Banyak Calon Independen, Deparpolisasi Bakal Menguat di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Deparpolisasi atau ketidakpercayaan publik terhadap partai politik (parpol) diprediksi akan makin menguat di Pilkada Serentak 2017.
Hal ini telah ditunjukkan sejak Pilkada Serentak 2015, di mana 37 persen pasangan calon (paslon) nonparpol atau independen dan 14 persen di antaranya memenangkan pilkada di 264 daerah.
"Ini buktinya pilkada serentak kemarin, 37 persen dari total peserta kemarin yang lulus 14 persen yang menang," kata pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 10 Maret 2016.
"Berarti tidak tertutup kemungkinan naik (calon independen), apalagi banyak calon tunggal kemarin. Jadi partai enggak serius mencalonkan, masa iya sampai lima daerah calon tunggal," imbuhnya.
Siti menegaskan, seharusnya parpol yang tidak mencalonkan paslon di suatu daerah diberikan penalti atau hukuman. Dirinya sudah menyarankan hal itu kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Kemudian ambang batas parpol juga perlu diturunkan dari 25 persen menjadi 10-15 persen.
"Menurut saya ada fairness-lah, dia (parpol) dipenalti tapi ambang diturunkan 10-15 persen," imbuhnya.
Adapun pernyataan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri tentang deparpolisasi, menurut Siti, deparpolisasi yang dimaksud yakni adanya delegitimasi kepada partai yang diartikan ketidakpercayaan publik yang semakin meluas.
Tapi, hal ini bukan yang pertama kali terjadi, dari waktu ke waktu selalu ada ketidakpuasan publik terhadap parpol.
"Mengapa? Karena performance ini. DPR ini menjadi katakan sebagai showroom bagi parpol untuk menunjukan seriousness dia, kualitas dia. Jadi sebetulnya parpol itu dipertaruhkan melalui DPR, DPRD/legislasilatif dan melalui eksekutif," jelasnya.
Karena itu, Siti menegaskan, dengan banyaknya calon independen yang mengemuka di pilkada sudah menjadi peringatan bagi parpol untuk berbenah. Karena, masyarakat merasa tidak cocok dengan pilihan-pilihan dari parpol yang gaya kepemimpinannya top-down dan elitis.
Itulah sebabnya, Siti menambahkan, mengapa dirinya mendukung pilkada tidak langsung waktu revisi UU Pilkada pada DPR periode lalu.
Menurutnya, bukan masalah langsung atau tidak langsung tapi dirinya yang meresapi faktual demokrasi di negara ini menginginkan agar parpol sebagai pemegang peran penting dalam demokrasi harus berbenah diri terlebih dahulu.
Karena, pilkada dan pemilu merupakan arena permainan bagi parpol."Makannya tolong media dorong terus parpol berbenah. Ini dia didorong terus karena dia sudah mampu menjadi role model bukan promosi-promosi terhadap kader-kadernya yang the best untuk didudukan di DPR dan pemerintah," tandasnya.
Hal ini telah ditunjukkan sejak Pilkada Serentak 2015, di mana 37 persen pasangan calon (paslon) nonparpol atau independen dan 14 persen di antaranya memenangkan pilkada di 264 daerah.
"Ini buktinya pilkada serentak kemarin, 37 persen dari total peserta kemarin yang lulus 14 persen yang menang," kata pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 10 Maret 2016.
"Berarti tidak tertutup kemungkinan naik (calon independen), apalagi banyak calon tunggal kemarin. Jadi partai enggak serius mencalonkan, masa iya sampai lima daerah calon tunggal," imbuhnya.
Siti menegaskan, seharusnya parpol yang tidak mencalonkan paslon di suatu daerah diberikan penalti atau hukuman. Dirinya sudah menyarankan hal itu kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Kemudian ambang batas parpol juga perlu diturunkan dari 25 persen menjadi 10-15 persen.
"Menurut saya ada fairness-lah, dia (parpol) dipenalti tapi ambang diturunkan 10-15 persen," imbuhnya.
Adapun pernyataan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri tentang deparpolisasi, menurut Siti, deparpolisasi yang dimaksud yakni adanya delegitimasi kepada partai yang diartikan ketidakpercayaan publik yang semakin meluas.
Tapi, hal ini bukan yang pertama kali terjadi, dari waktu ke waktu selalu ada ketidakpuasan publik terhadap parpol.
"Mengapa? Karena performance ini. DPR ini menjadi katakan sebagai showroom bagi parpol untuk menunjukan seriousness dia, kualitas dia. Jadi sebetulnya parpol itu dipertaruhkan melalui DPR, DPRD/legislasilatif dan melalui eksekutif," jelasnya.
Karena itu, Siti menegaskan, dengan banyaknya calon independen yang mengemuka di pilkada sudah menjadi peringatan bagi parpol untuk berbenah. Karena, masyarakat merasa tidak cocok dengan pilihan-pilihan dari parpol yang gaya kepemimpinannya top-down dan elitis.
Itulah sebabnya, Siti menambahkan, mengapa dirinya mendukung pilkada tidak langsung waktu revisi UU Pilkada pada DPR periode lalu.
Menurutnya, bukan masalah langsung atau tidak langsung tapi dirinya yang meresapi faktual demokrasi di negara ini menginginkan agar parpol sebagai pemegang peran penting dalam demokrasi harus berbenah diri terlebih dahulu.
Karena, pilkada dan pemilu merupakan arena permainan bagi parpol."Makannya tolong media dorong terus parpol berbenah. Ini dia didorong terus karena dia sudah mampu menjadi role model bukan promosi-promosi terhadap kader-kadernya yang the best untuk didudukan di DPR dan pemerintah," tandasnya.
(maf)