Mantan Hakim MK Komentari Soal Dugaan Pelanggaran Etik Arsul Sani
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Prof H Ahmad Syarifuddin Natabaya ikut mengomentari dugaan pelanggaran etik Anggota DPR Arsul Sani di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dia menegaskan, setiap anggota DPR harus bisa memosisikan dirinya. Tidak boleh menjual posisinya sebagai wakil rakyat untuk kepentingan pribadi.
"Kalau dia bertindak di DPR, dalam mengeluarkan kebijakan secara kelembagaan, dalam proses kelembagaan UU itu hak dia. Nah, kalau keterangan dalam sebuah proses persidangan, dan mewakili DPR, itu yang harus disampaikan, sehingga apa yang jadi masalah selesai," ujar dia melalui rilis yang diterima Sindonews, Jumat (5/8/2016).
Akan tetapi, kata dia , tidak boleh ada bumbu dari kepentingan pribadi. Kalau itu terjadi, maka akan ada conflict of interest. Jikakalau itu terjadi, menurutnya Arsul harus ditegur oleh DPR.
"Itu tidak boleh, dia harus mewakili dalam kapasitasnya. Tidak boleh membela dalam kepentingan dia," tegas mantan hakim Mahkamah Konstitusi ini.
Soal laporan dugaan pelanggaran Arsul ke MKD, dia berpandangan, hal itu dilakukan karena si penggugat menilai ada kesalahan kode etik yang dilakukan. Nah ini kemudian menjadi tanggung jawab MKD untuk membuktikan, apakah Arsul salah atau benar.
"MKD ada tata cara, gugatan, serahkan ke proses yang ada. Apakah perbuatannya dicampuri kepentingan dia atau tidak," tandas dia.
Secara terpisah, pengacara PPP, Andika mengatakan, Asrul diduga sudah kali kedua melakukan pelanggaran kode etik. Andika mengakui telah mengadukan hal ini ke KPK dan MKD agar turun tangan mengawasi jalannya persidangan PTUN Jakarta.
"Sebelum dugaan pelanggaran kode etik dalam sidang PTUN, ia juga diduga menjual pengaruh anggota DPR Komisi III yang sedang melakukan revisi UU Kehakiman," ungkapnya.
Untuk diketahui, Asrul Sani dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, karena diduga melakukan tindakan tidak etis ketika menghadiri sidang di PTUN Jakarta.
Ia menghadiri sidang mewakili tergugat intervensi yakni PPP kubu Romahurmuziy (Romi), dalam sidang gugatan yang diajukan PPP kubu Djan Faridz.
Dia menegaskan, setiap anggota DPR harus bisa memosisikan dirinya. Tidak boleh menjual posisinya sebagai wakil rakyat untuk kepentingan pribadi.
"Kalau dia bertindak di DPR, dalam mengeluarkan kebijakan secara kelembagaan, dalam proses kelembagaan UU itu hak dia. Nah, kalau keterangan dalam sebuah proses persidangan, dan mewakili DPR, itu yang harus disampaikan, sehingga apa yang jadi masalah selesai," ujar dia melalui rilis yang diterima Sindonews, Jumat (5/8/2016).
Akan tetapi, kata dia , tidak boleh ada bumbu dari kepentingan pribadi. Kalau itu terjadi, maka akan ada conflict of interest. Jikakalau itu terjadi, menurutnya Arsul harus ditegur oleh DPR.
"Itu tidak boleh, dia harus mewakili dalam kapasitasnya. Tidak boleh membela dalam kepentingan dia," tegas mantan hakim Mahkamah Konstitusi ini.
Soal laporan dugaan pelanggaran Arsul ke MKD, dia berpandangan, hal itu dilakukan karena si penggugat menilai ada kesalahan kode etik yang dilakukan. Nah ini kemudian menjadi tanggung jawab MKD untuk membuktikan, apakah Arsul salah atau benar.
"MKD ada tata cara, gugatan, serahkan ke proses yang ada. Apakah perbuatannya dicampuri kepentingan dia atau tidak," tandas dia.
Secara terpisah, pengacara PPP, Andika mengatakan, Asrul diduga sudah kali kedua melakukan pelanggaran kode etik. Andika mengakui telah mengadukan hal ini ke KPK dan MKD agar turun tangan mengawasi jalannya persidangan PTUN Jakarta.
"Sebelum dugaan pelanggaran kode etik dalam sidang PTUN, ia juga diduga menjual pengaruh anggota DPR Komisi III yang sedang melakukan revisi UU Kehakiman," ungkapnya.
Untuk diketahui, Asrul Sani dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, karena diduga melakukan tindakan tidak etis ketika menghadiri sidang di PTUN Jakarta.
Ia menghadiri sidang mewakili tergugat intervensi yakni PPP kubu Romahurmuziy (Romi), dalam sidang gugatan yang diajukan PPP kubu Djan Faridz.
(kri)