Tersangka Korupsi, Gubernur Sultra Terancam Dijerat Pasal TPPU
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pemberian tiga izin usaha pertambangan (IUP) nikel.
Tidak hanya diduga menyalahi aturan mengenai pemberian izin, Nur Alam terancam dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU). (Baca juga: KPK Resmi Tetapkan Gubernur Sultra Nur Alam Jadi Tersangka)
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengungkapkan, KPK telah melakukan penyelidikan kasus terkait izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara selama beberapa tahun.
Berdasarkan hasil penyelidikan, kata dia, disimpulkan ada tindak pidana korupsi. Dengan demikian dikatakannya KPK memutuskan meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan.
"Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti dan sedang diperbanyak lagi dan menetapkan NA selaku Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai tersangka," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa 23 Agustus 2016.
Menurut dia, tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara.
Atas perbuatannya, Nur Alam yang juga mantan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Syarif membeberkan, tersangka diduga memperkaya diri sendiri dengan mendapatkan uang sebesar puluhan miliar. Adapun sebagian hasil memperkaya diri, kata dia, tersangka mengantongi uang seperti yang pernah dilansir Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yakni USD4,5 juta atau setara lebih dari Rp50 miliar.
"Itu sebagian dari bukti yang dimiliki KPK. Kami sudah memperoleh bukti transfer. Jadi angkanya sesuai dengan yang diterima dari PPATK," ungkap Syarif.
Syarif memaparkan, KPK sedang menghitung angka pasti harta yang diperoleh tersangka dari upaya memperkarya diri tersebut. Termasuk yang diperoleh pihak lain dan korporasi. P
Dia mengakui KPK sudah melakukan penghitungan hal tersebut bersama para ahli. Tapi untuk lebih pastinya KPK meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Angka pastinya (kerugian negara dan lain-lain) nanti disampaikan lagi. Tapi jumlah menguntungkan diri sendiri NA itu cukup signifikan," katanya.
Syarif mengakui, dengan melihat kurun waktu terjadinya tindak pidana, yakni 2009-2014 atau enam tahun maka diduga hasil korupsi pertambangan sudah berubah bentuk baik, bisa berupa tanah dan bangunan, tanah tanpa bangunan, kendaraan, atau disimpan di dalam rekening atau ditransfer kepada pihak lain.
Mengacu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3, Syarif mengatakan ada kemungkinan penyidikan juga mengarah kepada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dia mengakui lembaganya sedang mengkaji penerapan UU TPPU terhadap tersangka.
"Kalau ditemukan dua alat bukti yang kuat untuk TPPU, tentu akan diterapkan. Alat buktinya sedang dikumpulkan. Bukti-bukti lain yang berhubungan dengan TPPU, itu juga akan dipelajari. Ada yang sudah jadi mobil atau yang lain akan dijelaskan dalam perkembangan kasusnya," tuturnya.
Tidak hanya diduga menyalahi aturan mengenai pemberian izin, Nur Alam terancam dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU). (Baca juga: KPK Resmi Tetapkan Gubernur Sultra Nur Alam Jadi Tersangka)
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengungkapkan, KPK telah melakukan penyelidikan kasus terkait izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara selama beberapa tahun.
Berdasarkan hasil penyelidikan, kata dia, disimpulkan ada tindak pidana korupsi. Dengan demikian dikatakannya KPK memutuskan meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan.
"Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti dan sedang diperbanyak lagi dan menetapkan NA selaku Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai tersangka," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa 23 Agustus 2016.
Menurut dia, tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara.
Atas perbuatannya, Nur Alam yang juga mantan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Syarif membeberkan, tersangka diduga memperkaya diri sendiri dengan mendapatkan uang sebesar puluhan miliar. Adapun sebagian hasil memperkaya diri, kata dia, tersangka mengantongi uang seperti yang pernah dilansir Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yakni USD4,5 juta atau setara lebih dari Rp50 miliar.
"Itu sebagian dari bukti yang dimiliki KPK. Kami sudah memperoleh bukti transfer. Jadi angkanya sesuai dengan yang diterima dari PPATK," ungkap Syarif.
Syarif memaparkan, KPK sedang menghitung angka pasti harta yang diperoleh tersangka dari upaya memperkarya diri tersebut. Termasuk yang diperoleh pihak lain dan korporasi. P
Dia mengakui KPK sudah melakukan penghitungan hal tersebut bersama para ahli. Tapi untuk lebih pastinya KPK meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Angka pastinya (kerugian negara dan lain-lain) nanti disampaikan lagi. Tapi jumlah menguntungkan diri sendiri NA itu cukup signifikan," katanya.
Syarif mengakui, dengan melihat kurun waktu terjadinya tindak pidana, yakni 2009-2014 atau enam tahun maka diduga hasil korupsi pertambangan sudah berubah bentuk baik, bisa berupa tanah dan bangunan, tanah tanpa bangunan, kendaraan, atau disimpan di dalam rekening atau ditransfer kepada pihak lain.
Mengacu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3, Syarif mengatakan ada kemungkinan penyidikan juga mengarah kepada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dia mengakui lembaganya sedang mengkaji penerapan UU TPPU terhadap tersangka.
"Kalau ditemukan dua alat bukti yang kuat untuk TPPU, tentu akan diterapkan. Alat buktinya sedang dikumpulkan. Bukti-bukti lain yang berhubungan dengan TPPU, itu juga akan dipelajari. Ada yang sudah jadi mobil atau yang lain akan dijelaskan dalam perkembangan kasusnya," tuturnya.
(dam)