Ajarkan Generasi Muda Jepang untuk Berani Ambil Risiko
A
A
A
Untuk merintis bisnis atau lazim disebut dengan start-up, terkadang dibutuhkan mentor yang memberikan petunjuk dan nasihat.
Peran mentor itu sangat penting untuk menciptakan peluang dan merebut pasar. Itulah yang dilakukan William Saito, warga negara ganda Amerika Serikat (AS)-Jepang. Dia juga memiliki misi serius untuk membuat Jepang sebagai negara yang lebih memiliki semangat berbisnis. Profesi mentor itu dijalani Saito sejak 2005.
Dia pindah ke Jepang dan mendirikan perusahaan konsultan dan firma pengelola dana bernama InTecur. Bukan hanya sebagai mentor para calon pengusaha dan pebisnis, dia juga diangkat sebagai penasihat khusus Pemerintah Jepang dalam bidang keamanan cyber karena pengalamannya bergelut dalam bisnis teknologi informasi. Selain sebagai konsultan pemerintah, fokus utama In- Tecur juga membantu anak muda Jepang agar sukses dalam bidang bisnis teknologi informasi.
Saito menganggap budaya Jepang kerap menjadi penghambat anak muda untuk berkreativitas dan memulai bisnis. Orang Jepang sangat menghormati senioritas dalam usia ataupun pengalaman. Itu menjadi penghalang. ”Pemuda Jepang yang berusia 20 tahunan tidak mendapatkan kesempatan,” kata pria yang masuk dalam 100 Orang Berpengaruh bagi Jepang versi Nikkei Business pada 2012.
”Kewajiban saya untuk memberikan semangat bagi generasi mendatang karena saya telah diberikan kesempatan,” imbuhnya, dikutip BBC . Sejauh ini Saito telah membantu anak muda Jepang mendirikan 24 perusahaan rintisan, 14 di antaranya dipimpin perempuan. Bukan sekadar membantu, pria kelahiran 23 Maret 1971 itu juga membantu memberikan modal bagi pengusaha muda yang pernah menemui kegagalan.
”Kegagalan (di Jepang) merupakan kata yang buruk. Saya ingin membaliknya. Jika kamu pernah gagal sekali dan mendapatkan pengalaman pertama, kemudian kamu akan mengetahui kelemahanmu dan kekuatan,” tuturnya. Apa yang melatarbelakangi Saito menjadi seorang mentor dan pemodal bagi anak muda di Jepang?
Dia ingin mengubah perspektif kalau anak muda yang keren itu berbisnis, bukan bekerja pada perusahaan besar. ”Saya optimistis perspektif itu akan berubah dan membuat saya semakin senang,” katanya. Untuk menjadi seorang pengusaha, ternyata Saito dulu juga melawan perspektif orang tuanya.
Dia melepaskan posisinya sebagai dokter, padahal sudah lulus tes karena ingin mendirikan bisnis. Padahal, dokter merupakan profesi yang diinginkan orang tuanya. Selama dua tahun, orang tuanya tak pernah mogok bicara dengan Saito. Penolakan orang tua tak membuat Saito patah semangat.
Semangat untuk mendirikan perusahaan telah muncul sejak dia berusia 11 tahun saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Perusahaan rintisan yang didirikannya fokus pada keamanan komputer melalui teknologi sidik jari dan kornea mata. Perusahaan itu bernama I/O Software yang dirikan pada 1991 saat dia masih kuliah di Universitas California.
Bisnisnya merajai industri biometrik dan keamanan informasi. Empat belas tahun kemudian, pada usia 33 tahun, Saito menjual perusahaannya kepada Microsoft. Setelah itu, Saito memilih kembali ke Jepang. Dia ingin membantu anak muda Jepang untuk menjadi pengusaha. Meski lahir dan tumbuh besar di AS, Saito masih merasa menjadi orang Jepang yang sebenarnya.
”Saya tumbuh menjadi sukses karena nilai tradisi Jepang. Karena itu, saya ingin mengembangkan nilai tersebut kepada anak muda,” tuturnya. Menurut Saito, orang tuanya sangat teguh dalam mengajak nilai tradisi Jepang. Anak-anak dididik dalam mata pelajaran matematika dan kerap disuruh membaca buku dalam jumlah besar. ”Orang tua saya sangat berharap anaknya mampu berada satu tingkat lebih tinggi dibandingkan teman seusianya,” tuturnya.
Bagi Saito, didikan keras orang tuanya itu memberikan keuntungan besar yang mampu mengubah kehidupannya. Pada usia 10 tahun, Saito sudah belajar bahasa pemprograman dengan komputer. Saat itu dia sudah menghasilkan program dan mendapatkan bayaran.
”Itu mengubah pandangan saya tentang melakukan sesuatu yang menyenangkan yakni membuat program komputer. Saya juga mendapatkan upah,” tuturnya.
