Harga Pangan Picu Kemiskinan

Kamis, 17 September 2015 - 09:38 WIB
Harga Pangan Picu Kemiskinan
Harga Pangan Picu Kemiskinan
A A A
JAKARTA - Lonjakan jumlah penduduk miskin pada periode September 2014- Maret 2015 lebih disebabkan kenaikan harga pangan. Kondisi tersebut diperparah dengan perlambatan ekonomi domestik yang mendorong industri melakukan efisiensi ketenagakerjaan.

Pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan pertambahan penduduk miskin seiring tren pertumbuhan ekonomi yang masih melambat. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto menuturkan, lonjakan harga kebutuhan pokok seperti beras selama September 2014-Maret 2015 telah memukul daya beli masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

”Kalau kita bicara peningkatan angka kemiskinan, itu kaitannya dengan kebutuhan pokok,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Bila tidak ada langkah konkret pemerintah, dia memprediksi angka kemiskinan akan terus meningkat. ”Dugaan saya, sampai September 2015 (angka kemiskinan) akan terus naik, bahkan sampai tahun depan karena trennya masih turun pertumbuhan ekonominya,” imbuh dia.

Eko melihat paket kebijakan ekonomi yang lebih fokus pada masalah deregulasi belum menyentuh secara langsung untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Namun dia berpendapat dana desa bisa menjadi salah satu stimulus bagi rakyat miskin yang sebagian besar di perdesaan. ”Tapi kalau yang dilakukan ini lebih jangka pendek karena yang akan terkena dampak penyerapan tenaga kerja relatif singkat dengan proyek infrastruktur perdesaan,” ucapnya.

Di perkotaan, Eko menilai pemerintah belum menyiapkan aturan untuk mengompensasi rakyat yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal rakyat yang terkena PHK ini berpotensi turun kelas menjadi rakyat miskin. Seperti diberitakan, jumlah penduduk miskin Indonesia melonjak 860.000 orang hanya dalam kurun enam bulan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada Maret 2015 sebesar 28,59 juta orang atau 11,22% dari total penduduk Indonesia. Angka ini naik dibandingkan dengan September 2014 yang sebanyak 27,73 juta penduduk miskin. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku sudah memprediksi angka kemiskinan akan naik seiring dengan harga komoditas di pasar internasional yang melemah sejak 2,5 tahun terakhir.

Terlebih banyak rakyat yang hidup berdekatan dengan garis kemiskinan sehingga sangat rentan untuk turun kelas. Dia menuturkan, penurunan harga komoditas di pasar internasional menyebabkan pendapatan masyarakat berkurang drastis. ”Sementara harga pangan kan tidak turun. Income turun, harga pangan enggak turun, ya dampaknya (kemiskinan) naik,” paparnya.

Untuk mengatasi masalah itu, Darmin mengungkapkan, pemerintah akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan bantuan kepada masyarakat. Bantuan itu antara lain melalui percepatan penyaluran dana desa dan penambahan jatah beras miskin (raskin).

Pemerintah juga tengah mencari ide untuk memberikan insentif kepada industri yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya. ”Memang itu sedang dibicarakan juga apa yang bisa ditawarkan tapi menarik buat dunia usahanya. Tapi kalau tidak menarik ya percuma saja,” paparnya.

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla optimistis bisa menekan angka kemiskinan. Bila pemicu kenaikan angka kemiskinan adalah harga pangan, hal itu bisa ditangani dengan peningkatan produktivitas hasil pertanian pangan.

Begitu pula harus dilakukan langkah-langkah stabilisasi harga pangan. ”Itu memang apabila harga beras naik dan harga lainnya juga naik, maka pasti menimbulkan pertambahan angka kemiskinan, yaitu angka di mana biaya hidupnya tidak cukup atau kurang. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah dengan menstabilkan harga pangan,” paparnya.

Kalangan DPR berpandangan, bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal merealisasi berbagai rencana besarnya. Anggota Komisi XI DPR Eki Awal Muharam menuturkan, pemerintah selama ini menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5%, nyatanya pertumbuhan ekonomi hanya mampu bertengger di angka 4,7%.

”Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa merealisasi rencananya yang tertuang dalam RPJMN dan APBN-P,” katanya. Kegagalan pemerintah lainnya terlihat pada merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga menembus level Rp14.400 per dolar AS.

Kondisi ini tentunya berdampak pada pelemahan sektor riil serta pada akhirnya membuat daya beli masyarakat berkurang dan pemutusan hubungan kerja (PHK) bermunculan. ”Nah, kalau sudah begini, jumlah penduduk miskin kan semakin bertambah. Jadi kegagalan pemerintah itu menjaga pertumbuhan, nilai tukar hingga sektor riil di dalam negeri,” tandasnya.

Rupiah Terus Terpuruk

Di bagian lain, nilai tukar rupiah semakin terpuruk terhadap dolar AS. Kurs rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta kemarin sore bergerak melemah sebesar 42 poin menjadi Rp14.450 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp14.408 per dolar AS.

Berdasar kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah kemarin berada di posisi Rp14.442 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya yang Rp14.371 per dolar AS. Executive Director Mandiri Institute Destry Damayanti mengatakan, saat ini sentimen asing dan berbagai risiko membuat arah nilai tukar sulit diprediksi.

Isu rencana kenaikan suku bunga The Fed bukanlah akhir dari cerita pelemahan kurs rupiah. ”Keputusan Fed Fund Rate di AS juga dilematis karena ekonomi belum terlalu pulih dan devaluasi China juga menjadi pertimbangan. Kalaupun Fed Fund Rate diputuskan naik, masih banyak faktor risiko lainnya. Dengan berbagai risiko sekarang, rupiah sudah bagus bisa berada di level Rp14.000,” ujar Destry.

Dia menjelaskan, selain rencana kenaikan suku bunga AS, perekonomian China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia juga tengah mengalami perlambatan. Harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia terus merosot. Ini menekan ekspor Indonesia sehingga pasokan dolar AS juga minim.

Rahmat fiansyah/ Hafid fuad/ Sindonews/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7456 seconds (0.1#10.140)