Waspada Propaganda Radikalisme Melalui Anak-anak
A
A
A
JAKARTA - Intensitas anak-anak semakin dekat dan permisif dalam tindakan radikal. Hal ini diperkuat melalui hasil survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP).
Guru besar sosiologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Bambang Pranowo mengungkapkan, berdasarkan hasil survei LaKIP pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, menemukan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Dia menjelaskan, masih berdasarkan hasil survei itu menyebutkan, 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Menurutnya, jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom. "Survei yang pernah kami lakukan lima tahun lalu menunjukkan bahwa anak-anak menyetujui tindakan radikal,” jelas Jelas Bambang, Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Maka itu, pengajar ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio mengingatkan semua pihak harus peduli bahaya propaganda termasuk video berpaham radikalisme dan terorisme yang memengaruhi anak-anak terlebih. Menurutnya strategi komunikasi semua pihak harus diubah untuk mencegah mereka dari paham radikal.
"Keluarga jelas tidak bisa tutup mata, informasi ini harus dikomunikasikan kepada anak, termasuk risikonya, sehingga anak juga paham,” ucap Hendri.
Komunikasi pemerintah tentang nilai-nilai asli Indonesia, kata dia harus ditingkatkan dengan menggunakan cara-cara yang dapat diterima anak dan remaja zaman sekarang. Lanjutnya, pendekatan kebudayaan dan seni masih elegan dilakukan. (Baca: DPR Usul Bentuk Dewan Pengawas Operasi Pemberantasan Terorisme)
“BNPT menjadi dirigen penanggulangan paham radikal. Lembaga pemerintah lain pun harus mau mengikuti dan memberikan resources terbaik saat mengikuti arahan BNPT,” tandasnya.
Guru besar sosiologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah, Bambang Pranowo mengungkapkan, berdasarkan hasil survei LaKIP pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, menemukan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Dia menjelaskan, masih berdasarkan hasil survei itu menyebutkan, 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Menurutnya, jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom. "Survei yang pernah kami lakukan lima tahun lalu menunjukkan bahwa anak-anak menyetujui tindakan radikal,” jelas Jelas Bambang, Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Maka itu, pengajar ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio mengingatkan semua pihak harus peduli bahaya propaganda termasuk video berpaham radikalisme dan terorisme yang memengaruhi anak-anak terlebih. Menurutnya strategi komunikasi semua pihak harus diubah untuk mencegah mereka dari paham radikal.
"Keluarga jelas tidak bisa tutup mata, informasi ini harus dikomunikasikan kepada anak, termasuk risikonya, sehingga anak juga paham,” ucap Hendri.
Komunikasi pemerintah tentang nilai-nilai asli Indonesia, kata dia harus ditingkatkan dengan menggunakan cara-cara yang dapat diterima anak dan remaja zaman sekarang. Lanjutnya, pendekatan kebudayaan dan seni masih elegan dilakukan. (Baca: DPR Usul Bentuk Dewan Pengawas Operasi Pemberantasan Terorisme)
“BNPT menjadi dirigen penanggulangan paham radikal. Lembaga pemerintah lain pun harus mau mengikuti dan memberikan resources terbaik saat mengikuti arahan BNPT,” tandasnya.
(kur)