Menteri PPA Sebut Kasus Pencabulan Anak di Indonesia Timur Tinggi
A
A
A
DEPOK - Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Yohana Yembise mengungkapkan zona merah kasus kekerasan anak. Dari hasil observasinya, data kekerasan terhadap anak justru lebih banyak ketimbang kekerasan terhadap perempuan.
Dia mengungkapkan, hal itu juga terjadi di Indonesia bagian timur. Tren yang dia peroleh dimana kasus perempuan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih rendah ketimbang kasus pencabulan anak.
“Paling banyak kekerasan anak. Saya mulai dari Indonesia Timur. Saya mengecek rata–rata data kekerasan perempuan dan anak. Yang meningkat adalah pencabulan terhadap anak lebih tinggi dibanding KDRT perempuan,” ungkapnya di Kampus UI, Depok, Senin (11/1/2016).
Kata Yohana, data yang diperoleh merupakan hasil penelitian dari kunjungannya ke setiap Polres. Indikator tersebut mendorong setiap kota untuk semakin serius mewujudkan Kota Layak Anak.
“Saya pikir lebih tinggi kasus kekerasan perempuan. Namun ternyata anak lebih tinggi. Itu koreksi. Daerah yang sudah memiliki Perda Kota Layak Anak berarti sudah serius. Meskipun SDM dan pemahaman ke masyarakat masih kurang,” jelasnya.
Sosiolog Perkotaan Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan diperlukan pendekatan holistik untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Salah satu implementasinya menciptakan ruang kreatif bagi anak.
“Sebuah Kota Layak Anak tak saja bicara infrastruktur yang lengkap, tetapi juga ruang kreatif. Tapi ada skema lain yakni memperhatikan ibu hamil, perhatikan kesempatan anak mendapatkan sekolah sejak di TK."
"Tak kalah penting kebijakan pemerintah fasilitasi tumbuh kembang anak sehat optimal. Tentu kasus anak belum bisa zero, walaupun harus selalu diusahakan, karena kasus kekerasan kompleks persolanannya,” tegas Gumilar.
PILIHAN:
Menteri PPA: Berlaku Pekan Depan, Perppu Kebiri Sudah Final!
Ini Penjelasan Fahri Hamzah kepada BPDO PKS
Dia mengungkapkan, hal itu juga terjadi di Indonesia bagian timur. Tren yang dia peroleh dimana kasus perempuan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih rendah ketimbang kasus pencabulan anak.
“Paling banyak kekerasan anak. Saya mulai dari Indonesia Timur. Saya mengecek rata–rata data kekerasan perempuan dan anak. Yang meningkat adalah pencabulan terhadap anak lebih tinggi dibanding KDRT perempuan,” ungkapnya di Kampus UI, Depok, Senin (11/1/2016).
Kata Yohana, data yang diperoleh merupakan hasil penelitian dari kunjungannya ke setiap Polres. Indikator tersebut mendorong setiap kota untuk semakin serius mewujudkan Kota Layak Anak.
“Saya pikir lebih tinggi kasus kekerasan perempuan. Namun ternyata anak lebih tinggi. Itu koreksi. Daerah yang sudah memiliki Perda Kota Layak Anak berarti sudah serius. Meskipun SDM dan pemahaman ke masyarakat masih kurang,” jelasnya.
Sosiolog Perkotaan Universitas Indonesia (UI) Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan diperlukan pendekatan holistik untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Salah satu implementasinya menciptakan ruang kreatif bagi anak.
“Sebuah Kota Layak Anak tak saja bicara infrastruktur yang lengkap, tetapi juga ruang kreatif. Tapi ada skema lain yakni memperhatikan ibu hamil, perhatikan kesempatan anak mendapatkan sekolah sejak di TK."
"Tak kalah penting kebijakan pemerintah fasilitasi tumbuh kembang anak sehat optimal. Tentu kasus anak belum bisa zero, walaupun harus selalu diusahakan, karena kasus kekerasan kompleks persolanannya,” tegas Gumilar.
PILIHAN:
Menteri PPA: Berlaku Pekan Depan, Perppu Kebiri Sudah Final!
Ini Penjelasan Fahri Hamzah kepada BPDO PKS
(kri)