ANDIKA HENDRA M
Peran mentor itu sangat penting untuk menciptakan peluang dan merebut pasar. Itulah yang dilakukan William Saito, warga negara ganda Amerika Serikat (AS)-Jepang. Dia juga memiliki misi serius untuk membuat Jepang sebagai negara yang lebih memiliki semangat berbisnis. Profesi mentor itu dijalani Saito sejak 2005.
Dia pindah ke Jepang dan mendirikan perusahaan konsultan dan firma pengelola dana bernama InTecur. Bukan hanya sebagai mentor para calon pengusaha dan pebisnis, dia juga diangkat sebagai penasihat khusus Pemerintah Jepang dalam bidang keamanan cyber karena pengalamannya bergelut dalam bisnis teknologi informasi. Selain sebagai konsultan pemerintah, fokus utama In- Tecur juga membantu anak muda Jepang agar sukses dalam bidang bisnis teknologi informasi.
Saito menganggap budaya Jepang kerap menjadi penghambat anak muda untuk berkreativitas dan memulai bisnis. Orang Jepang sangat menghormati senioritas dalam usia ataupun pengalaman. Itu menjadi penghalang. ”Pemuda Jepang yang berusia 20 tahunan tidak mendapatkan kesempatan,” kata pria yang masuk dalam 100 Orang Berpengaruh bagi Jepang versi Nikkei Business pada 2012.
”Kewajiban saya untuk memberikan semangat bagi generasi mendatang karena saya telah diberikan kesempatan,” imbuhnya, dikutip BBC . Sejauh ini Saito telah membantu anak muda Jepang mendirikan 24 perusahaan rintisan, 14 di antaranya dipimpin perempuan. Bukan sekadar membantu, pria kelahiran 23 Maret 1971 itu juga membantu memberikan modal bagi pengusaha muda yang pernah menemui kegagalan.
”Kegagalan (di Jepang) merupakan kata yang buruk. Saya ingin membaliknya. Jika kamu pernah gagal sekali dan mendapatkan pengalaman pertama, kemudian kamu akan mengetahui kelemahanmu dan kekuatan,” tuturnya. Apa yang melatarbelakangi Saito menjadi seorang mentor dan pemodal bagi anak muda di Jepang?
Dia ingin mengubah perspektif kalau anak muda yang keren itu berbisnis, bukan bekerja pada perusahaan besar. ”Saya optimistis perspektif itu akan berubah dan membuat saya semakin senang,” katanya. Untuk menjadi seorang pengusaha, ternyata Saito dulu juga melawan perspektif orang tuanya.
Dia melepaskan posisinya sebagai dokter, padahal sudah lulus tes karena ingin mendirikan bisnis. Padahal, dokter merupakan profesi yang diinginkan orang tuanya. Selama dua tahun, orang tuanya tak pernah mogok bicara dengan Saito. Penolakan orang tua tak membuat Saito patah semangat.
Semangat untuk mendirikan perusahaan telah muncul sejak dia berusia 11 tahun saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Perusahaan rintisan yang didirikannya fokus pada keamanan komputer melalui teknologi sidik jari dan kornea mata. Perusahaan itu bernama I/O Software yang dirikan pada 1991 saat dia masih kuliah di Universitas California.
Bisnisnya merajai industri biometrik dan keamanan informasi. Empat belas tahun kemudian, pada usia 33 tahun, Saito menjual perusahaannya kepada Microsoft. Setelah itu, Saito memilih kembali ke Jepang. Dia ingin membantu anak muda Jepang untuk menjadi pengusaha. Meski lahir dan tumbuh besar di AS, Saito masih merasa menjadi orang Jepang yang sebenarnya.
”Saya tumbuh menjadi sukses karena nilai tradisi Jepang. Karena itu, saya ingin mengembangkan nilai tersebut kepada anak muda,” tuturnya. Menurut Saito, orang tuanya sangat teguh dalam mengajak nilai tradisi Jepang. Anak-anak dididik dalam mata pelajaran matematika dan kerap disuruh membaca buku dalam jumlah besar. ”Orang tua saya sangat berharap anaknya mampu berada satu tingkat lebih tinggi dibandingkan teman seusianya,” tuturnya.
Bagi Saito, didikan keras orang tuanya itu memberikan keuntungan besar yang mampu mengubah kehidupannya. Pada usia 10 tahun, Saito sudah belajar bahasa pemprograman dengan komputer. Saat itu dia sudah menghasilkan program dan mendapatkan bayaran.
”Itu mengubah pandangan saya tentang melakukan sesuatu yang menyenangkan yakni membuat program komputer. Saya juga mendapatkan upah,” tuturnya.
ANDIKA HENDRA M
(ftr)