Anjing II
A
A
A
Ada model baru remaja masa kini dalam menyapa temannya, seperti ini ”Hellooo... apa kabar, Njing? Ke mana aja elo, nggak kelihatan-kelihatan?”.
”Njing” di sini adalah singkatan dari kata ”anjing”. Kasar sekali kedengarannya, kan? Sampai-sampai ada pakar yang mengaitkan banyaknya kejahatan dengan kekerasan seperti begal (istilah polisi: jatanras), penyalahgunaan narkoba, seks, dan radikalisme agama yang makin marak dilakukan remaja dengan makin maraknya juga katakata kasar yang tak sopan itu di kalangan generasi muda pasca. Tetapi benarkah demikian?
Maraknya jatanras, narkoba, kejahatan seks. dan penyalahgunaan agama, seingat saya baru 10 tahunan terakhir ini. Yang pasti, di awal tahun 1990-an, di era diskotek dan pil ekstasi baru mulai dikenal oleh anak muda waktu itu, kejahatan-kejahatan JNSA (Jatanras, Narkoba, Seks, dan Agama) belumbanyak. Padahalwaktu itu, remaja sudah biasa menyapa kawannya dengan ”... apa kabar, Bok?”.
”Bok” adalah singkatan dari kata ”cabo” (istilah resminya pekerja seks komersial, disingkat PSK, tetapi kalau dipakai panggilan ”K”, nggak seru kali, yee ???). Dalam buku biografinya Jenderal Hoegeng (yang dianggap polisi paling jujur se-Indonesia), saya pernah membaca bahwa semasa muda, di Pekalongan, beliau menyapa temantemannya dengan kata ”asu”, yang artinya anjing juga.
Bahkan sejak saya masih remaja, rasanya saya sudah mendengar kata ”jancuk” (atau yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah fuck, atau yang lebih sopan making love) diucapkan oleh orang Surabaya, termasuk untuk menyapa kawan dekat. Padahal di zaman saya remaja, apalagi di era remajanya Pak Hoegeng, kejahatan JNSA masih sangat langka, atau bahkan belum ada sama sekali.
Jadi tidak benarlah hipotesis pakar yang menyatakan bahwa maraknya kejahatan JNSA adalah karena makin tidak sopannya kosakata tak sopan, atau bahkan kurang ajar, yang digunakan dalam pergaulan anak muda. Kata-kata itu (njing, bok, asu, atau jancuk), memang terdengar kurang ajar di telinga orang yang berbudaya, para pendidik, orang tua, lingkungan agama, lingkungan formal dan lainnya. Tetapi di kalangan si pengucap dan kawan-kawannya, kata-kata tidak sopan itu terasa biasa-biasa saja, bahkan menambah keakraban.
*** Jadi mengapa kejahatan JNSA sekarang makin marak di kalangan generasi muda? Saya pernah mendapat kiriman melalui media sosial, foto-foto sepasang siswa SD (laki-laki dan perempuan, masih berseragam sekolah) melakukan adegan oral sex.
Di media massa (terutama TV) sering diunggah video klip anak-anak perempuan berantem, jambak-jambakan, atau anak sekolah sedang dibully oleh teman-temannya sendiri dengan cara ditendangi atau dipukuli rame-rame (termasuk video beberapa tahun yang lalu tentang mahasiswa STPDN yang dipukuli sampai meninggal) dan masih banyak lagi foto, film, teks, dan lainnya yang langsung atau tidak langsung memaparkan kejahatan JNSA di media sosial.
Padahal, media sosial ini hampir-hampir tidak ada kontrolnya sama sekali. Mereka yang suka iseng mencari- cari di Instagram misalnya, pasti akan menemukan fotofoto wanita yang berpakaian seronok memamerkan tubuhnya (bukan cuma orang biasa, tetapi terkadang juga artis kondang).
Di Twitter, ucapanucapan berbau fitnah, atau provokasi untuk menjelekkan orang lain, juga sangat banyak. Sebagian di-upload ke media massa, yang notabene punya kode etik dan dikontrol oleh Kementerian Kominfo, Dewan Pers, dll.
*** Sigmund Freud, psikoanalis asal Austria, yang hidup pada akhir abad XIX sampai awal abad XX, punya teori bahwa di dalam diri setiap orang ada mekanisme pengendalian diri yang dinamakan superego, yang tugasnya adalah mengendalikan dorongan, atau naluri yang dinamakan insting, yang bersumber dari bagian jiwa yang bernama id, yang tidak layak ditampilkan di dunia luar.
Di antara id dan superego ada ego yang salah satu tugasnya adalah mengemas dorongan terlarang dari id yang sudah diverifikasi oleh superego, dalam bentuk yang lebih bisa diterima oleh masyarakat di luar sana, dalam sistem yang dinamakan norma budaya masyarakat. Sebagai contoh, hubungan seks yang terlarang, dikemas sedemikian rupa dalam upacara adat perkawinan yang diridai agama pula.
