Menko Polhukam: Teroris Bukan Islam, Islam Bukan Teroris
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan tidak ada kaitan antara terorisme dan Islam, begitu juga sebaliknya.
Menurut dia, Islam bukanlah teroris. Islam datang ke dunia dengan membawa kedamaian, penuh kasih sayang dan tidak membawa kekerasan.
Hal itu disampaikan Luhut ketika menjadi keynote speaker pada seminar Halaqah Fikih Antiterorisme di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) bekerja sama dengan Maarif Institute, Selasa (3/5/2016).
Luhut menyebut, banyaknya budaya Barat yang mengaitkan Islam dengan teroris ataupun kekerasan karena adanya beberapa faktor di antaranya gejolak di kawasan Timur Tengah yang hingga saat ini belum usai.
"Setelah terjadi Arab Spring, semua berharap akan terjadi demokrasi di Timur Tengah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekacauan yang terjadi hingga kini dan tak tentu kapan selesainya," katanya.
Apa yang terjadi di dunia Islam saat ini, khususnya kawasan Timur Tengah sama halnya dengan yang terjadi pada dunia Kristen di masa lampau berabad lamanya. Banyak terjadi kekacauan, pembakaran dan kekerasan lainnya.
"Saya belajar dari anak saya jika di-flashback ke belakang. Christianity dulu juga seperti itu. Ini seperti sebuah siklus. Yang terjadi di Christianity itu sudah berabad lalu, berbeda dengan dunia Islam saat ini di mana zamannya teknologi informasi, jadi ada kejadian apapun, secara real time, langsung bisa diketahui semua pihak," tukasnya.
Karena pesatnya teknologi, lanjut dia, informasi tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di Timur Tengah dari mulai yang terjadi di Mesir, Libya, Irak, hingga Suriah dan munculnya ISIS dapat langsung tersebar ke penjuru dunia.
"Munculnya stigma saat ini seperti Islam dianggap kekerasan seperti ISIS, ini harus dijelaskan agar masyarakat di Eropa, Amerika atau dunia Barat itu paham bahwa Islam itu tidak seperti itu. Begitu juga di Indonesia banyak masyarakat yang belum paham terkait hal itu juga harus dijelaskan," paparnya.
Luhut menambahkan, banyak faktor yang melatarbelakangi tumbuhnya ideologi yang mengerucut pada aksi terorisme. Di antaranya ketidakadilan, kemiskinan hingga kesenjangan sosial.
"Namun ada juga faktor lain. Kalau kita lihat dan dibuat profiling 90% anggota (kelompok radikal) Alqaeda berasal dari keluarga harmonis berpendidikan baik. Jadi tidak mesti mereka berasal dari keluarga miskin jadi teroris. Tidak selalu pelaku teroris dari orang berpendidikan rendah. Tapi yang menarik di Indonesia, tidak seperti ini hasilnya (survei), ini nanti perlu peran Muhammadiyah dan Maarif Institute turut serta yang lainnya (melakukan survei)," bebernya.
Dia berpendapat butuh langkah yang tepat dalam memerangi terorisme. Menurut dia, kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah. Hal tersebut berkaca dari langkah Amerika Serikat dalam mengatasi permasalahan di Irak, Afghanistan, hingga Suriah.
"Dengan kekerasan, satu generasi hilang, kemudian muncul generasi baru lagi karena sudah sering menyaksikan kekerasan. Langkah yang tepat adalah soft approach," ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan Muhammadiyah menolak aksi terorisme dalam bentuk dan alasan apapun.
"Penciptaan ancaman, ketakutan, kerusakan di muka bumi ini oleh siapapun atas nama apapun kami menolak. Kita tidak pernah berubah dan akan terus melakukan langkah-langkah kontraterorisme melalui gerakan keagamaan dan nilai-nilai ajaran Islam. Muhammadiyah dalam melakukan gerakan selalu berintegrasi dengan kehidupan berbangsa," tuturnya.
Dia juga sependapat melawan gerakan ekstrem dengan langkah ekstrim juga tidak menyelesaikan masalah. Perlawanan gerakan ekstrem dengan langkah yang juga ekstrem akan memunculkan gerakan ekstrem baru.
"Untuk melawan terorisme perlu langkah atau konsep moderasi. Kalau kita moderat ya lakukan dengan moderat," ungkapnya.
Direktur Program Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz menyampaikan, program Halaqah Fikih Antiterisme tersebut sengaja digelar guna melahirkan sebuah rumusan pemahaman yang utuh, kritis dalam memaknai ulang doktrin-doktrin kunci yang bersumber dari Alquran dan Hadist.
"Ada sebuah rumusan pandangan keagamaan yang kontekstual, kritis, dan operasional serta memiliki perspektif HAM untuk menyikapi persoalan kontemporer. Apalagi hal ini sudah dikampanyekan secara luas oleh kelompok ekstrimis yang tergabung dalam ISIS, Mereka begitu piawai melakukan kampanye kekerasan melalui berbagai media sosial," tuturnya.
