Perppu Kebiri Jangan Sekadar Perberat Hukuman
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Namun, isi perppu itu disarankan tak hanya memperberat hukuman bagi predator. Jika isinya hanya memperberat hukuman bagi predator, Perppu itu dinilai tidak jauh berbeda dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.
"Kan isinya sama dengan undang-undang yang sekarang. Hanya saja beberapa pasal dan klausul yang diganti," kata Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi wartawan, Rabu 11 Mei 2016.
Namun, dia mengakui, pemberatan hukuman dalam Perppu itu bisa efektif memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Dengan begitu seseorang yang berniat melakukan kejahatan seksual terhadap anak bisa berkurang.
"Tapi selain dari pemberatan hukuman, yang perlu dimasukkan dari pemberatan Perppu itu adalah bagaimana agar ada upaya-upaya dari seluruh elemen bangsa ini untuk mengajak serta melibatkan gerakan antisipasi terhadap kekerasan seksual terhadap anak," tuturnya.
Caranya, lanjut dia, dengan melibatkan tokoh masyarakat, agama, lembaga swadaya masyarakat secara nasional dalam gerakan itu. Kemudian, keluarga juga perlu dilibatkan secara aktif.
"Kedua klausul tambahan bagaimana agar ada pemberian hukuman lain selain penjara, misalnya pemberian denda, ini kan tidak semua korbannya meninggal," tandas Saleh.
Dia mengatakan, walaupun hanya sekali diperkosa, bisa merusak masa depan korban.
"Harus ada konsekuensi dendanya, jangan misalnya dipenjara 10 tahun, setelah dipenjara 10 tahun selesai, jadi dia sudah selesai, tapi bagi korbannya dia tetap merasakan sampai seumur hidup," ucapnya.
Oleh karena itu dia menyarankan agar klausul penambahan denda bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak perlu dimasukkan juga di dalam perppu.
Dia membeberkan, tambahan denda itu untuk biaya rehabilitasi psikologis korban. Karena, lanjut dia, pasti korban merasa malu kepada keluarga ataupun masyarakat sekitarnya.
"Itu yang harus diamankan. Jadi, tidak boleh hanya fokus pada pemberatan dan sebagainya, tapi pada kasus lain kita harus pikirkan ini, nanti berapa ukurannya tentu harus ada pembicaraan khusus oleh ahli hukum," pungkasnya.
Diketahui, wacana penerbitan perppu kembali muncul setelah marak terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Salah satunya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, siswa berusia 14 tahun di Bengkulu.
Namun, isi perppu itu disarankan tak hanya memperberat hukuman bagi predator. Jika isinya hanya memperberat hukuman bagi predator, Perppu itu dinilai tidak jauh berbeda dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.
"Kan isinya sama dengan undang-undang yang sekarang. Hanya saja beberapa pasal dan klausul yang diganti," kata Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi wartawan, Rabu 11 Mei 2016.
Namun, dia mengakui, pemberatan hukuman dalam Perppu itu bisa efektif memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Dengan begitu seseorang yang berniat melakukan kejahatan seksual terhadap anak bisa berkurang.
"Tapi selain dari pemberatan hukuman, yang perlu dimasukkan dari pemberatan Perppu itu adalah bagaimana agar ada upaya-upaya dari seluruh elemen bangsa ini untuk mengajak serta melibatkan gerakan antisipasi terhadap kekerasan seksual terhadap anak," tuturnya.
Caranya, lanjut dia, dengan melibatkan tokoh masyarakat, agama, lembaga swadaya masyarakat secara nasional dalam gerakan itu. Kemudian, keluarga juga perlu dilibatkan secara aktif.
"Kedua klausul tambahan bagaimana agar ada pemberian hukuman lain selain penjara, misalnya pemberian denda, ini kan tidak semua korbannya meninggal," tandas Saleh.
Dia mengatakan, walaupun hanya sekali diperkosa, bisa merusak masa depan korban.
"Harus ada konsekuensi dendanya, jangan misalnya dipenjara 10 tahun, setelah dipenjara 10 tahun selesai, jadi dia sudah selesai, tapi bagi korbannya dia tetap merasakan sampai seumur hidup," ucapnya.
Oleh karena itu dia menyarankan agar klausul penambahan denda bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak perlu dimasukkan juga di dalam perppu.
Dia membeberkan, tambahan denda itu untuk biaya rehabilitasi psikologis korban. Karena, lanjut dia, pasti korban merasa malu kepada keluarga ataupun masyarakat sekitarnya.
"Itu yang harus diamankan. Jadi, tidak boleh hanya fokus pada pemberatan dan sebagainya, tapi pada kasus lain kita harus pikirkan ini, nanti berapa ukurannya tentu harus ada pembicaraan khusus oleh ahli hukum," pungkasnya.
Diketahui, wacana penerbitan perppu kembali muncul setelah marak terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Salah satunya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, siswa berusia 14 tahun di Bengkulu.
(dam)