Begitu Jatuh, Lantainya Ikut Bergetar,
A
A
A
Peristiwa itu masih melekat erat dalam ingatan Halimah, 50. Peristiwa yang tentu tidak dia sangka dan harapkan.
Jamaah haji asal Comal, Yosowingun, Belitang Madang Raya, Ogan Komering Ilir (OKU) Timur, Sumatera Selatan ini pun memilih lebih banyak menenangkan diri di dalam kamar hotel selepas peristiwa memilukan itu. Baginya cara itu bisa untuk mengobati rasa trauma setelah menyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pun untuk pergi keluar hotel, Halimah tidak berani sendiri.
Pada Jumat (11/9) itu, jam menunjukkan pukul 15.30 waktu Mekkah. Bersama suaminya, Dumami, 56, dia beranjak dari hotel tempat mereka menginap menuju Masjidilharam. Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di Masjidilharam dan langsung masuk melalui pintu Babussalam menuju lantai dasar di dekat tempat wudu. Lokasinya berada di dekat tawaf. Baik Halimah maupun Dumami mencari tempat untuk mengaji. Bagi mereka semakin terus melafalkan ayat suci Alquran di Masjidilharam semakin membuat prosesi ibadah hajinya mabrur.
Sambil memegang tasbih, Halimah terus mengaji. Tengah khusuk mengaji, dia dikagetkan dengan suara keras. ”Bruaak, lalu disusul badai dan petir,” ungkap Halimah. Belum selesai rasa kaget akibat suara keras tersebut, Halimah semakin terkejut karena lampu yang menerangi dia dan jamaah lainnya saat mengaji mati. Suara dentuman dan suasana gelap membuat Halimah menghentikan mengaji dan memilih beranjak pergi secepatnya.
”Saya gandeng dua ibu lansia lainnya untuk keluar. Namun tidak boleh oleh penjaganya,” katanya. Rasa panik dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi terus menggelayuti Halimah. Dia terus mencari jalan keluar. Suara pekik Allahuakbar terus berkumandang, entah berapa banyak jamaah yang mengumandangkan. Sambil terus berjalan mencari jalan keluar dia sempat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Ketika menoleh ke kiri, Halimah kembali kaget karena melihat beberapa jamaah berdarah-darah. Jaraknya sekitar 30 meter dari tempat dia mengaji. ”Untung besi yang jatuh menyapu ke arah kiri, kalau ke arah kanan nggak tahu nasib saya,” ujarnya menerawang. Halimah baru sadar, ternyata ada besi berukuran besar yang terjatuh menimpa beberapa jamaah. Masih dipenuhi rasa kalut, dia melihat bagian besi crane yang terjatuh. Crane jumbo itu tingginya sekitar 50 meter.
Dumami pun masih merasakan trauma. Saat peristiwa itu terjadi, posisi dia saat mengaji cukup dekat dengan crane yang jatuh. ”Posisi saya sedang ngaji sambil bersandar di belakang (tempat) tawaf,” katanya. Dumami masih ingat, saat itu dia baru membuka lembaran kelima ketika mengaji. Dia heran dengan debu yang terus menempel. Dia usap debu yang ada tapi beberapa detik kemudian ada lagi. Ketika dibingungkan dengan debu tiba-tiba lampu mati dan membuat areal tawaf gelap gulita.
Hati Dumami pun bertanya-tanya, apalagi diikuti hujan yang turun diiringi petir. Tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara keras di lantai. ”Brakkk ... begitu jatuh, lantainya ikut bergetar. Semua orang yang ada di situ berhamburan,” katanya. Melihat peristiwa itu, Dumami secara refleks berlari mundur sekitar 5 meter. Hatinya semakin kaget ketika melihat beberapa jamaah sudah meninggal karena peristiwa tersebut.
”Saya melihat ada yang sudah meninggal, yakni asal Uzbekistan dan Bangladesh yang bersimbah darah,” ungkapnya. Saat peristiwa itu, tawaf mengelilingi Kakbah sempat berhenti selama sekitar 5 menit. Namun setelah itu dilanjutkan kembali. Dumami mengaku terkejut melihat benda seperti kotak besi persegi panjang berukuran panjang 3 meter kali 2,5 meter. Benda di ujung crane itu jatuh ke lantai dan bergerak menyapu jamaah dan berhentinya di bawah jembatan untuk menuju tempat tawaf di lantai 1.
Sebagian besi ada yang patah dan diduga menimpa jamaah. ”Pagar pembatas yang berwarna hijau itu digulingkan dan dipakai buat menaruh jamaah yang meninggal. Sebab, ambulans belum datang. Pembersihan lokasi dilakukan cepat sekali. Suara jeritan, tangisan, takbir, dan istigfar bergema. Seperti kiamat,” urainya.
Kemarin suasana Masjidilharam kembali normal dan seolah tidak terpengaruh oleh peristiwa tragis tersebut. Sejak pagi sampai waktu salat zuhur jamaah yang datang semakin banyak. Bahkan halaman samping daerah pintu masuk Masjidilharam, Marwah, tidak jauh dari tempat crane jatuh dipadati jamaah dari berbagai negara yang hendak menunaikan salat zuhur. Padahal kemarin siang cuaca mencapai 40- 43 derajat Celsius.