Menurut dia, Islam bukanlah teroris. Islam datang ke dunia dengan membawa kedamaian, penuh kasih sayang dan tidak membawa kekerasan.
Hal itu disampaikan Luhut ketika menjadi keynote speaker pada seminar Halaqah Fikih Antiterorisme di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) bekerja sama dengan Maarif Institute, Selasa (3/5/2016).
Luhut menyebut, banyaknya budaya Barat yang mengaitkan Islam dengan teroris ataupun kekerasan karena adanya beberapa faktor di antaranya gejolak di kawasan Timur Tengah yang hingga saat ini belum usai.
"Setelah terjadi Arab Spring, semua berharap akan terjadi demokrasi di Timur Tengah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekacauan yang terjadi hingga kini dan tak tentu kapan selesainya," katanya.
Apa yang terjadi di dunia Islam saat ini, khususnya kawasan Timur Tengah sama halnya dengan yang terjadi pada dunia Kristen di masa lampau berabad lamanya. Banyak terjadi kekacauan, pembakaran dan kekerasan lainnya.
"Saya belajar dari anak saya jika di-flashback ke belakang. Christianity dulu juga seperti itu. Ini seperti sebuah siklus. Yang terjadi di Christianity itu sudah berabad lalu, berbeda dengan dunia Islam saat ini di mana zamannya teknologi informasi, jadi ada kejadian apapun, secara real time, langsung bisa diketahui semua pihak," tukasnya.
Karena pesatnya teknologi, lanjut dia, informasi tentang peristiwa kekerasan yang terjadi di Timur Tengah dari mulai yang terjadi di Mesir, Libya, Irak, hingga Suriah dan munculnya ISIS dapat langsung tersebar ke penjuru dunia.
"Munculnya stigma saat ini seperti Islam dianggap kekerasan seperti ISIS, ini harus dijelaskan agar masyarakat di Eropa, Amerika atau dunia Barat itu paham bahwa Islam itu tidak seperti itu. Begitu juga di Indonesia banyak masyarakat yang belum paham terkait hal itu juga harus dijelaskan," paparnya.
Luhut menambahkan, banyak faktor yang melatarbelakangi tumbuhnya ideologi yang mengerucut pada aksi terorisme. Di antaranya ketidakadilan, kemiskinan hingga kesenjangan sosial.
"Namun ada juga faktor lain. Kalau kita lihat dan dibuat profiling 90% anggota (kelompok radikal) Alqaeda berasal dari keluarga harmonis berpendidikan baik. Jadi tidak mesti mereka berasal dari keluarga miskin jadi teroris. Tidak selalu pelaku teroris dari orang berpendidikan rendah. Tapi yang menarik di Indonesia, tidak seperti ini hasilnya (survei), ini nanti perlu peran Muhammadiyah dan Maarif Institute turut serta yang lainnya (melakukan survei)," bebernya.
Dia berpendapat butuh langkah yang tepat dalam memerangi terorisme. Menurut dia, kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah. Hal tersebut berkaca dari langkah Amerika Serikat dalam mengatasi permasalahan di Irak, Afghanistan, hingga Suriah.
"Dengan kekerasan, satu generasi hilang, kemudian muncul generasi baru lagi karena sudah sering menyaksikan kekerasan. Langkah yang tepat adalah soft approach," ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan Muhammadiyah menolak aksi terorisme dalam bentuk dan alasan apapun.
"Penciptaan ancaman, ketakutan, kerusakan di muka bumi ini oleh siapapun atas nama apapun kami menolak. Kita tidak pernah berubah dan akan terus melakukan langkah-langkah kontraterorisme melalui gerakan keagamaan dan nilai-nilai ajaran Islam. Muhammadiyah dalam melakukan gerakan selalu berintegrasi dengan kehidupan berbangsa," tuturnya.
Dia juga sependapat melawan gerakan ekstrem dengan langkah ekstrim juga tidak menyelesaikan masalah. Perlawanan gerakan ekstrem dengan langkah yang juga ekstrem akan memunculkan gerakan ekstrem baru.
"Untuk melawan terorisme perlu langkah atau konsep moderasi. Kalau kita moderat ya lakukan dengan moderat," ungkapnya.
Direktur Program Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz menyampaikan, program Halaqah Fikih Antiterisme tersebut sengaja digelar guna melahirkan sebuah rumusan pemahaman yang utuh, kritis dalam memaknai ulang doktrin-doktrin kunci yang bersumber dari Alquran dan Hadist.
"Ada sebuah rumusan pandangan keagamaan yang kontekstual, kritis, dan operasional serta memiliki perspektif HAM untuk menyikapi persoalan kontemporer. Apalagi hal ini sudah dikampanyekan secara luas oleh kelompok ekstrimis yang tergabung dalam ISIS, Mereka begitu piawai melakukan kampanye kekerasan melalui berbagai media sosial," tuturnya.
(dam)