Dana Desa Macet, Daerah Salahkan Pusat
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah pusat diminta tidak hanya menyalahkan daerah atas macetnya penyaluran dana desa dari daerah ke desa. Sebab pusat juga memiliki sumbangsih atas keterlambatan ini.
Hal itu lantaran penyederhanaan regulasi melalui surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Keuangan (Menkeu), baru ditandatangani.
”Yang dialami daerah sekarang ini adalah kecemasan karena diancam-ancam terus, akan dikenai sanksi jika penyerapan terlambat. Apalagi perubahan aturan. Bagaimana bisa mendesak- desak, tapi aturannya baru diteken,” kata Penasihat Khusus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Ryaas Rasyid di Kantor Apkasi di Jakarta kemarin. Menurut Ryas, tidak seharusnya pemerintah pusat mengancam untuk memberikan sanksi di tahun pertama realisasi dana desa ini. Sebab, keterlambatan ini tidak semata- mata kesalahan daerah.
Mantan Menteri Otonomi Daerahitumemintapemerintah lebih bersabar lagi. Tidak perlu mematok berapa besar dana yang terserap, tetapi bagaimana dana tersebut tepat sasaran penggunaannya. ”Ini kan seperti pencitraan yang akan dibangun. Seolah-olah kalau lancar semua beres. Ini bukan hanya soal penyaluran, tetapi juga bagaimana penggunaannya, bagaimana pertanggungjawabannya? Ini uang negara,” tuturnya.
Realisasi dana desa masih butuh waktu agar semua berjalan lancar. Dia menilai jika dilakukan secara serius, tiga tahun baru dapat dilihat bentuk sempurna dalam penyalurannya. Pada tahun pertama sudah pasti akan banyak ditemukan masalah. Di tahun kedua proses perbaikan dan tahun ketiga barulah tahap penyempurnaan implementasi dana desa.
Bagi dia, yang paling penting pemerintah cukup melaksanakan apa yang sudah ada. Tidak perlu ada yang diributkan karena waktu memang sudah mepet jelang akhir tahun. Di samping itu, SKB yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten dan serius dan segera lakukan pendampingan.
Menanggapi adanya ide untuk mentransfer langsung dana desa ke desa, Ryaas menilai hal tersebut tidak realistis. Sebab akan sangat rumit jika pemerintah pusat harus mengkaji program dan mentransfer dana desa langsung di 74.093 desa. ”Pertanggungjawabannya bagaimana? Bagaimana bisa mengaudit 70.000 lebih sekian desa? Semua keuangan negara harus diaudit,” ucapnya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan telah melakukan rapat bersama Menkeu dan Mendes PDTT untuk mencari penyebab lambannya penyaluran dana desa. Dari rapat tersebut disepakati adanya surat bersama (SKB) untuk percepatan penyaluran anggaran desa. Dalam SKB itu, penggunaan dana desa dikerucutkan menjadi tiga sasaran, yakni infrastruktur, irigasi, dan sosial kemasyarakatan.
”Ini untuk mempercepat penyaluran itu. Pemda kita minta percepat, jangan dihambat. Di surat bersama itu perencanaan akan lebih singkat,” katanya. Mantan anggota DPR itu mengaku sudah memperingatkan daerah untuk tidak menghambat anggaran desa. Jika ada daerah yang menghambat akan diberi sanksi. ”Entah DAK (dana alokasi khusus) yang dipotong, itu nanti Menkeu yang beri sanksi,” ujar Tjahjo.
Terpisah, anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko mengatakan, ada kecacatan historis yang menyebabkan keterlambatan penyaluran dana desa. Maka dari itu tidak bisa kesalahan hanya ditujukan kepada daerah semata. Dia mengatakan, perubahan peraturan pemerintah (PP) menjadi awal mula keterlambatan. PP Nomor 43/2014 diganti dengan PP Nomor 47/2015. Selain itu, PP Nomor 60/2014 diubah menjadi PP Nomor 22/2015.
”Ternyata PP sebelumnya kontradiktif dengan undang-undang sehingga muncul desakan untuk melakukan revisi. Ini cukup makan waktu. Sementara itu di daerah sudah menyusun program-program berdasarkan PP yang lama,” ungkapnya. Mantan Wakil Ketua Pansus UU Desa itu mengatakan revisi PP memang seperti buah simalakama. Jika direvisi mengganggu proses di daerah, tetapi kalau tidak direvisi akan tidak sesuai dengan semangat UU Desa.
Adanya SKB merupakan upaya sinergis antarkementerian dan pusat dengan daerah. Dia berharap SKB ini hanyalah sebagai pertolongan pertama implementasi dana desa dan sifatnya hanya sementara. ”Di SKB ini kan lebih top down . Desa harus bikin ini, bikin itu. Padahal, harusnya prakarsa desa. Jadi, agak mengurangi kewenangan desa. Makanya jangan sampai dipermanenkan SKB ini,” kata politikus PDIP itu.
Ketua Apkasi Mardani Maming mengungkapkan, adanya perubahan regulasi membuat daerah keteter dalam menyalurkan dana desa. Apalagi pemerintah daerah tidak bisa begitu saja menyalurkan dana desa. ”Kami para bupati sudah mempersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan aturan yang lama. Tapi ternyata ada perubahan. Tentu kami harus menyesuaikan dengan aturan yang baru,” paparnya.