Laporan Wartawan Koran Sindo
Sunu Hastoro F
Mekkah
Jamaah haji asal Comal, Yosowingun, Belitang Madang Raya, Ogan Komering Ilir (OKU) Timur, Sumatera Selatan ini pun memilih lebih banyak menenangkan diri di dalam kamar hotel selepas peristiwa memilukan itu. Baginya cara itu bisa untuk mengobati rasa trauma setelah menyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi. Pun untuk pergi keluar hotel, Halimah tidak berani sendiri.
Pada Jumat (11/9) itu, jam menunjukkan pukul 15.30 waktu Mekkah. Bersama suaminya, Dumami, 56, dia beranjak dari hotel tempat mereka menginap menuju Masjidilharam. Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di Masjidilharam dan langsung masuk melalui pintu Babussalam menuju lantai dasar di dekat tempat wudu. Lokasinya berada di dekat tawaf. Baik Halimah maupun Dumami mencari tempat untuk mengaji. Bagi mereka semakin terus melafalkan ayat suci Alquran di Masjidilharam semakin membuat prosesi ibadah hajinya mabrur.
Sambil memegang tasbih, Halimah terus mengaji. Tengah khusuk mengaji, dia dikagetkan dengan suara keras. ”Bruaak, lalu disusul badai dan petir,” ungkap Halimah. Belum selesai rasa kaget akibat suara keras tersebut, Halimah semakin terkejut karena lampu yang menerangi dia dan jamaah lainnya saat mengaji mati. Suara dentuman dan suasana gelap membuat Halimah menghentikan mengaji dan memilih beranjak pergi secepatnya.
”Saya gandeng dua ibu lansia lainnya untuk keluar. Namun tidak boleh oleh penjaganya,” katanya. Rasa panik dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi terus menggelayuti Halimah. Dia terus mencari jalan keluar. Suara pekik Allahuakbar terus berkumandang, entah berapa banyak jamaah yang mengumandangkan. Sambil terus berjalan mencari jalan keluar dia sempat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Ketika menoleh ke kiri, Halimah kembali kaget karena melihat beberapa jamaah berdarah-darah. Jaraknya sekitar 30 meter dari tempat dia mengaji. ”Untung besi yang jatuh menyapu ke arah kiri, kalau ke arah kanan nggak tahu nasib saya,” ujarnya menerawang. Halimah baru sadar, ternyata ada besi berukuran besar yang terjatuh menimpa beberapa jamaah. Masih dipenuhi rasa kalut, dia melihat bagian besi crane yang terjatuh. Crane jumbo itu tingginya sekitar 50 meter.
Dumami pun masih merasakan trauma. Saat peristiwa itu terjadi, posisi dia saat mengaji cukup dekat dengan crane yang jatuh. ”Posisi saya sedang ngaji sambil bersandar di belakang (tempat) tawaf,” katanya. Dumami masih ingat, saat itu dia baru membuka lembaran kelima ketika mengaji. Dia heran dengan debu yang terus menempel. Dia usap debu yang ada tapi beberapa detik kemudian ada lagi. Ketika dibingungkan dengan debu tiba-tiba lampu mati dan membuat areal tawaf gelap gulita.
Hati Dumami pun bertanya-tanya, apalagi diikuti hujan yang turun diiringi petir. Tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara keras di lantai. ”Brakkk ... begitu jatuh, lantainya ikut bergetar. Semua orang yang ada di situ berhamburan,” katanya. Melihat peristiwa itu, Dumami secara refleks berlari mundur sekitar 5 meter. Hatinya semakin kaget ketika melihat beberapa jamaah sudah meninggal karena peristiwa tersebut.
”Saya melihat ada yang sudah meninggal, yakni asal Uzbekistan dan Bangladesh yang bersimbah darah,” ungkapnya. Saat peristiwa itu, tawaf mengelilingi Kakbah sempat berhenti selama sekitar 5 menit. Namun setelah itu dilanjutkan kembali. Dumami mengaku terkejut melihat benda seperti kotak besi persegi panjang berukuran panjang 3 meter kali 2,5 meter. Benda di ujung crane itu jatuh ke lantai dan bergerak menyapu jamaah dan berhentinya di bawah jembatan untuk menuju tempat tawaf di lantai 1.
Sebagian besi ada yang patah dan diduga menimpa jamaah. ”Pagar pembatas yang berwarna hijau itu digulingkan dan dipakai buat menaruh jamaah yang meninggal. Sebab, ambulans belum datang. Pembersihan lokasi dilakukan cepat sekali. Suara jeritan, tangisan, takbir, dan istigfar bergema. Seperti kiamat,” urainya.
Kemarin suasana Masjidilharam kembali normal dan seolah tidak terpengaruh oleh peristiwa tragis tersebut. Sejak pagi sampai waktu salat zuhur jamaah yang datang semakin banyak. Bahkan halaman samping daerah pintu masuk Masjidilharam, Marwah, tidak jauh dari tempat crane jatuh dipadati jamaah dari berbagai negara yang hendak menunaikan salat zuhur. Padahal kemarin siang cuaca mencapai 40- 43 derajat Celsius.
Laporan Wartawan Koran Sindo
Sunu Hastoro F
Mekkah
(ars)