Seni Rupa dalam Satu Bingkai
A
A
A
Sejatinya seni itu tak bisa dikotak-kotak. Seni hadir bukan untuk keindahan sebagai keindahan individual semata, melainkan kesenyawaan dalam satu bingkai semangat kolegial.
Paradigma itu itulah yang hendak disampaikan pameran yang mengusung tema Seni Aksi Merayakan Kreativitas. Pameran yang dibuka Jumat (4/9) di Galeri Cipta II, Jakarta, tersebut diikuti oleh 53 dosen Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan 64 karya seni rupa.
Karya- karya seni rupa yang dipamerkan lintas disiplin, dari desain, seni murni, seni kriya, mode, fotografi, dan multimedia. Konsep lintas disiplin dalam seni rupa bermuara pada pendekatan estetika karya seni rupa ”tanpa batas”.
Pameran itu juga sekaligus sebagai perayaan HUT IKJ Ke-45. Pameran yang dikuratori Dolorosa Sinaga dan Citra Smara Dewi tersebut juga menekankan konsep galeri sebagai rumah kebersamaan. Dolorosa menyatakan, melalui jejalin karya lintas disiplin antara para dosen FSR IKJ, akan tercipta ruang kreativitas baru dan menghadirkan aura keterbukaan bagi setiap pengunjung yang datang ke dalam pameran tersebut.
Para dosen FSR IKJ yang memiliki gagasan berkarya dengan berbagai pendekatan ruang kreativitas secara keseluruhan akan bertemu dalam satu ruang yang disebut, ”ruang kreativitas”. ”Pameran ini dari lintas disiplin seni rupa sehingga menonjolkan sebuah ruang kreativitas baru,” katanya.
Pendekatan ruang kreativitas yang mengusung nilai keterbukaan bagi setiap pengunjung disimbolkan dengan adanya ruang tamu, kursi, meja, ruang kerja atau studio seni, hingga tempat tidur. Benda-benda yang tidak lumrah dalam sebuah pameran seni tersebut hadir dalam sebuah ruang pameran menjadi representasi aura keterbukaan sebuah rumah kepada para tamu yang datang.
Di beberapa titik ruang terdapat seperangkat furnitur seperti kursi dan meja sebagai tempat bercengkerama, saling tukar ide, dan perbincangan yang meliputi seni, budaya, politik, serta menggagas kreativitas atau sekadar berbicara masalah kuliner. Secara keseluruhan, nuansa rumah yang menjadi tempat multifungsi bagi setiap manusia, coba dihadirkan dalam pameran Seni Aksi tersebut.
Menurut Dolorosa, kolaborasi seni antar-dosen FSR IKJ dilakukan untuk memberikan pengetahuan yang baik kepada publik mengenai seni rupa. Bagaimana sebagai tenaga pengajar para dosen FSR IKJ bukan hanya mengajar dalam sebuah ruangan di kampus kepada mahasiswa, namun juga turut memberikan kontribusi berupa karya yang dapat dilihat oleh publik.
Adanya lintas disiplin ilmu dalam satu ruang pameran adalah upaya untuk menunjukkan kepada publik bahwa seni rupa berada di setiap sudut. Tentang keindahan seni yang acap dipertanyakan apakah hanya terlihat dari penglihatan, kurator Citra Smara Dewi menyatakan, pameran seni rupa Seni Aksi tersebut mencoba mengkritik paradigma dalam memandang keindahan seni itu.
Aksi para dosen FSR IKJ dalam mencipta karya melalui lintas disiplin merupakan hakikat seni yang tidak terkungkung dan terkotak-kotak. ”Karya seni hadir bukan untuk menghadirkan keindahan individual, tapi kesenyawaan yang terbingkai dalam semangat kolegial,” kata Citra.
Penekanan dalam pameran seni aksi itu adalah berupa semangat merayakan kreativitas dengan berbagai gerak rupa, dinamika ruang, dan menghargai eksplorasi seni. Semangat pameran tersebut pun salah satunya adalah sebagai upaya perbandingan terhadap situasi sosial politik di Tanah Air, yang menempatkan Bhinneka Tunggal Ika hanya sebagai slogan.
