Kereta Cepat Bukan Proyek Pemerintah

Jum'at, 04 September 2015 - 08:45 WIB
Kereta Cepat Bukan Proyek Pemerintah
Kereta Cepat Bukan Proyek Pemerintah
A A A
JAKARTA - Setelah menjadi kontroversi publik, pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan dana APBN dalam pembiayaan kereta cepat Jakarta–Bandung.

Bila jadi direalisasi, pembiayaan proyek kereta cepat ini menggunakan skema business to business (B to B). ”Intinya proyek ini menjadi B to B, tidak memakai APBN,” ujar Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan di Jakarta tadi malam.

Dia menjelaskan, dengan keputusan tersebut, pemerintah tidak lagi terlibat langsung dalam pembangunan kereta cepat dan hanya bertindak sebagai regulator. ”Jadi kalau ada yang mau membuat kereta cepat atau setengah cepat diserahkan ke swasta. Kalaupun BUMN ditawari, itu diklasifikasikan sebagai badan usaha,” ujarnya.

Jonan menandaskan, Pemerintah Jepang maupun China bisa terlibat lagi dalam proyek kereta cepat ini dengan catatan bukan lagi menjadi keputusan pemerintah. Peran mereka adalah investor swasta atau BUMN tanpa menggunakan APBN. ”Jadi kalau mau melanjutkan, silakan membuat bisnis sendiri,” kata mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu.

Menurut Jonan, pemerintah akan lebih baik fokus membangun jalur kereta di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dengan menggunakan APBN daripada membangun kereta cepat yang bukan menjadi prioritas saat ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, tidak dilibatkannya anggaran pemerintah dalam proyek kereta cepat Jakarta–Bandung bertujuan agar tidak membebani APBN.

”Kita serahkan BUMN untuk B to B. Pesan yang saya sampaikan (proyek) kereta itu dihitung lagi,” kata Jokowi saat mengunjungi warga di Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, kemarin.

Kepala Negara menegaskan, pembangunan jalur kereta yang menggunakan APBN akan dilakukan di sejumlah pulau di luar Jawa. ”Jadi garis yang saya sampaikan, kalau itu (biaya) dari APBN, lebih baik saya bangun kereta di Sulawesi, Papua atau Kalimantan. Tapi kalau investasi, saya serahkan urusannya ke Menteri BUMN,” tandasnya.

Isyarat ke China

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, mengacu pada aspek ekonomi dan muatan lokal, China dinilai lebih unggul daripada Jepang. Dia menegaskan prinsip pemerintah adalah tidak akan ada beban di APBN maupun garansi dalam penggunaan APBN. ”Untuk pengembangannya nanti ini akan dirancang sebagai rencana B to B sehingga yang akan maju ke depan berarti BUMN,” tandasnya.

Dalam waktu dekat, Kemenko Perekonomian akan mengundang perwakilan Pemerintah China dan Jepang untuk menjelaskan proyek tersebut. Darmin juga mengungkapkan bahwa Presiden telah menyetujui rekomendasi tim mengenai proyek kereta cepat yang sedang diminati investor dari dua raksasa Asia tersebut. ”Tapi saya tidak bisa jelaskan seluruhnya karena Presiden yang akan menjelaskan,” kata Darmin.

Rekomendasi perihal proyek kereta cepat didapat setelah mendengar laporan dari konsultan independen, Boston Consulting Group (BCG), mengenai beberapa aspek penilaian dari proyek infrastruktur tersebut. Empat faktor penilaian yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan investor kereta cepat antara lain komitmen dan risiko yang ditanggung pemerintah, teknologi, dampak sosio-ekonomi dan rencana proyek.

Sementara itu Wapres Jusuf Kalla mengatakan, penilaian dari tim menjadi pertimbangan untuk memutuskan proyek kereta cepat. Selain itu, semua kondisi kereta cepat harus disesuaikan dengan kondisi di dalam negeri. ”Yang penting secara teknologi baik, secara finansial (pengadaan proyek) juga baik,” tambahnya.

Rabu lalu (2/9), Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan pihaknya akan membentuk konsorsium bila proyek kereta cepat itu dimenangi China. Perusahaan BUMN yang tergabung dalam konsorsium dan siap menggarap megaproyek dengan China adalah PT Wijaya Karya, PT Perkebunan Nusantara VIII, PT Jasa Marga, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Namun ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Anwar Nasution menilai adanya pelibatan bantuan dari mitra Jepang maupun China tetap berisiko meningkatkan beban pinjaman luar negeri. Anwar beralasan proposal yang diajukan Jepang dan China masing-masing menawarkan opsi pinjaman dan pembentukan perusahaan joint venture.

Selain risiko peningkatan pinjaman luar negeri, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu juga mempertanyakan efisiensi dan efektivitas proyek kereta cepat. Menurutnya, sarana dan prasarana konektivitas antara Jakarta dan kota pusat industri tekstil Bandung sudah memadai, terlebih dengan menjamurnya bisnis transportasi di moda darat.

Di sisi lain, dia juga mempertanyakan kajian nilai keekonomian proyek ini. Menurutnya potensi penumpang kereta cepat untuk rute jarak pendek Jakarta– Bandung hanya sedikit.

Rarasati syarief/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4633 seconds (0.1#10.140)