Politikus PKS Ini Lebih Setuju Hukuman Mati Ketimbang Kebiri
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengapresiasi langkah responsif Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, langkah pemerintah yang mengatur sanksi pemberatan dan sanksi tambahan dalam Perppu itu juga dinilai langkah tepat sebagai penyempurnaan Undang-undang (UU).
"Jika korban anak sampai luka berat, menderita gangguan jiwa, terganggu atau hilang fungsi reproduksinya hingga meninggal dunia," kata Nasir saat dihubungi Sindonews, Jumat (27/5/2016).
Namun Nasir memberi catatan kritis terhadap sanksi tambahan berupa kebiri kimia. Pasalnya ia melihat sanksi kebiri ternyata tidak permanen yang dilakukan paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.
Hal itu membuat fungsi efek jera bagi pelaku menjadi tidak ada. Di sisi lain, posisi kebiri kimia secara permanen akan menempatkan negara dalam posisi berhadap-hadapan dengan hak asasi kodrati manusia berkaitan dengan urusan biologisnya.
"Karena itu, saya ingin mengatakan seharusnya tidak perlu diberi hukuman kebiri, tetapi langsung hukuman mati. Ini nanti akan terkait penerapannya yang harus proporsional dan terukur," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 23 tentang Perlindungan Terhadap Anak.
Dalam Perppu itu diatur sejumlah saksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak diantaranya ancaman sanksi pemberatan seumur hidup, hukuman mati atau pelaku dihukum paling singkat 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Pemerintah juga menerapkan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas, pemasangan detektor elektronik atau chip dan sanksi kebiri kimia kepada pelaku.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, langkah pemerintah yang mengatur sanksi pemberatan dan sanksi tambahan dalam Perppu itu juga dinilai langkah tepat sebagai penyempurnaan Undang-undang (UU).
"Jika korban anak sampai luka berat, menderita gangguan jiwa, terganggu atau hilang fungsi reproduksinya hingga meninggal dunia," kata Nasir saat dihubungi Sindonews, Jumat (27/5/2016).
Namun Nasir memberi catatan kritis terhadap sanksi tambahan berupa kebiri kimia. Pasalnya ia melihat sanksi kebiri ternyata tidak permanen yang dilakukan paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.
Hal itu membuat fungsi efek jera bagi pelaku menjadi tidak ada. Di sisi lain, posisi kebiri kimia secara permanen akan menempatkan negara dalam posisi berhadap-hadapan dengan hak asasi kodrati manusia berkaitan dengan urusan biologisnya.
"Karena itu, saya ingin mengatakan seharusnya tidak perlu diberi hukuman kebiri, tetapi langsung hukuman mati. Ini nanti akan terkait penerapannya yang harus proporsional dan terukur," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 23 tentang Perlindungan Terhadap Anak.
Dalam Perppu itu diatur sejumlah saksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak diantaranya ancaman sanksi pemberatan seumur hidup, hukuman mati atau pelaku dihukum paling singkat 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Pemerintah juga menerapkan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas, pemasangan detektor elektronik atau chip dan sanksi kebiri kimia kepada pelaku.
(maf)