Keberagaman yang ada cenderung diartikan sebagai keseragaman sehingga dapat membawa bangsa Indonesia pada krisis moral dan budaya. Merayakan kreativitas memiliki makna selaras dengan merayakan keragaman tersebut. ”Keragaman yang ada cenderung diartikan sebagai keseragaman sehingga bangsa terdapat dalam kondisi krisis moral dan budaya,” ujarnya.
Meski begitu, Citra menegaskan bahwa pameran Seni Aksi dari para dosen FSR IKJ bukanlah ajang untuk unjuk diri, tapi menahbiskan profesi seorang dosen seni rupa. Sebagai perguruan tinggi seni, IKJ mampu bertahan selama 45 tahun dan menghasilkan alumni alumni yang telah berprestasi. Kualitas alumni-alumni IKJ tersebut menguatkan sebuah legitimasi bahwa kualitas tenaga pengajar IKJ memiliki kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.
Beberapa Karya
Dalam karya seni rupa berjudul Concise History of Mass Murdered 1965 in Indonesia , Dolorosa Sinaga memberikan sebuah konsep mengenai sejarah dalam bingkai seni. Bagaimana karya seni menjadi jembatan untuk memahami persoalan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara ataupun kelompok tertentu.
Meski telah banyak riset oleh peneliti dalam dan luar negeri mengenai pembantaian massal 1965 sehingga menghasilkan beberapa referensi bacaan, secara hukum pelanggaran tersebut belum dibahas di muka oleh pemerintah.
Di sinilah, menurut Dolorosa, seni sebagai sebuah medium menjadi jembatan untuk memahami persoalan kompleks tentang kemanusiaan yang belum tuntas. Bagaimana masyarakat Indonesia mau menguak sejarah 1965 secara fair . Karya yang tak kalah apik adalah karya Tantio Adjie dengan judul ”Siapa pun Presidennya, Rakyat Tetap Berjoget”.
Tantio mengangkat konsep dari pemahaman dan mengamati masyarakat urban Jakarta yang tidak peduli dengan adanya pemilu dan pilkada, atau lebih tepatnya tidak peduli dengan keadaan sekitar dan sosial. Siapa pun presiden dan gubernurnya, rakyat akan terus berjoget dan mencari uang asal bisa makan.
imas damayant
Paradigma itu itulah yang hendak disampaikan pameran yang mengusung tema Seni Aksi Merayakan Kreativitas. Pameran yang dibuka Jumat (4/9) di Galeri Cipta II, Jakarta, tersebut diikuti oleh 53 dosen Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan 64 karya seni rupa.
Karya- karya seni rupa yang dipamerkan lintas disiplin, dari desain, seni murni, seni kriya, mode, fotografi, dan multimedia. Konsep lintas disiplin dalam seni rupa bermuara pada pendekatan estetika karya seni rupa ”tanpa batas”.
Pameran itu juga sekaligus sebagai perayaan HUT IKJ Ke-45. Pameran yang dikuratori Dolorosa Sinaga dan Citra Smara Dewi tersebut juga menekankan konsep galeri sebagai rumah kebersamaan. Dolorosa menyatakan, melalui jejalin karya lintas disiplin antara para dosen FSR IKJ, akan tercipta ruang kreativitas baru dan menghadirkan aura keterbukaan bagi setiap pengunjung yang datang ke dalam pameran tersebut.
Para dosen FSR IKJ yang memiliki gagasan berkarya dengan berbagai pendekatan ruang kreativitas secara keseluruhan akan bertemu dalam satu ruang yang disebut, ”ruang kreativitas”. ”Pameran ini dari lintas disiplin seni rupa sehingga menonjolkan sebuah ruang kreativitas baru,” katanya.
Pendekatan ruang kreativitas yang mengusung nilai keterbukaan bagi setiap pengunjung disimbolkan dengan adanya ruang tamu, kursi, meja, ruang kerja atau studio seni, hingga tempat tidur. Benda-benda yang tidak lumrah dalam sebuah pameran seni tersebut hadir dalam sebuah ruang pameran menjadi representasi aura keterbukaan sebuah rumah kepada para tamu yang datang.
