Demokrasi 5 Menit
A
A
A
Untuk apa kita melakukan reformasi pada tahun 1998? Jawabannya, untuk membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Seluruh rangkaian alasan, mengapa kita dulu memakzulkan rezim Orde Baru, berujung pada jawaban yang sama, yakni memberantas KKN. Pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto dianggap penuh KKN dan KKN itu menyebabkan rakyat sengsara. Jika rakyat sengsara berarti tujuan negara terjauhi, sebab tujuan kita mendirikan negara merdeka adalah untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Empat tujuan negara yang ditulis di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, semuanya bersimpul pada negara kesejahteraan yang menugaskan negara untuk membangun kesejahteraan rakyat. Nah, kalau pemerintah gagal membangun kesejahteraan dan malah menyuburkan KKN maka harus dimakzulkan.
Itulah alasan yang benderang, mengapa dulu kita membuat reformasi dan menjatuhkan rezim Ode Baru. Maka itu, begitu rezim Orde Baru runtuh semua agenda reformasi difokuskan pada upaya memberantas korupsi dan menegakkan hukum dan keadilan. Kita buat berbagai undangundang untuk menghadang dan menumpas korupsi. Kita bentuk juga lembaga-lembaga pemberantas korupsi.
Kita buat aturan agar pejabat bisa diseleksi secara terbuka sehingga tampil pemerintah yang bersih. Bahkan kita juga mengamendemen UUD agar tampil sistem politik yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat. Saat itu kuat keyakinan bahwa hanya di dalam sistem yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat sajalah hukum dan perang terhadap korupsi bisa efektif.
Dalil umumnya, hukum dan penegakan hukum hanya bisa baik di dalam sistem politik yang demokratis. Tetapi apa yang terjadi kini? Korupsi bukannya berkurang, tetapi semakin menggurita. Korupsi gila-gilaan sekarang ini sudah menyebar ke semua lembaga, dari pusat sampai daerah-daerah. Korupsi menggurita secara vertikal dan horizontal. Transparency International yang berpusat di Berlin mencatat indeks persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2014 masih ada di 3,4.
Saya menjadi bergidik ngeri ketika Jumat (4/9) pekan lalu saya datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendapat penjelasan skematik tentang gurita korupsi. Dari seorang koruptor yang sekarang sudah meringkuk di penjara saja masih ada rangkaian korupsi yang luar bisa banyaknya. Si Fulan yang dihukum karena terbukti korupsi, misalnya, mempunyai sisa rangkaian kasus korupsi yang melibatkan pejabatpejabat tinggi sampai ke panitiapanitia pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian.
Gurita korupsi kait-mengait, dari lembaga eksekutif sebagai pengguna anggaran sampai ke lembaga legislatif yang menjadi mitra eksekutif untuk menetapkan anggaran. Bahkan di lembaga yudikatif pun banyak kasus-kasus korupsi yang rangkaiannya sudah diskemakan oleh KPK. Korupsi bukan hanya terjadi pada saat mengimplementasikan anggaran dan belanja negara, tetapi sudah diijon atau diberi vorskot sebelum anggaran negara ditetapkan di dalam UU APBN oleh pemerintah dan DPR.
Sebagai contoh, kalau suatu instansi ingin mendapat anggaran tertentu di dalam APBN, maka ia bisa berhubungan dengan oknum di DPR agar anggaran itu disetujui masuk UU APBN. Sang oknum di DPR setuju memperjuangkannya, tetapi ”meminta dibayar lebih dulu” sekian persen fee dari anggaran yang akan dicantumkan di dalam APBN. Jadi sebelum anggaran ada sudah dikorup dulu melalui penarikan fee (suap) sebesar persentase tertentu. Inilah ijon korupsi.