Selepas upacara perkawinan, segala yang terlarang tadi jadi sah (asalkan dilakukan berdua saja di kamar, tanpa selfie). Mekanisme seperti ini yang dilakukan oleh ego dinamakan sublimasi. Begitu juga kekerasan yang memang merupakan naluri bawaan manusia, disublimasi menjadi olahraga pertandingan, khususnya olahraga bela diri, atau juga perang yang dilakukan oleh setiap masyarakat dari zaman dahulu kala, sampai hari ini.
Sayangnya Freud hidup di Austria, lebih dari dua abad yang lalu. Kalau dia hidup hari ini, di Indonesia, tentu dia tidak akan mengembangkan teori seperti itu. Ego tidak perlu lagi repot- repot mengatur sublimasi (dan mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang lain yang terlalu bertele-tele kalau diuraikan di sini), karena realita di dunia nyata sangat mirip dengan apa yang dimaui oleh id. Jadi dia lontarkan saja mentah-mentah dorongan-dorongan dari id, yang sebenarnya dilarang oleh superego. Ego tak perlu lagi berpayah- payah menyensor dorongan dari id.
*** Psikolog lain bernama Broffenbrenner, dalam teori psikologi ekologinya, menyatakan bahwa setiap individu adalah bagian dari lingkungan mikronya (keluarga, kawan-kawan, tetangga), meso (hubungan antarbagian dari sistem mikro), exo (keluarga besar, sekolah, kota dll) dan makro (TV, hukum, luar daerah, nasional, internasional).
Bagaimanapun, seseorang (apalagi anak-anak) akan dipengaruhi oleh sistem mikronya dulu, di situlah superego ditumbuhkan melalui pendidikan orang tua. Tetapi dengan adanya teknologi informasi yang secanggih sekarang, anak-anak umur tiga tahun sudah memegang gadget, kapan ayah-bundanya sempat memasukkan nilai-nilai ke superego anak.
Dunia anakanak langsung ke lingkungan makro, tidak melewati sistem mikro dulu. Maka mereka bertegur sapa dengan kata-kata ”anjing” atau tidak, tidak bermakna lagi. Yang jelas, mereka sudah terpapar pada kejahatan JNSA yang seolah-olah wajarwajar saja, maka mereka pun menirunya.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
”Njing” di sini adalah singkatan dari kata ”anjing”. Kasar sekali kedengarannya, kan? Sampai-sampai ada pakar yang mengaitkan banyaknya kejahatan dengan kekerasan seperti begal (istilah polisi: jatanras), penyalahgunaan narkoba, seks, dan radikalisme agama yang makin marak dilakukan remaja dengan makin maraknya juga katakata kasar yang tak sopan itu di kalangan generasi muda pasca. Tetapi benarkah demikian?
Maraknya jatanras, narkoba, kejahatan seks. dan penyalahgunaan agama, seingat saya baru 10 tahunan terakhir ini. Yang pasti, di awal tahun 1990-an, di era diskotek dan pil ekstasi baru mulai dikenal oleh anak muda waktu itu, kejahatan-kejahatan JNSA (Jatanras, Narkoba, Seks, dan Agama) belumbanyak. Padahalwaktu itu, remaja sudah biasa menyapa kawannya dengan ”... apa kabar, Bok?”.
”Bok” adalah singkatan dari kata ”cabo” (istilah resminya pekerja seks komersial, disingkat PSK, tetapi kalau dipakai panggilan ”K”, nggak seru kali, yee ???). Dalam buku biografinya Jenderal Hoegeng (yang dianggap polisi paling jujur se-Indonesia), saya pernah membaca bahwa semasa muda, di Pekalongan, beliau menyapa temantemannya dengan kata ”asu”, yang artinya anjing juga.
Bahkan sejak saya masih remaja, rasanya saya sudah mendengar kata ”jancuk” (atau yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah fuck, atau yang lebih sopan making love) diucapkan oleh orang Surabaya, termasuk untuk menyapa kawan dekat. Padahal di zaman saya remaja, apalagi di era remajanya Pak Hoegeng, kejahatan JNSA masih sangat langka, atau bahkan belum ada sama sekali.
Jadi tidak benarlah hipotesis pakar yang menyatakan bahwa maraknya kejahatan JNSA adalah karena makin tidak sopannya kosakata tak sopan, atau bahkan kurang ajar, yang digunakan dalam pergaulan anak muda. Kata-kata itu (njing, bok, asu, atau jancuk), memang terdengar kurang ajar di telinga orang yang berbudaya, para pendidik, orang tua, lingkungan agama, lingkungan formal dan lainnya. Tetapi di kalangan si pengucap dan kawan-kawannya, kata-kata tidak sopan itu terasa biasa-biasa saja, bahkan menambah keakraban.