Di beberapa titik ruang terdapat seperangkat furnitur seperti kursi dan meja sebagai tempat bercengkerama, saling tukar ide, dan perbincangan yang meliputi seni, budaya, politik, serta menggagas kreativitas atau sekadar berbicara masalah kuliner. Secara keseluruhan, nuansa rumah yang menjadi tempat multifungsi bagi setiap manusia, coba dihadirkan dalam pameran Seni Aksi tersebut.
Menurut Dolorosa, kolaborasi seni antar-dosen FSR IKJ dilakukan untuk memberikan pengetahuan yang baik kepada publik mengenai seni rupa. Bagaimana sebagai tenaga pengajar para dosen FSR IKJ bukan hanya mengajar dalam sebuah ruangan di kampus kepada mahasiswa, namun juga turut memberikan kontribusi berupa karya yang dapat dilihat oleh publik.
Adanya lintas disiplin ilmu dalam satu ruang pameran adalah upaya untuk menunjukkan kepada publik bahwa seni rupa berada di setiap sudut. Tentang keindahan seni yang acap dipertanyakan apakah hanya terlihat dari penglihatan, kurator Citra Smara Dewi menyatakan, pameran seni rupa Seni Aksi tersebut mencoba mengkritik paradigma dalam memandang keindahan seni itu.
Aksi para dosen FSR IKJ dalam mencipta karya melalui lintas disiplin merupakan hakikat seni yang tidak terkungkung dan terkotak-kotak. ”Karya seni hadir bukan untuk menghadirkan keindahan individual, tapi kesenyawaan yang terbingkai dalam semangat kolegial,” kata Citra.
Penekanan dalam pameran seni aksi itu adalah berupa semangat merayakan kreativitas dengan berbagai gerak rupa, dinamika ruang, dan menghargai eksplorasi seni. Semangat pameran tersebut pun salah satunya adalah sebagai upaya perbandingan terhadap situasi sosial politik di Tanah Air, yang menempatkan Bhinneka Tunggal Ika hanya sebagai slogan.
Keberagaman yang ada cenderung diartikan sebagai keseragaman sehingga dapat membawa bangsa Indonesia pada krisis moral dan budaya. Merayakan kreativitas memiliki makna selaras dengan merayakan keragaman tersebut. ”Keragaman yang ada cenderung diartikan sebagai keseragaman sehingga bangsa terdapat dalam kondisi krisis moral dan budaya,” ujarnya.
Meski begitu, Citra menegaskan bahwa pameran Seni Aksi dari para dosen FSR IKJ bukanlah ajang untuk unjuk diri, tapi menahbiskan profesi seorang dosen seni rupa. Sebagai perguruan tinggi seni, IKJ mampu bertahan selama 45 tahun dan menghasilkan alumni alumni yang telah berprestasi. Kualitas alumni-alumni IKJ tersebut menguatkan sebuah legitimasi bahwa kualitas tenaga pengajar IKJ memiliki kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.
Beberapa Karya
Dalam karya seni rupa berjudul Concise History of Mass Murdered 1965 in Indonesia , Dolorosa Sinaga memberikan sebuah konsep mengenai sejarah dalam bingkai seni. Bagaimana karya seni menjadi jembatan untuk memahami persoalan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara ataupun kelompok tertentu.
Meski telah banyak riset oleh peneliti dalam dan luar negeri mengenai pembantaian massal 1965 sehingga menghasilkan beberapa referensi bacaan, secara hukum pelanggaran tersebut belum dibahas di muka oleh pemerintah.
Di sinilah, menurut Dolorosa, seni sebagai sebuah medium menjadi jembatan untuk memahami persoalan kompleks tentang kemanusiaan yang belum tuntas. Bagaimana masyarakat Indonesia mau menguak sejarah 1965 secara fair . Karya yang tak kalah apik adalah karya Tantio Adjie dengan judul ”Siapa pun Presidennya, Rakyat Tetap Berjoget”.
Tantio mengangkat konsep dari pemahaman dan mengamati masyarakat urban Jakarta yang tidak peduli dengan adanya pemilu dan pilkada, atau lebih tepatnya tidak peduli dengan keadaan sekitar dan sosial. Siapa pun presiden dan gubernurnya, rakyat akan terus berjoget dan mencari uang asal bisa makan.
imas damayant
(bbg)