Perempuan Bangsa Dukung Penuh Penerapan Hukuman Kebiri
A
A
A
JAKARTA - Organisasi Perempuan Bangsa (PB) mendukung penuh penerapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) soal hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Organisasi sayap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mendorong agar perppu tersebut menjadi undang-undang (UU).
"Perempuan Bangsa berada di garda terdepan untuk mendukung dilaksanakannya perppu kebiri dan mendorong peningkatan status, dari perppu menjadi UU," ujar Ketua Umum PB Siti Masrifah usai membuka secara resmi seminar bertajuk Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak, di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Menurut Siti Masrifah atau biasa disapa Cifa, aksi kekerasan dan pelecehan seksual masih marak terjadi di Tanah Air.
"Saya tadi 'googling' (penelusuran di Google). Ternyata kejadian di bulan ini saja masih marak terjadi kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Saya sangat miris melihatnya karena faktanya kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kasus yang peningkatannya sangat signifikan," tutur Cifa.
Bahkan, ungkap dia, kejadian-kejadian tersebut dilakukan dengan modus operandi yang di luar batas perikemanusiaan. "Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2015 mencapai 321.752 kasus. Belum yang di tahun ini yang makin banyak," Cifa.
Dari data-data tersebut, tutur Cifa, kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan sebanyak 2.399 (72%), pencabulan sebanyak 601 kasus (18%), pelecehan seksual 166 kasus (5%). "Itu data di tingkat personal. Sedang di tingkat ranah publik sebanyak 5.002 di mana sebanyak 61% adalah jenis kekerasan terhadap peremouan dalam bentuk kekerasan seksual," tuturnya.
Sementara data yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) justru lebih banyak lagi.
Menurut dia, ada sebanyak 2.899 kasus yang terjadi pada tahun 2015 yang terdiri dari 36% bentuk pencabulan, 9% bentuk pemerkosaan, dan 1% bentuk inses (kekerasan seksual di keluarga).
"Faktanya kekerasan seksual itu hampir merata dari Sabang sampai Merauke. Ini yang membuat kita semua miris," ungkapnya.
Menurut Cifa, ada beberapa alasan terjadinya kasus kekerasan seksual itu. Pertama, terdorong karena melihat gambar atau video porno (50%). Kedua, pelaku predator seksual kembali melakukan hal yang sama akibat pernah menjadi korban, Ketiga, perilaku itu muncul karena dilatarbelakangi konflik keluarga.
"Yang ketiga ini mereka melakukan itu karena terpengaruh narkotika, minuman keras, dan pornografi," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menyebut DPR siap menggolkan Perppu soal kebiri bagi penjahat seksual ini menjadi UU jika pemerintah mengajukan segera ke Sidang Paripurna DPR.
Menurut Malik, terlepas dari pro-kontra soal isu kebiri ini, publik tetap harus mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang peduli terhadap maraknya aksi kekerasan seksual, terutama terhadap kaum anak-anak ini.
"Mudah-mudahan sebelum reses sudah digolkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR. Saya rasa semua fraksi akan mendukungnya," tandasnya.
Jika menjadi UU, kata dia, semua elemen bangsa ini harus patuh dan tunduk. Tidak ada yang bisa mengingkarinya. Semua rakyat Indonesia akan terikat dengan UU ini.
Bahkan, untuk profesi dokter yang punya kemampuan untuk melakukan kebiri itu pun tidak layak untuk menolaknya.
"Belakangan saya dengar, dari kalangan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) ada yang menolak untuk menjadi eksekutor. Jelas tidak boleh seperti itu. Kalau alasan kode etik, lebih tinggi mana kode etik dan UU? Kalau sudah jadi UU semua warga negara harus patuh," tuturnya.
Organisasi sayap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mendorong agar perppu tersebut menjadi undang-undang (UU).
"Perempuan Bangsa berada di garda terdepan untuk mendukung dilaksanakannya perppu kebiri dan mendorong peningkatan status, dari perppu menjadi UU," ujar Ketua Umum PB Siti Masrifah usai membuka secara resmi seminar bertajuk Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak, di Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Menurut Siti Masrifah atau biasa disapa Cifa, aksi kekerasan dan pelecehan seksual masih marak terjadi di Tanah Air.
"Saya tadi 'googling' (penelusuran di Google). Ternyata kejadian di bulan ini saja masih marak terjadi kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Saya sangat miris melihatnya karena faktanya kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kasus yang peningkatannya sangat signifikan," tutur Cifa.
Bahkan, ungkap dia, kejadian-kejadian tersebut dilakukan dengan modus operandi yang di luar batas perikemanusiaan. "Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2015 mencapai 321.752 kasus. Belum yang di tahun ini yang makin banyak," Cifa.
Dari data-data tersebut, tutur Cifa, kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan sebanyak 2.399 (72%), pencabulan sebanyak 601 kasus (18%), pelecehan seksual 166 kasus (5%). "Itu data di tingkat personal. Sedang di tingkat ranah publik sebanyak 5.002 di mana sebanyak 61% adalah jenis kekerasan terhadap peremouan dalam bentuk kekerasan seksual," tuturnya.
Sementara data yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) justru lebih banyak lagi.
Menurut dia, ada sebanyak 2.899 kasus yang terjadi pada tahun 2015 yang terdiri dari 36% bentuk pencabulan, 9% bentuk pemerkosaan, dan 1% bentuk inses (kekerasan seksual di keluarga).
"Faktanya kekerasan seksual itu hampir merata dari Sabang sampai Merauke. Ini yang membuat kita semua miris," ungkapnya.
Menurut Cifa, ada beberapa alasan terjadinya kasus kekerasan seksual itu. Pertama, terdorong karena melihat gambar atau video porno (50%). Kedua, pelaku predator seksual kembali melakukan hal yang sama akibat pernah menjadi korban, Ketiga, perilaku itu muncul karena dilatarbelakangi konflik keluarga.
"Yang ketiga ini mereka melakukan itu karena terpengaruh narkotika, minuman keras, dan pornografi," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain menyebut DPR siap menggolkan Perppu soal kebiri bagi penjahat seksual ini menjadi UU jika pemerintah mengajukan segera ke Sidang Paripurna DPR.
Menurut Malik, terlepas dari pro-kontra soal isu kebiri ini, publik tetap harus mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang peduli terhadap maraknya aksi kekerasan seksual, terutama terhadap kaum anak-anak ini.
"Mudah-mudahan sebelum reses sudah digolkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR. Saya rasa semua fraksi akan mendukungnya," tandasnya.
Jika menjadi UU, kata dia, semua elemen bangsa ini harus patuh dan tunduk. Tidak ada yang bisa mengingkarinya. Semua rakyat Indonesia akan terikat dengan UU ini.
Bahkan, untuk profesi dokter yang punya kemampuan untuk melakukan kebiri itu pun tidak layak untuk menolaknya.
"Belakangan saya dengar, dari kalangan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) ada yang menolak untuk menjadi eksekutor. Jelas tidak boleh seperti itu. Kalau alasan kode etik, lebih tinggi mana kode etik dan UU? Kalau sudah jadi UU semua warga negara harus patuh," tuturnya.
(dam)