*** Jadi mengapa kejahatan JNSA sekarang makin marak di kalangan generasi muda? Saya pernah mendapat kiriman melalui media sosial, foto-foto sepasang siswa SD (laki-laki dan perempuan, masih berseragam sekolah) melakukan adegan oral sex.
Di media massa (terutama TV) sering diunggah video klip anak-anak perempuan berantem, jambak-jambakan, atau anak sekolah sedang dibully oleh teman-temannya sendiri dengan cara ditendangi atau dipukuli rame-rame (termasuk video beberapa tahun yang lalu tentang mahasiswa STPDN yang dipukuli sampai meninggal) dan masih banyak lagi foto, film, teks, dan lainnya yang langsung atau tidak langsung memaparkan kejahatan JNSA di media sosial.
Padahal, media sosial ini hampir-hampir tidak ada kontrolnya sama sekali. Mereka yang suka iseng mencari- cari di Instagram misalnya, pasti akan menemukan fotofoto wanita yang berpakaian seronok memamerkan tubuhnya (bukan cuma orang biasa, tetapi terkadang juga artis kondang).
Di Twitter, ucapanucapan berbau fitnah, atau provokasi untuk menjelekkan orang lain, juga sangat banyak. Sebagian di-upload ke media massa, yang notabene punya kode etik dan dikontrol oleh Kementerian Kominfo, Dewan Pers, dll.
*** Sigmund Freud, psikoanalis asal Austria, yang hidup pada akhir abad XIX sampai awal abad XX, punya teori bahwa di dalam diri setiap orang ada mekanisme pengendalian diri yang dinamakan superego, yang tugasnya adalah mengendalikan dorongan, atau naluri yang dinamakan insting, yang bersumber dari bagian jiwa yang bernama id, yang tidak layak ditampilkan di dunia luar.
Di antara id dan superego ada ego yang salah satu tugasnya adalah mengemas dorongan terlarang dari id yang sudah diverifikasi oleh superego, dalam bentuk yang lebih bisa diterima oleh masyarakat di luar sana, dalam sistem yang dinamakan norma budaya masyarakat. Sebagai contoh, hubungan seks yang terlarang, dikemas sedemikian rupa dalam upacara adat perkawinan yang diridai agama pula.
Selepas upacara perkawinan, segala yang terlarang tadi jadi sah (asalkan dilakukan berdua saja di kamar, tanpa selfie). Mekanisme seperti ini yang dilakukan oleh ego dinamakan sublimasi. Begitu juga kekerasan yang memang merupakan naluri bawaan manusia, disublimasi menjadi olahraga pertandingan, khususnya olahraga bela diri, atau juga perang yang dilakukan oleh setiap masyarakat dari zaman dahulu kala, sampai hari ini.
Sayangnya Freud hidup di Austria, lebih dari dua abad yang lalu. Kalau dia hidup hari ini, di Indonesia, tentu dia tidak akan mengembangkan teori seperti itu. Ego tidak perlu lagi repot- repot mengatur sublimasi (dan mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang lain yang terlalu bertele-tele kalau diuraikan di sini), karena realita di dunia nyata sangat mirip dengan apa yang dimaui oleh id. Jadi dia lontarkan saja mentah-mentah dorongan-dorongan dari id, yang sebenarnya dilarang oleh superego. Ego tak perlu lagi berpayah- payah menyensor dorongan dari id.
*** Psikolog lain bernama Broffenbrenner, dalam teori psikologi ekologinya, menyatakan bahwa setiap individu adalah bagian dari lingkungan mikronya (keluarga, kawan-kawan, tetangga), meso (hubungan antarbagian dari sistem mikro), exo (keluarga besar, sekolah, kota dll) dan makro (TV, hukum, luar daerah, nasional, internasional).
Bagaimanapun, seseorang (apalagi anak-anak) akan dipengaruhi oleh sistem mikronya dulu, di situlah superego ditumbuhkan melalui pendidikan orang tua. Tetapi dengan adanya teknologi informasi yang secanggih sekarang, anak-anak umur tiga tahun sudah memegang gadget, kapan ayah-bundanya sempat memasukkan nilai-nilai ke superego anak.
Dunia anakanak langsung ke lingkungan makro, tidak melewati sistem mikro dulu. Maka mereka bertegur sapa dengan kata-kata ”anjing” atau tidak, tidak bermakna lagi. Yang jelas, mereka sudah terpapar pada kejahatan JNSA yang seolah-olah wajarwajar saja, maka mereka pun menirunya.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)