang pameran buku lain, sekarang ini terbilang sepi. Deretan stan di sebelah itu pukul lima sore sudah ditutup. Yang di depan itu pukul tujuh juga tutup. Padahal, di pameran buku lain pada jam-jam itu lagi ramai-ramainya pengunjung,” ujar Ali, penjaga stan Ikapi Yogyakarta, bangkit dari tempat duduk sambil memutar badan.
Maksud penyelenggara menambahi Indonesia Book Fair dangan kata "international" tiga tahun lalu mungkin ingin meniru keinternasionalan Frankfurt Book Fair atau Kolkata Book Fair yang padat dan bersemangat, tentu lengkap dengan guest of honor alias tamu kehormatan yang kali ini Malaysia duduk dengan manisnya.
Nyatanya, bahkan informasi, iklan, apalagi resonansi pameran ini tidak terasa sedikit saja. Siswa tak ada yang tahu, mahasiswa tak mendengar, reporter abai, warga Jakarta (eh, Indonesia!) ya anteng-anteng saja. Paling sedikit itulah yang jawaban beberapa kolega mengenai keberadaan pameran ini. Senyap tak menyala.
Untunglah ada Khalid Salleh yang cemerlang. Aktor terbaik pada Festival Film Asia-Pasifik 1999, dramawan terkemuka Malaysia dan penulis kebudayaan ini naik panggung utama dengan monolog karyanya sendiri, Jual Ubat.
"Mari, Mari! Yang jauh mendekat, yang sudah dekat semakin rekat, yang dekat mari lihat.... ayo, ayo... yeaaaah!"
Maka Khalid pun berteriak, lari-lari kecil, berjongkok, dan mengekspresikan seorang yang sedang jual obat dengan penampilan khas dan setumpuk properti yang hendak dijual atau dipertontonkan saja itu. Pemilihan judul monolog, Jual Ubat, sungguh cerdas dan menolong keadaan di Balai Sidang. Khalid jadi dengan enak berkoar tentang apa saja.
Dari isu sensitif mengenai kebudayaan Melayu di Indonesia dan Malaysia, cara orang Batak dan Jawa berinteraksi dalam contoh-contoh dialog yang segar, masalah politik, moral, agama, hingga bagaimana menggambarkan kernet sebuah bus di Jakarta yang tetap memaksa penumpang baru naik walau orang-orang sudah berjejalan menggelantung di luar pintu.
Tidak ketinggalan, sebagai tukang obat Khalid juga beratraksi menanam batu ukuran cukup besar di atas botol kecil sambil mulutnya tetap meracaukan apa saja. Dalam waktu tidak kurang dari satu jam Khalid bermonolog dengan sangat berhasil. Menawan di awal, kocak di tiap adegan, mengharukan, fasih dan menggetarkan saat menirukan Bung Karno berpidato di Istana Negara memperingati Maulid Nabi pada 1964, dan lihai memerankan tukang obat yang cerdik.
Dia juga menutup pentasnya dengan mengesankan. Staminanya prima dan penonton pun beroleh hiburan sehat dengan sukacita. Selebihnya acara demi acara dilangsungkan sebagai rutin yang tak juga menumbuhkan minat orang akan buku. Di koridor-koridor orang berjalan, para penunggu stan menonton pergerakan manusia yang tak seberapa atau diserang kantuk yang tiba-tiba.
Sebagai simpati, bolehlah membeli buku barang satu dua. Di sini tidak ada keriuhan orang dengan troli besar yang penuh buku yang harus diseret meliuk-liuk karena akan bertabrakan dengan troli pengunjung lain yang tidak kalah menggunung. Inilah Indonesia International Book Fair 2016.
Seorang kolega yang sudah cukup lama bergiat di dunia buku dan bekas pemimpin redaksi sebuah penerbitan buku nasional, Qomaruddin SF, tampak pasrah. "Memang sepi," katanya.
Pameran buku berskala internasional ini menjadi potret yang gemilang betapa mengenaskan nasib buku dan perbukuan Tanah Air. Sepi dan ditinggalkan orang. Seperti nasib banjir bandang di Garut, longsor di Sumedang, dan korban letusan Gunung Barujari di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kini orang-orang digiring untuk hanya mengenal tiga kosakata: tax amnesty, Ahok, dan sianida.
(dam)