Dita angga
Hal itu lantaran penyederhanaan regulasi melalui surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Keuangan (Menkeu), baru ditandatangani.
”Yang dialami daerah sekarang ini adalah kecemasan karena diancam-ancam terus, akan dikenai sanksi jika penyerapan terlambat. Apalagi perubahan aturan. Bagaimana bisa mendesak- desak, tapi aturannya baru diteken,” kata Penasihat Khusus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Ryaas Rasyid di Kantor Apkasi di Jakarta kemarin. Menurut Ryas, tidak seharusnya pemerintah pusat mengancam untuk memberikan sanksi di tahun pertama realisasi dana desa ini. Sebab, keterlambatan ini tidak semata- mata kesalahan daerah.
Mantan Menteri Otonomi Daerahitumemintapemerintah lebih bersabar lagi. Tidak perlu mematok berapa besar dana yang terserap, tetapi bagaimana dana tersebut tepat sasaran penggunaannya. ”Ini kan seperti pencitraan yang akan dibangun. Seolah-olah kalau lancar semua beres. Ini bukan hanya soal penyaluran, tetapi juga bagaimana penggunaannya, bagaimana pertanggungjawabannya? Ini uang negara,” tuturnya.
Realisasi dana desa masih butuh waktu agar semua berjalan lancar. Dia menilai jika dilakukan secara serius, tiga tahun baru dapat dilihat bentuk sempurna dalam penyalurannya. Pada tahun pertama sudah pasti akan banyak ditemukan masalah. Di tahun kedua proses perbaikan dan tahun ketiga barulah tahap penyempurnaan implementasi dana desa.
Bagi dia, yang paling penting pemerintah cukup melaksanakan apa yang sudah ada. Tidak perlu ada yang diributkan karena waktu memang sudah mepet jelang akhir tahun. Di samping itu, SKB yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten dan serius dan segera lakukan pendampingan.
Menanggapi adanya ide untuk mentransfer langsung dana desa ke desa, Ryaas menilai hal tersebut tidak realistis. Sebab akan sangat rumit jika pemerintah pusat harus mengkaji program dan mentransfer dana desa langsung di 74.093 desa. ”Pertanggungjawabannya bagaimana? Bagaimana bisa mengaudit 70.000 lebih sekian desa? Semua keuangan negara harus diaudit,” ucapnya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan telah melakukan rapat bersama Menkeu dan Mendes PDTT untuk mencari penyebab lambannya penyaluran dana desa. Dari rapat tersebut disepakati adanya surat bersama (SKB) untuk percepatan penyaluran anggaran desa. Dalam SKB itu, penggunaan dana desa dikerucutkan menjadi tiga sasaran, yakni infrastruktur, irigasi, dan sosial kemasyarakatan.
”Ini untuk mempercepat penyaluran itu. Pemda kita minta percepat, jangan dihambat. Di surat bersama itu perencanaan akan lebih singkat,” katanya. Mantan anggota DPR itu mengaku sudah memperingatkan daerah untuk tidak menghambat anggaran desa. Jika ada daerah yang menghambat akan diberi sanksi. ”Entah DAK (dana alokasi khusus) yang dipotong, itu nanti Menkeu yang beri sanksi,” ujar Tjahjo.
Terpisah, anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko mengatakan, ada kecacatan historis yang menyebabkan keterlambatan penyaluran dana desa. Maka dari itu tidak bisa kesalahan hanya ditujukan kepada daerah semata. Dia mengatakan, perubahan peraturan pemerintah (PP) menjadi awal mula keterlambatan. PP Nomor 43/2014 diganti dengan PP Nomor 47/2015. Selain itu, PP Nomor 60/2014 diubah menjadi PP Nomor 22/2015.
”Ternyata PP sebelumnya kontradiktif dengan undang-undang sehingga muncul desakan untuk melakukan revisi. Ini cukup makan waktu. Sementara itu di daerah sudah menyusun program-program berdasarkan PP yang lama,” ungkapnya. Mantan Wakil Ketua Pansus UU Desa itu mengatakan revisi PP memang seperti buah simalakama. Jika direvisi mengganggu proses di daerah, tetapi kalau tidak direvisi akan tidak sesuai dengan semangat UU Desa.
Adanya SKB merupakan upaya sinergis antarkementerian dan pusat dengan daerah. Dia berharap SKB ini hanyalah sebagai pertolongan pertama implementasi dana desa dan sifatnya hanya sementara. ”Di SKB ini kan lebih top down . Desa harus bikin ini, bikin itu. Padahal, harusnya prakarsa desa. Jadi, agak mengurangi kewenangan desa. Makanya jangan sampai dipermanenkan SKB ini,” kata politikus PDIP itu.
Ketua Apkasi Mardani Maming mengungkapkan, adanya perubahan regulasi membuat daerah keteter dalam menyalurkan dana desa. Apalagi pemerintah daerah tidak bisa begitu saja menyalurkan dana desa. ”Kami para bupati sudah mempersiapkan segala sesuatunya sesuai dengan aturan yang lama. Tapi ternyata ada perubahan. Tentu kami harus menyesuaikan dengan aturan yang baru,” paparnya.
Dita angga
(ars)