LPSK Apresiasi Konvensi ASEAN Perangi Perdagangan Manusia
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) mengapresiasi penandatanganan ASEAN Convention Against Trafficking in Person, Especially Women and Children (ACTIP) oleh kepala negara di ASEAN.
Pengesahan Konvensi Anti-Perdagangan Manusia Khususnya Anak-anak dan Perempuan dinilai membawa angin segar dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, khususnya di wilayah Asia Tenggara.
Pengesahan konvensi itu dianggap memperlihatkan kesatuan pola pikir dan tindak pemimpin negara-negara ASEAN terhadap tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kejahatan perdagangan orang di kawasan ASEAN memprihatinkan.
Selain menjadi masalah internal negara-negara ASEAN, kata dia, perdagangan orang ini juga mengancam kehidupan bernegara di kawasan regional Asia Tenggara.
Menurut dia, ancaman itu muncul karena perdagangan orang meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri.
“Sudah saatnya negara-negara bersatu memberantas kejahatan yang bertentangan dengan HAM ini,” kata Semendawai di Jakarta, Minggu 22 November 2015.
Dia mengatakan, konvensi yang menjadi kerangka hukum di antara negara-negara ASEAN itu bertujuan memudahkan koordinasi, pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan perdagangan orang.
Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan para korban perdagangan orang disuplai dari satu negara dan dieksploitasi di negara lainnya.
Melalui ACTIP, kata dia, diharapkan terjalin koordinasi yang lebih baik lagi antaraparat hukum masing-masing negara.
“Indonesia sudah memiliki perangkat hukum menghadapi perdagangan orang, dan kini diperkuat lagi dengan kehadiran ACTIP,” ujar Semendawai.
Semendawai mengatakan, ACTIP bertujuan mencegah dan memerangi penjualan manusia, khususnya wanita dan anak-anak.
Kemudian, sambung dia, melindungi dan membantu korban penjualan manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dan melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk mewujudkan tujuan dari ACTIP.
Menurut dia, hal tersebut selaras dengan tugas dan fungsi LPSK yang memberikan perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban.
Salah satunya dalam kasus perdagangan orang. “Tindak pidana perdagangan orang salah satu kasus prioritas LPSK, di samping beberapa tindak pidana lain sesuai UU No 31/2014,” katanya.
Sebelumnya, ungkap Semendawai, LPSK sudah lebih dulu membangun jaringan perlindungan saksi dan korban ASEAN.
Pertemuan yang dihadiri perwakilan beberapa negara di kawasan ASEAN itu dilaksanakan di Yogyakarta pada Agustus lalu.
Salah satu isu strategis yang dibicarakan dalam pertemuan. yakni kejahatan perdagangan orang.
Selain itu, kata Semendawai, saat ini LPSK juga menangani kasus perdagangan orang di Benjina yang korbannya warga negara Myanmar. Dia mengatakan, kasus tersebut segera disidangkan di Pengadilan Tual, Maluku.
Karena korban merupakan warga Myanmar, kata Semendawai, LPSK harus turun langsung ke Myanmar untuk bertemu dengan para korban dan berusaha menghadirkannya dalam persidangan.
Dengan catatan, LPSK memberikan perlindungan dan bantuan bagi mereka selama berada di Indonesia. “Hal ini sulit terealisasi jika tidak ada koordinasi yang baik antara kita dengan aparat hukum Myanmar,” tutur dia.
PILIHAN:
Ini Warning Presiden PKS kepada Kader yang Maju di Pilkada
Pengesahan Konvensi Anti-Perdagangan Manusia Khususnya Anak-anak dan Perempuan dinilai membawa angin segar dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, khususnya di wilayah Asia Tenggara.
Pengesahan konvensi itu dianggap memperlihatkan kesatuan pola pikir dan tindak pemimpin negara-negara ASEAN terhadap tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kejahatan perdagangan orang di kawasan ASEAN memprihatinkan.
Selain menjadi masalah internal negara-negara ASEAN, kata dia, perdagangan orang ini juga mengancam kehidupan bernegara di kawasan regional Asia Tenggara.
Menurut dia, ancaman itu muncul karena perdagangan orang meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri.
“Sudah saatnya negara-negara bersatu memberantas kejahatan yang bertentangan dengan HAM ini,” kata Semendawai di Jakarta, Minggu 22 November 2015.
Dia mengatakan, konvensi yang menjadi kerangka hukum di antara negara-negara ASEAN itu bertujuan memudahkan koordinasi, pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan perdagangan orang.
Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan para korban perdagangan orang disuplai dari satu negara dan dieksploitasi di negara lainnya.
Melalui ACTIP, kata dia, diharapkan terjalin koordinasi yang lebih baik lagi antaraparat hukum masing-masing negara.
“Indonesia sudah memiliki perangkat hukum menghadapi perdagangan orang, dan kini diperkuat lagi dengan kehadiran ACTIP,” ujar Semendawai.
Semendawai mengatakan, ACTIP bertujuan mencegah dan memerangi penjualan manusia, khususnya wanita dan anak-anak.
Kemudian, sambung dia, melindungi dan membantu korban penjualan manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dan melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk mewujudkan tujuan dari ACTIP.
Menurut dia, hal tersebut selaras dengan tugas dan fungsi LPSK yang memberikan perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban.
Salah satunya dalam kasus perdagangan orang. “Tindak pidana perdagangan orang salah satu kasus prioritas LPSK, di samping beberapa tindak pidana lain sesuai UU No 31/2014,” katanya.
Sebelumnya, ungkap Semendawai, LPSK sudah lebih dulu membangun jaringan perlindungan saksi dan korban ASEAN.
Pertemuan yang dihadiri perwakilan beberapa negara di kawasan ASEAN itu dilaksanakan di Yogyakarta pada Agustus lalu.
Salah satu isu strategis yang dibicarakan dalam pertemuan. yakni kejahatan perdagangan orang.
Selain itu, kata Semendawai, saat ini LPSK juga menangani kasus perdagangan orang di Benjina yang korbannya warga negara Myanmar. Dia mengatakan, kasus tersebut segera disidangkan di Pengadilan Tual, Maluku.
Karena korban merupakan warga Myanmar, kata Semendawai, LPSK harus turun langsung ke Myanmar untuk bertemu dengan para korban dan berusaha menghadirkannya dalam persidangan.
Dengan catatan, LPSK memberikan perlindungan dan bantuan bagi mereka selama berada di Indonesia. “Hal ini sulit terealisasi jika tidak ada koordinasi yang baik antara kita dengan aparat hukum Myanmar,” tutur dia.
PILIHAN:
Ini Warning Presiden PKS kepada Kader yang Maju di Pilkada
(dam)