DPR Dukung Pemerintah Abaikan Putusan IPT Soal Peristiwa 65
A
A
A
JAKARTA - DPR mendukung pemerintah mengabaikan keputusan final pengadilan rakyat internasional atau International People's Tribunal (IPT) di Den Haag, Belanda, mengenai tragedi 1965.
Adapun keputusan IPT itu menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi pada 1965-1966.
Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, tidak ada kewajiban Pemerintah Indonesia atau negara untuk menaati keputusan final pengadilan rakyat internasional tersebut. "Karena kita enggak mengenal sistem peradilan IPT," ujar Ade di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Namun dia berpendapat, tragedi 1965 perlu diambil hikmahnya agar kejadian serupa tidak terulang ke depannya. "Kita harus sama-sama solid secara nasional baik partai politik dan masyarakat menghadapi dampak ekonomi global yang menurun. Kalau kita tidak pandai-pandai kita tidak akan survive," ucap politikus Partai Golkar ini.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais. "Iya, tolak saja," ujar Hanafi. (Baca: Luhut Panjaitan Tegaskan Negara Tak Akan Minta Maaf kepada PKI)
Sebab lanjut dia, IPT tidak mempunyai legalitas dan legitimasi untuk memvonis sebuah negara, apalagi memaksa negara untuk taat. "Kedaulatan hukum milik Indonesia, tidak bisa diintervensi oleh asing," ungkapnya.
(Baca: Kivlan Zen Ungkap Tokoh Ini di Balik Lahirnya PKI Gaya Baru)
Sebelumnya, Pemerintah mengabaikan keputusan final pengadilan rakyat internasional IPT di Den Haag mengenai tragedi 1965. Hasil keputusan IPT 1965 itu rencananya juga akan disampaikan kepada Komisi HAM PBB dan Pemerintah Indonesia, untuk ditindaklanjuti.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pengadilan rakyat internasional atau IPT bukan institusi resmi.
"Jadi tidak perlu ditanggapi. Bagaimana dia mau bicara tentang Indonesia kalau dia tidak tahu Indonesia. Kita tidak perlu bereaksi macam-macam," ujar Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 21 Juli 2016.
Adapun keputusan IPT itu menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi pada 1965-1966.
Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, tidak ada kewajiban Pemerintah Indonesia atau negara untuk menaati keputusan final pengadilan rakyat internasional tersebut. "Karena kita enggak mengenal sistem peradilan IPT," ujar Ade di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Namun dia berpendapat, tragedi 1965 perlu diambil hikmahnya agar kejadian serupa tidak terulang ke depannya. "Kita harus sama-sama solid secara nasional baik partai politik dan masyarakat menghadapi dampak ekonomi global yang menurun. Kalau kita tidak pandai-pandai kita tidak akan survive," ucap politikus Partai Golkar ini.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais. "Iya, tolak saja," ujar Hanafi. (Baca: Luhut Panjaitan Tegaskan Negara Tak Akan Minta Maaf kepada PKI)
Sebab lanjut dia, IPT tidak mempunyai legalitas dan legitimasi untuk memvonis sebuah negara, apalagi memaksa negara untuk taat. "Kedaulatan hukum milik Indonesia, tidak bisa diintervensi oleh asing," ungkapnya.
(Baca: Kivlan Zen Ungkap Tokoh Ini di Balik Lahirnya PKI Gaya Baru)
Sebelumnya, Pemerintah mengabaikan keputusan final pengadilan rakyat internasional IPT di Den Haag mengenai tragedi 1965. Hasil keputusan IPT 1965 itu rencananya juga akan disampaikan kepada Komisi HAM PBB dan Pemerintah Indonesia, untuk ditindaklanjuti.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pengadilan rakyat internasional atau IPT bukan institusi resmi.
"Jadi tidak perlu ditanggapi. Bagaimana dia mau bicara tentang Indonesia kalau dia tidak tahu Indonesia. Kita tidak perlu bereaksi macam-macam," ujar Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 21 Juli 2016.
(maf)