Perlu Biaya Rp2,5 M untuk Eksekusi Aset Perkara Supersemar
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan eksekusi uang pengganti kerugian negara dari Yayasan Supersemar sebesar Rp4,4 trilun nyatanya membutuhkan biaya sebesar Rp2,5 miliar.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, besarnya biaya eksekusi uang pengganti menjadi salah satu hambatan utama Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melaksanakan eksekusi aset Yayasan Supersemar.
"Ya itu salah satunya, kita (Kejagung) akan coba untuk menjelaskan dan menceritakan kepada pihak yang memiliki kapasitas untuk bisa memberi bantuan dana itu," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Prasetyo menambahkan, dana untuk eksekusi aset Yayasan Supersemar sangat diperlukan dan sangat penting. "Itu permintaan pengadilan yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan putusan dan itu resmi," ujar Prasetyo.
Kasus ini berawal ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan bank negara harus menyetor 50% dari 5% sisa laba bersihnya ke Yayasan Supersemar.
Sejak tahun 1976 hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mengantongi dana sejumlah US$ 420,000 dan Rp185 miliar. Namun, terjadi penyelewengan dana untuk membiayai pendidikan rakyat Indonesia itu.
Setelah rezim orde baru selesai, Kejaksaan Agung mewakili negara menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2008 silam, mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti kerugian kepada negara sejumlah US$ 105 juta dan Rp46 miliar.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, besarnya biaya eksekusi uang pengganti menjadi salah satu hambatan utama Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melaksanakan eksekusi aset Yayasan Supersemar.
"Ya itu salah satunya, kita (Kejagung) akan coba untuk menjelaskan dan menceritakan kepada pihak yang memiliki kapasitas untuk bisa memberi bantuan dana itu," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Prasetyo menambahkan, dana untuk eksekusi aset Yayasan Supersemar sangat diperlukan dan sangat penting. "Itu permintaan pengadilan yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan putusan dan itu resmi," ujar Prasetyo.
Kasus ini berawal ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan bank negara harus menyetor 50% dari 5% sisa laba bersihnya ke Yayasan Supersemar.
Sejak tahun 1976 hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mengantongi dana sejumlah US$ 420,000 dan Rp185 miliar. Namun, terjadi penyelewengan dana untuk membiayai pendidikan rakyat Indonesia itu.
Setelah rezim orde baru selesai, Kejaksaan Agung mewakili negara menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto atas dugaan melakukan perbuatan melawan hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret 2008 silam, mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti kerugian kepada negara sejumlah US$ 105 juta dan Rp46 miliar.
(maf)