Manusia Pencari Tuhan

Jum'at, 11 September 2015 - 10:26 WIB
Manusia Pencari Tuhan
Manusia Pencari Tuhan
A A A
Meyakini dan mengetahui Tuhan adalah dua hal yang berbeda. Mengingat Tuhan Mahagaib dan Absolut, nalar manusia tidak sampai untuk mengenal dan mengetahui-Nya sebagaimana kita mengenal dan mengetahui manusia atau objek alam.

Manusia dengan bantuan nalar dan kitab suci mencoba mengenal dan mendekati Tuhan dengan memberikan atribusi dan definisi, misalnya Tuhan itu diyakini sebagai Wujud yang Absolut (Absolut Being), yang dari-Nya muncul entitas lain (contingent beings). Semua wujud yang ada ini muncul dari-Nya. Dia itu sang Pencipta dan Esa, pengatur jagat semesta, berada di luar ruang dan waktu, karena Dia pencipta ruang dan waktu.

Hakikat dan zat Tuhan yang Mahamutlak dan Absolut itu tidak mungkin diketahui oleh nalar manusia yang relatif dan sangat terbatas. Manusia yakin akan wujud dan kekuasaan-Nya tetapi tidak mungkin menjumpai-Nya dengan mata. Karenanya, kehadiran rasul Tuhan sangat membantu manusia untuk mengetahui siapa Dia dan apa kehendak- Nya kepada manusia.

Demikianlah, Tuhan diyakini kehadiran- Nya oleh manusia sepanjang sejarah, namun sekaligus juga jadi objek diskusi dan perdebatan karena manusia tidak bisa melakukan klarifikasi dan verifikasi sebagaimana dilakukan dalam kajian ilmiah. Tuhan itu mysterium, Mahamisteri, tidak tertangkap mata dan nalar; tremendum, Mahamenakutkan karena kebesaran dan kekuasaannya yang tak terbatas; juga fascinatum, Mahamenarik karena kasih dan cinta-Nya pada manusia.

Karena tiga sifat utamanya itu maka orang beriman ada yang lebih menekankan dan menyapa Tuhan sebagai Kekasih yang selalu dirindukan dan dicintai. Dia yang Maharahman dan Maharahim. Ada lagi yang lebih memosisikan Tuhan sebagai Sang Hakim yang tegas dan menakutkan, yang selalu mengancam dengan siksa neraka.

Lalu ada lagi komunitas filsuf yang membangun argumentasi dari zaman ke zaman untuk menjelaskan dan meyakinkan manusia tentang adanya Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya agar keberadaan-Nya mudah dipahami dan diyakini manusia. Sepanjang sejarah tak pernah berhenti manusia mencari Tuhan dengan berbagai cara dan jalan.

Apa yang disebut agama sesungguhnya adalah jalan untuk mengenal dan mendekat kepada Tuhan. Ada agama yang diyakini datang dari Tuhan yang disampaikan melalui rasul-Nya, ada pula agama produk pemikiran kontemplatif manusia. Berbagai ragam agama itu masingmasing memiliki karakter dan doktrin yang berbeda-beda, sehingga dimukabumi initerdapat pluralitas umat atau komunitas agama.

Hubungan antarpemeluk agama itu pun bermacammacam, ada yang rukun dan damai- damai saja, namun ada pula yang pernah terlibat konflik dan perang sehingga meninggalkan trauma, luka, dan sakit hati yang diteruskan dari generasi ke generasi. Lalu ada pula ajaran agama beserta pemeluknya yang sudah hilang dan tinggal dalam catatan sejarah.

Disadari atau tidak, berbagai agama besar maupun kecil yang pernah muncul dalam panggung sejarah, di samping terjadi kompetisi antara sesama pendukungnya, agama selalu dihadapkan pada seleksi alami sehingga berlaku teori Darwinisme sosial-historis, survival of the fittest. Hanya agama yang dianggap cocok dan mampu menghadapi kritik dan kebutuhan manusia maka sebuah agama akan bertahan.

Karenanya, dalam tubuh internal agama pun terjadi berbagai pemikiran pembaruan dan penyegaran pemahaman terhadap ajarannya agar kontekstual dan fungsional bagi zamannya. Lebih dari itu, interaksi antara sesama pemeluk agama juga telah memungkinkan terjadinya penetrasi unsur-unsur pemahaman dan tradisi agama lain sehingga yang namanya tradisi agama tidaklah statis.

Di Indonesia, pertemuan, penetrasi dan eklektisisme keagamaan sangat mudah diamati. Mengingat dari zaman dulu wilayah Nusantara ini selalu menarik pendatang asing dengan berbagai pengaruh budaya dan agamanya, maka pemahaman dan tradisi berbagai agama pengaruh- memengaruhi. Misalnya pengaruh Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghucu kesemuanya adalah pendatang di wilayah Nusantara ini yang akrab dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Pernah juga berjaya ideologi komunisme yang sekarang secara politis dilarang oleh pemerintah. Mengingat manusia adalah pencari Tuhan, maka beragam jalan dan pengalaman yang mereka dapatkan mereka ceritakan dan wariskan kepada anak cucu. Konsekuensinya, setiap anak umumnya akan mengikuti tradisi agama orang tuanya. Hasil pencarian itu terlembagakan dalam sebuah institusi dan tradisi.

Sosok para nabi pun pada awalnya adalah pribadi-pribadi yang gelisah, mereka pencari sumber kebenaran. Yang kemudian dipilih oleh Tuhan sebagai rasul-Nya. Betapa besar jasa dan warisan mereka. Kalau dalam sains dan teknologi kita mengenal sosok-sosok hebat penemu listrik, telepon, internet, mesin uap, pesawat terbang, telepon, arloji, dan sekian banyak teknologi lain yang memberi kemudahan teknis dalam menjalani hidup, maka dalam hal moral dan keagamaan kita mengenal sederet nama rasul Tuhan dan pemikir pencerah zaman.

Kita sudah seharusnya berterima kasih, lalu menjaga dan mengembangkan warisan itu. Bukannya merusak atau membuat kerusakan di muka bumi. Tuhan itu dicari bukan semata untuk mengetahui dan mengenal- Nyadengan berbagaidalil dan argumen yang kita pelajari dan kita hafal.

Melainkan untuk mendapatkan pencerahan agar hidup kita berada di atas jalan yang benar, baik, dan sebanyak mungkin memberi manfaat bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan, khususnya sesama manusia, apa pun asal suku, bahasa, budaya dan agamanya.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7051 seconds (0.1#10.140)