Gambaran belantara korupsi yang seperti itu tak memberi kesimpulan lain bahwa perang terhadap korupsi masih sangat jauh dari keberhasilan, kalau tak mau mengatakannya gagal. Tidak sedikit yang kemudian mengatakan bahwa di Indonesia tak berlaku dalil umum yang banyak dipercaya para akademisi bahwa demokrasi merupakan sistem yang tepat untuk melawan korupsi. Nyatanya, setelah melakukan demokratisasi di Indonesia korupsi bukan hanya tidak diberantas, tetapi semakin marak.
Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat tentang gagalnyademokrasimelawankorupsi sekarang ini. Yang terjadi sebenarnya adalah bergesernya demokrasi menjadi oligarki atau sistem politik yang dihegemoni oleh elite-elite politik yang kolutif antara yang satu dengan yang lain. Di dalam sistem oligarki seperti ini tak mungkin korupsi bisa diperangi, sebab elite-elite politik yang kolutif basis gerakannya adalah korupsi.
Banyak yang menyebut demokrasi kita pada era reformasi yang bergeser ke oligarki ini adalah demokrasi yang kebablasan, liar, tak bisa dikendalikan. Hak rakyat untuk menikmati demokrasinya hanya dilakukan selama lima menit saat mencoblos dalam pemilihan umum; setelah itu, 2.570.395 menit, hakhak rakyat dikangkangi oleh elite-elite politik. Menghitungnya sederhana.
Jika satu jam memuat waktu 60 menit, sehari terdiri atas 24 jam, setahun terdiri dari 357 hari, makadalamlimatahunatausatu periode pemerintahan jumlah menitnya adalah 2.570.400 menit. Dari jumlah menit itu rakyat hanya menggunakan hak politiknya selama lima menit saat mencoblos di bilik suara; selebihnya, 2.570.395 menit, dipestaporakan oleh elite secara koruptif dan kolutif.
Itulah yang menyebabkan korupsi menggurita secara mengerikan. Hukum dan penegak hukum yang seharusnya digdaya menjadi lemah karena memang dilemahkan oleh oligarki politik.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Seluruh rangkaian alasan, mengapa kita dulu memakzulkan rezim Orde Baru, berujung pada jawaban yang sama, yakni memberantas KKN. Pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto dianggap penuh KKN dan KKN itu menyebabkan rakyat sengsara. Jika rakyat sengsara berarti tujuan negara terjauhi, sebab tujuan kita mendirikan negara merdeka adalah untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Empat tujuan negara yang ditulis di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, semuanya bersimpul pada negara kesejahteraan yang menugaskan negara untuk membangun kesejahteraan rakyat. Nah, kalau pemerintah gagal membangun kesejahteraan dan malah menyuburkan KKN maka harus dimakzulkan.
Itulah alasan yang benderang, mengapa dulu kita membuat reformasi dan menjatuhkan rezim Ode Baru. Maka itu, begitu rezim Orde Baru runtuh semua agenda reformasi difokuskan pada upaya memberantas korupsi dan menegakkan hukum dan keadilan. Kita buat berbagai undangundang untuk menghadang dan menumpas korupsi. Kita bentuk juga lembaga-lembaga pemberantas korupsi.
Kita buat aturan agar pejabat bisa diseleksi secara terbuka sehingga tampil pemerintah yang bersih. Bahkan kita juga mengamendemen UUD agar tampil sistem politik yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat. Saat itu kuat keyakinan bahwa hanya di dalam sistem yang demokratis dengan mekanisme checks and balances yang ketat sajalah hukum dan perang terhadap korupsi bisa efektif.
Dalil umumnya, hukum dan penegakan hukum hanya bisa baik di dalam sistem politik yang demokratis. Tetapi apa yang terjadi kini? Korupsi bukannya berkurang, tetapi semakin menggurita. Korupsi gila-gilaan sekarang ini sudah menyebar ke semua lembaga, dari pusat sampai daerah-daerah. Korupsi menggurita secara vertikal dan horizontal. Transparency International yang berpusat di Berlin mencatat indeks persepsi korupsi di Indonesia pada tahun 2014 masih ada di 3,4.
