Kasus Grand Indonesia, Kejagung Tak Boleh Lompat ke Ranah Pidana
A
A
A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak boleh serta merta membawa masalah perdata menjadi masalah pidana dalam perkara kerja sama built, operate, and transfer (BOT) antara antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI).
“Kalau belum apa-apa Kejagung sudah menyimpulkan ada unsur pidana, itu sama saja memidanakan hukum perdata atau dengan kata lain memasukkan tindak pidana ke dalam hukum perdata. Ini tidak boleh," kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakkir ketika dimintai tanggapan oleh wartawan, di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Menurut Muzakkir, banyak kasus perdata yang tidak terbukti ada pelanggaran pidana, tiba tiba dimasukkan dalam ranah pidana. Sebab prosedur untuk mengkajinya dilompati.
"Jadi dalam kasus Grand Indonesia, Kejagung harus mampu membuktikan apakah benar ada unsur pidana? Sebab prosedur untuk eksaminasi saja belum dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya pakar hukum Margarito Kamis juga menjelaskan, karena perjanjian BOT adalah perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata maka jika di kemudian hari ditemukan ada kelemahan atau kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian itu mestinya memperbaiki. Bukan sebaliknya secara sepihak, membawa masalah itu ke ranah pidana.
Sementara kuasa hukum PT Grand Indonesia, Juniver Girsang mengatakan, kerja sama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan BOT antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Tidak sepatutnya perjanjian BOT antara para pihak yang merupakan domain perdata itu dipidanakan. Kerja sama itu justru menguntungkan negara. Menurutnya, telah terjadi kriminalisasi dalam kasus tersebut oleh Kejagung.
"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Namun, kami menganggap perkara ini merupakan domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini," ujar Juniver.
Pilihan:
Ani Yudhoyono Nyapres, Marzuki Alie Bilang Belanda Masih Jauh
“Kalau belum apa-apa Kejagung sudah menyimpulkan ada unsur pidana, itu sama saja memidanakan hukum perdata atau dengan kata lain memasukkan tindak pidana ke dalam hukum perdata. Ini tidak boleh," kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakkir ketika dimintai tanggapan oleh wartawan, di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Menurut Muzakkir, banyak kasus perdata yang tidak terbukti ada pelanggaran pidana, tiba tiba dimasukkan dalam ranah pidana. Sebab prosedur untuk mengkajinya dilompati.
"Jadi dalam kasus Grand Indonesia, Kejagung harus mampu membuktikan apakah benar ada unsur pidana? Sebab prosedur untuk eksaminasi saja belum dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya pakar hukum Margarito Kamis juga menjelaskan, karena perjanjian BOT adalah perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata maka jika di kemudian hari ditemukan ada kelemahan atau kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian itu mestinya memperbaiki. Bukan sebaliknya secara sepihak, membawa masalah itu ke ranah pidana.
Sementara kuasa hukum PT Grand Indonesia, Juniver Girsang mengatakan, kerja sama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan BOT antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Tidak sepatutnya perjanjian BOT antara para pihak yang merupakan domain perdata itu dipidanakan. Kerja sama itu justru menguntungkan negara. Menurutnya, telah terjadi kriminalisasi dalam kasus tersebut oleh Kejagung.
"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Namun, kami menganggap perkara ini merupakan domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini," ujar Juniver.
Pilihan:
Ani Yudhoyono Nyapres, Marzuki Alie Bilang Belanda Masih Jauh
(maf)