Kejagung Diminta Hati-hati Usut Kasus PT Grand Indonesia

Selasa, 08 Maret 2016 - 11:57 WIB
Kejagung Diminta Hati-hati Usut Kasus PT Grand Indonesia
Kejagung Diminta Hati-hati Usut Kasus PT Grand Indonesia
A A A
JAKARTA - Penyidikan kasus dugaan korupsi dalam kerja sama dengan sistem membangun, mengelola, dan menyerahkan (built, operate, and transfer/BOT) antara BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) (Persero) dan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)-PT Grand Indonesia (GI) jangan sampai menimbulkan gejolak yang membuat investor takut menjalin kerjasama bisnis.

Apalagi Hotel Indonesia (HI) merupakan simbol Jakarta yang memiliki nilai strategis kesejarahan.

"Semua orang tahu bagaimana strategis dan historisnya HI yang menjadi kebanggaan masyarakat. Jika keliru menangani, bisa menimbulkan gejolak di masyarakat," kata anggota Komisi III DPR (bidang hukum) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Jamil di Jakarta, Selasa (8/3/2016).

Nasir meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) yang tengah menyidik kasus ini untuk bertindak hati-hati, transparan, dan terbuka. Jangan terburu-buru menetapkan telah terjadi korupsi yang menyebabkan kerugian negara.

Dia meminta Kejagung agar terlebih dahulu melakukan gelar perkara. "Sebab sampai saat ini tidak ada gelar perkara terkait kasus itu," ucapnya.

Lebih lanjut Nasir mengingatkan, kerja sama BOT Hotel Indonesia ini menyangkut investasi yang nilainya cukup besar dan menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang. Negara juga mendapatkan penerimaan dari pajak dan kompensasi BOT lainnya.

Diakuinya, Kejagung harus bertindak tanpa kepentingan tertentu selain menegakkan hukum secara adil. "Juga tidak boleh mengatakan, nanti saja buktikan di pengadilan jika kerja sama itu tidak merugikan atau bahkan menguntungkan. Karenanya harus ada gelar perkara kasus ini," kata Nasir.

Seperti diberitakan sebelumnya, kuasa hukum PT Grand Indonesia (GI), Juniver Girsang menyatakan, kerja sama BOT Hotel Indonesia dilakukan melalui proses tender yang sah, transparan, dan tidak melanggar hukum.

Kerja sama BOT itu merujuk pada persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal persetujuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT HIN dan CKBI.

Menurut Juniver, kerja sama itu menguntungkan negara. GI telah mengeluarkan total investasi Rp5,5 triliun dalam proyek ini. Angka ini jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp1,2 triliun.

"Negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya adalah 10 persen dari total pendapatan Grand Indonesia," ujarnya seraya menambahkan bahwa proyek Hotel Indonesia ini telah menyerap sekitar 10 ribu tenaga kerja.

Apalagi Junivert mengungkapkan, ketika pada tahun 2004, perjanjian BOT ditandatangani para pihak, usia Hotel Indonesia sudah di atas 30 tahun dan belum direnovasi total. Hal ini menyebabkan daya saingnya semakin rendah. Laba pun rendah dan tidak optimal.

Jika dilihat dari sisi kinerja keuangan, selama kurun 1997-2002, Hotel Indonesia-Inna Wisata hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp2 miliar setahun.

"Sejak dilakukan kerjasama BOT itu, HIN mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp134 miliar atau rata-rata Rp10,3 miliar per tahun," tuturnya.

"Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. Apalagi aset atau modal saham HIN tidak dilepaskan dan HIN akan memperoleh kembali obyek BOT pada akhir masa kerja sama (tahun 2055) dalam kondisi layak operasional," tandasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7057 seconds (0.1#10.140)