Kontras Serahkan 200 Halaman Dosa Densus 88 ke Komisi III DPR
A
A
A
JAKARTA - Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (Kontras) menyerahkan hasil pemantauannya mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kepada Komisi III DPR. Hasil pemantauan Kontras yang dilakukan semenjak tahun 2002 itu dituangkan dalam 200 halaman.
Secara simbolis, berkas itu pun diterima oleh Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa dan anggotanya, Aboe Bakar Alhabsy dan Masinton Pasaribu. Penyerahan berkas itu berlangsung saat rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama Kontras, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan PP Muhammadiyah.
"Saya mau menyerahkan ini, tapi saya ini memancing Komisi III, kalau Anda serius dalam satu minggu Aanda balik ke saya, saya punya datanya lebih lengkap," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar di ruang rapat Komisi III DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Dia mengungkapkan, salah satu kasus yang ada di dalam hasil pemantauannya itu adalah kasus anak-anak di Bone, Sulawesi Selatan, ditangkap oleh Densus 88 pada tahun 2013. Saat itu, Kontras melaporkan kasus itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
"Jadi semua alhamdulillah partner Komisi III kami surati, tapi alhamdullilah juga enggak ada yang bales. Jadi saya ini mancing, komisi III serius atau tidak," tuturnya.
Kemudian, kasus penangkapan sejumlah orang yang diduga bagian dari kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Densus 88.
"Menurut peraturan pemerintah dan seterusnya struktur organisasi yang keluar aturan-aturannya bahwa Densus hanya untuk tindak pidana terorisme, bukan tindak pidana separatisme, dan saya berkunjung langsung ke satu Bungalow yang disewa oleh Densus yang digunakan untuk tempat penahanan di luar tempat penahanan yang resmi," tuturnya.
Selain itu, kasus penangkapan seorang pengurus Muhammadiyah di daerah Tulung Agung, Jawa Timur oleh Densus 88. Beberapa hari kemudian setelah dilepaskan, seorang pengurus Muhammadiyah itu tidak mau bicara.
"Ada lagi kasus yang cukup getir, Densus melakukan penangkapan di Lampung terhadap seseorang yang diduga teroris menjelang hari pernikahannya, undangan sudah dibagikan, semua sudah dipersiapkan. Tapi karena ditangkap, menurut UU Pemberantasan Terorisme penangkapan boleh 7X24 jam tanpa boleh dikunjungi oleh siapapun, tidak ada kabar, akhirnya si calon mempelai perempuan dikawinkan oleh kakak atau adiknya, beberapa hari setelah itu orang ini dilepas," ucapnya.
Dalam kasus tersebut, dia bermaksud memberikan gambaran bahwa ketidakjelasan penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 berimplikasi kepada kehidupan seseorang.
"Ini juga terjadi pada kasus Siyono. Ketika Siyono dikembalikan meninggal, alih-alih melakukan penegakan hukum, polisi terus berkampanye lewat humasnya bahwa Siyono ini pimpinan Jamaah Islamiyah, pimpinan ini pimpinan itu, saya pikir ini penghukuman di luar peradilan," katanya.
Menurut dia, pembuktian bahwa Siyono sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah bisa dibuktikan di pengadilan. "Biarkan keterangan itu muncul di pengadilan, bukan bicara di media, menurut saya ini pemeliharaan fitnah, kalau tidak bisa diibuktikan kan polisi bukan lembaga pengadil, harusnya itu pengadilan," pungkasnya.
Secara simbolis, berkas itu pun diterima oleh Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa dan anggotanya, Aboe Bakar Alhabsy dan Masinton Pasaribu. Penyerahan berkas itu berlangsung saat rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama Kontras, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan PP Muhammadiyah.
"Saya mau menyerahkan ini, tapi saya ini memancing Komisi III, kalau Anda serius dalam satu minggu Aanda balik ke saya, saya punya datanya lebih lengkap," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar di ruang rapat Komisi III DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Dia mengungkapkan, salah satu kasus yang ada di dalam hasil pemantauannya itu adalah kasus anak-anak di Bone, Sulawesi Selatan, ditangkap oleh Densus 88 pada tahun 2013. Saat itu, Kontras melaporkan kasus itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
"Jadi semua alhamdulillah partner Komisi III kami surati, tapi alhamdullilah juga enggak ada yang bales. Jadi saya ini mancing, komisi III serius atau tidak," tuturnya.
Kemudian, kasus penangkapan sejumlah orang yang diduga bagian dari kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Densus 88.
"Menurut peraturan pemerintah dan seterusnya struktur organisasi yang keluar aturan-aturannya bahwa Densus hanya untuk tindak pidana terorisme, bukan tindak pidana separatisme, dan saya berkunjung langsung ke satu Bungalow yang disewa oleh Densus yang digunakan untuk tempat penahanan di luar tempat penahanan yang resmi," tuturnya.
Selain itu, kasus penangkapan seorang pengurus Muhammadiyah di daerah Tulung Agung, Jawa Timur oleh Densus 88. Beberapa hari kemudian setelah dilepaskan, seorang pengurus Muhammadiyah itu tidak mau bicara.
"Ada lagi kasus yang cukup getir, Densus melakukan penangkapan di Lampung terhadap seseorang yang diduga teroris menjelang hari pernikahannya, undangan sudah dibagikan, semua sudah dipersiapkan. Tapi karena ditangkap, menurut UU Pemberantasan Terorisme penangkapan boleh 7X24 jam tanpa boleh dikunjungi oleh siapapun, tidak ada kabar, akhirnya si calon mempelai perempuan dikawinkan oleh kakak atau adiknya, beberapa hari setelah itu orang ini dilepas," ucapnya.
Dalam kasus tersebut, dia bermaksud memberikan gambaran bahwa ketidakjelasan penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 berimplikasi kepada kehidupan seseorang.
"Ini juga terjadi pada kasus Siyono. Ketika Siyono dikembalikan meninggal, alih-alih melakukan penegakan hukum, polisi terus berkampanye lewat humasnya bahwa Siyono ini pimpinan Jamaah Islamiyah, pimpinan ini pimpinan itu, saya pikir ini penghukuman di luar peradilan," katanya.
Menurut dia, pembuktian bahwa Siyono sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah bisa dibuktikan di pengadilan. "Biarkan keterangan itu muncul di pengadilan, bukan bicara di media, menurut saya ini pemeliharaan fitnah, kalau tidak bisa diibuktikan kan polisi bukan lembaga pengadil, harusnya itu pengadilan," pungkasnya.
(kri)