Tiru Soeharto, Jokowi Diminta Jembatani Abu Sayyaf-Filipina
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta belajar dari Presiden RI kedua Soeharto. Jokowi diminta menjembatani kelompok bersenjata pimpinan Abu Sayyaf dengan Pemerintah Filipina.
Sebab, Presiden RI kedua Soeharto pernah ikut menyelesaikan konflik di Mindanau, Filipina. "Sebaiknya pemerintah Indonesia, pemerintah sekarang ya, itu belajar dari Presiden Soeharto," ujar Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/8/2016).
Menurut Tamliha, Soeharto pernah mengakomodasi keinginan Moro National Liberation Front (MNLF) untuk mendapatkan otonomi khusus dari Pemerintah Filipina. "Itu yang semestinya dilakukan pemerintah sekarang kepada Pemerintah Filipina, sehingga kelompok Abu Sayyaf merasa dibela," tutur politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
Apalagi, menurut dia, Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia. "Apalagi negara kita kan negara muslim terbesar di dunia, sangat tepat lah membela kelompk Abu Sayyaf itu dalam hal kepentingan untuk menjadi sebuah otonomi khusus di Pulau Sulu sana," ungkapnya.
Lagipula, lanjut dia, pemerintah pernah memberikan otonomi khusus kepada Aceh dan Papua. "Sehingga tidak ada lagi yang memberontak itu," ucapnya.
Dia berpandangan, kelompok Abu Sayyaf tidak lagi disebut kelompok sepataris jika telah diberikan otonomi khusus. "Kalau separatis itu kan orang yang ingin memisahkan dari negara induknya, itu yang terjadi di Papua dan Aceh," tuturnya.
Ditambahkannya, Pemerintah Filipina pun bisa merasa bersyukur jika Indonesia ikut menjembatani persoalan Abu Sayyaf tersebut. "Saya mendengar ada kekecewaan mereka bahwa pemerintah kita sekarang tidak seperti Pak Harto dulu yang mau terang-terangan membicarakannya di ASEAN, penyelesainnya mesti bisa diterima kedua belah pihak," pungkasnya.
Sebab, Presiden RI kedua Soeharto pernah ikut menyelesaikan konflik di Mindanau, Filipina. "Sebaiknya pemerintah Indonesia, pemerintah sekarang ya, itu belajar dari Presiden Soeharto," ujar Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/8/2016).
Menurut Tamliha, Soeharto pernah mengakomodasi keinginan Moro National Liberation Front (MNLF) untuk mendapatkan otonomi khusus dari Pemerintah Filipina. "Itu yang semestinya dilakukan pemerintah sekarang kepada Pemerintah Filipina, sehingga kelompok Abu Sayyaf merasa dibela," tutur politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
Apalagi, menurut dia, Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di dunia. "Apalagi negara kita kan negara muslim terbesar di dunia, sangat tepat lah membela kelompk Abu Sayyaf itu dalam hal kepentingan untuk menjadi sebuah otonomi khusus di Pulau Sulu sana," ungkapnya.
Lagipula, lanjut dia, pemerintah pernah memberikan otonomi khusus kepada Aceh dan Papua. "Sehingga tidak ada lagi yang memberontak itu," ucapnya.
Dia berpandangan, kelompok Abu Sayyaf tidak lagi disebut kelompok sepataris jika telah diberikan otonomi khusus. "Kalau separatis itu kan orang yang ingin memisahkan dari negara induknya, itu yang terjadi di Papua dan Aceh," tuturnya.
Ditambahkannya, Pemerintah Filipina pun bisa merasa bersyukur jika Indonesia ikut menjembatani persoalan Abu Sayyaf tersebut. "Saya mendengar ada kekecewaan mereka bahwa pemerintah kita sekarang tidak seperti Pak Harto dulu yang mau terang-terangan membicarakannya di ASEAN, penyelesainnya mesti bisa diterima kedua belah pihak," pungkasnya.
(kri)