Saya menjadi bergidik ngeri ketika Jumat (4/9) pekan lalu saya datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendapat penjelasan skematik tentang gurita korupsi. Dari seorang koruptor yang sekarang sudah meringkuk di penjara saja masih ada rangkaian korupsi yang luar bisa banyaknya. Si Fulan yang dihukum karena terbukti korupsi, misalnya, mempunyai sisa rangkaian kasus korupsi yang melibatkan pejabatpejabat tinggi sampai ke panitiapanitia pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian.
Gurita korupsi kait-mengait, dari lembaga eksekutif sebagai pengguna anggaran sampai ke lembaga legislatif yang menjadi mitra eksekutif untuk menetapkan anggaran. Bahkan di lembaga yudikatif pun banyak kasus-kasus korupsi yang rangkaiannya sudah diskemakan oleh KPK. Korupsi bukan hanya terjadi pada saat mengimplementasikan anggaran dan belanja negara, tetapi sudah diijon atau diberi vorskot sebelum anggaran negara ditetapkan di dalam UU APBN oleh pemerintah dan DPR.
Sebagai contoh, kalau suatu instansi ingin mendapat anggaran tertentu di dalam APBN, maka ia bisa berhubungan dengan oknum di DPR agar anggaran itu disetujui masuk UU APBN. Sang oknum di DPR setuju memperjuangkannya, tetapi ”meminta dibayar lebih dulu” sekian persen fee dari anggaran yang akan dicantumkan di dalam APBN. Jadi sebelum anggaran ada sudah dikorup dulu melalui penarikan fee (suap) sebesar persentase tertentu. Inilah ijon korupsi.
Gambaran belantara korupsi yang seperti itu tak memberi kesimpulan lain bahwa perang terhadap korupsi masih sangat jauh dari keberhasilan, kalau tak mau mengatakannya gagal. Tidak sedikit yang kemudian mengatakan bahwa di Indonesia tak berlaku dalil umum yang banyak dipercaya para akademisi bahwa demokrasi merupakan sistem yang tepat untuk melawan korupsi. Nyatanya, setelah melakukan demokratisasi di Indonesia korupsi bukan hanya tidak diberantas, tetapi semakin marak.
Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat tentang gagalnyademokrasimelawankorupsi sekarang ini. Yang terjadi sebenarnya adalah bergesernya demokrasi menjadi oligarki atau sistem politik yang dihegemoni oleh elite-elite politik yang kolutif antara yang satu dengan yang lain. Di dalam sistem oligarki seperti ini tak mungkin korupsi bisa diperangi, sebab elite-elite politik yang kolutif basis gerakannya adalah korupsi.
Banyak yang menyebut demokrasi kita pada era reformasi yang bergeser ke oligarki ini adalah demokrasi yang kebablasan, liar, tak bisa dikendalikan. Hak rakyat untuk menikmati demokrasinya hanya dilakukan selama lima menit saat mencoblos dalam pemilihan umum; setelah itu, 2.570.395 menit, hakhak rakyat dikangkangi oleh elite-elite politik. Menghitungnya sederhana.
Jika satu jam memuat waktu 60 menit, sehari terdiri atas 24 jam, setahun terdiri dari 357 hari, makadalamlimatahunatausatu periode pemerintahan jumlah menitnya adalah 2.570.400 menit. Dari jumlah menit itu rakyat hanya menggunakan hak politiknya selama lima menit saat mencoblos di bilik suara; selebihnya, 2.570.395 menit, dipestaporakan oleh elite secara koruptif dan kolutif.
Itulah yang menyebabkan korupsi menggurita secara mengerikan. Hukum dan penegak hukum yang seharusnya digdaya menjadi lemah karena memang dilemahkan oleh oligarki politik.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ars)