Agustusan
A
A
A
Bulan Agustus adalah bulan kemeriahan. Suasana peringatan hari kemerdekaan menabalkan kegembiraan pada masyarakat. SepanjangAgustus warna merah putih menghiasi seantero Bumi Pertiwi.
Dua warna sakti, bendera NKRI, yang menjadi saksi pengorbanan orang-orang yang digelari pahlawan. Muncul instruksi birokratis kepada masyarakat agar mengibarkan bendera merah putih dan memperindah kawasan tempat tinggal. Warga lantas mengecat jalan, gapura, memasang lampu hias, dan karnaval. Kerja bakti digalakkan. Daerah tempat tinggal masyarakat menjadi berbeda pada Agustus.
Di perkampungan, mulai dari tingkat RT, terlihat semarak dengan umbulumbul dan aneka lomba untukanak, remaja,dandewasa. Instansi pemerintah, swasta, dan sekolah tak ingin ketinggalan. Mereka meliburkan satu hari dari aktivitas rutinnya dengan menggelar lomba.
Lomba dipilih yang lucu, gokil, untuk menambah sukacita. Di situlah semua melebur dalam tawa dan canda. Saat bos dan anak buah bergabung dalam satu tim. Perlombaan yang tujuannya bukan menangkalah, tapi semata kegembiraan. Orang tua relamenjadi bahan tertawaan saat mengikuti perlombaan yang lucu itu.
”Kata kerja”
Kita pun mafhum ketika tersebutlah frasa ”Agustusan” dan”Tujuh Belasan” untuk menyebut kemeriahan pada Agustus. Agustusan menjadi ”kata kerja” kolektif masyarakat dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Tiba-tiba orang-orang menjadi nasionalis atau ingin terlihat nasionalis dengan simbol merah putih. Di layanan BlackBarry Messenger (BBM) pun muncul pesan siaran (broadcast/ BC) untukmenambahkan bendera merah putih di belakang nama pengguna BBM.
Banyak yang mengikutinya, mungkin untuk mengesahkan diri jadi warga negara Indonesia yang baik. Di jejaring sosial, banyak bertebaran status tentang upacara, lomba, dan nasionalisme. Tentu ada pula refleksi agar ”Agustusan” tetap menghadirkan kesakralan.
Seperti lazimnya momentum masyarakat Indonesia, baik peristiwa individual, komunal, maupun nasional selalu melibatkan agama. Untukmengingatkanbahwa kemerdekaan yang diperoleh Indonesia ada campur tangan Tuhan. Bergembira memperingati kemerdekaan sekaligus mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Pada acara puncak saat 17 Agustus, setelah seremoni dan sambutan-sambutan yang memekikkan ”merdeka!”, pengumuman pemenang lomba, mengundang penceramah agama untuk mengajak masyarakat mengenang jasa para pahlawan. Biar tidak dicap sebagai bang-sa yang melupakan jasa-jasa pahlawan. Kemudian nyanyi-nyanyi, ada yang mengundang organ tunggal.
Sebagian masyarakat menggelar tirakatan, tidak tidur semalam suntuk. Dengan acara bakaran, main kartu, atau nonton film. Ada nuansa kosmopolit dalam menyemarakkanhari kemerdekaan Indonesia. Beragam cara manusia In-donesia memperingati hari lahir negara, dengan cara-cara yang lebih tua dari negara itu sendiri. Agustusan adalah intermezo, jedadarimelulu rutinitas pekerjaan danaktivitas.
Kita boleh saja bersikap nyinyir bahwa perayaan kemerdekaanmelaluiAgustusan adalah festival rakyat dengan gegap gempita di permukaan. Wacana soal kolonialisme, neokolonialisme, bahkan pertanyaan kritis; apakah kita sudah merdeka, lebih sering absen. Sederet fakta belum mandirinya kita secara ekonomi dan budaya boleh diajukan.
Fakta bahwa Indonesia sudah merdeka lebih penting. Agustusan menunjukkan bahwa ada yang mulai hilang di masyarakat yaitu komunalisme, gotong-royong, yang sejak dulu ditahbiskan sebagai ciri masyarakat Indonesia. Ketika anak-anak sehari-hari suntuk dengan pelajaran sekolah,
game di Play Station dan gawai, lomba Agustusan membuat mereka mengenal permainan dengan kompetitor teman sebayanya. Agustusan menyusun ikatan sosial bagi orang dewasa, kepala keluarga, untuk bekerja bakti. Agustusan menjadimedan uji sejauh mana komunalisme masyarakat Indonesia bertahan.
JUNAIDI ABDUL MUNIF
Direktur el-Wahid Center,
Semarang
Dua warna sakti, bendera NKRI, yang menjadi saksi pengorbanan orang-orang yang digelari pahlawan. Muncul instruksi birokratis kepada masyarakat agar mengibarkan bendera merah putih dan memperindah kawasan tempat tinggal. Warga lantas mengecat jalan, gapura, memasang lampu hias, dan karnaval. Kerja bakti digalakkan. Daerah tempat tinggal masyarakat menjadi berbeda pada Agustus.
Di perkampungan, mulai dari tingkat RT, terlihat semarak dengan umbulumbul dan aneka lomba untukanak, remaja,dandewasa. Instansi pemerintah, swasta, dan sekolah tak ingin ketinggalan. Mereka meliburkan satu hari dari aktivitas rutinnya dengan menggelar lomba.
Lomba dipilih yang lucu, gokil, untuk menambah sukacita. Di situlah semua melebur dalam tawa dan canda. Saat bos dan anak buah bergabung dalam satu tim. Perlombaan yang tujuannya bukan menangkalah, tapi semata kegembiraan. Orang tua relamenjadi bahan tertawaan saat mengikuti perlombaan yang lucu itu.
”Kata kerja”
Kita pun mafhum ketika tersebutlah frasa ”Agustusan” dan”Tujuh Belasan” untuk menyebut kemeriahan pada Agustus. Agustusan menjadi ”kata kerja” kolektif masyarakat dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Tiba-tiba orang-orang menjadi nasionalis atau ingin terlihat nasionalis dengan simbol merah putih. Di layanan BlackBarry Messenger (BBM) pun muncul pesan siaran (broadcast/ BC) untukmenambahkan bendera merah putih di belakang nama pengguna BBM.
Banyak yang mengikutinya, mungkin untuk mengesahkan diri jadi warga negara Indonesia yang baik. Di jejaring sosial, banyak bertebaran status tentang upacara, lomba, dan nasionalisme. Tentu ada pula refleksi agar ”Agustusan” tetap menghadirkan kesakralan.
Seperti lazimnya momentum masyarakat Indonesia, baik peristiwa individual, komunal, maupun nasional selalu melibatkan agama. Untukmengingatkanbahwa kemerdekaan yang diperoleh Indonesia ada campur tangan Tuhan. Bergembira memperingati kemerdekaan sekaligus mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Pada acara puncak saat 17 Agustus, setelah seremoni dan sambutan-sambutan yang memekikkan ”merdeka!”, pengumuman pemenang lomba, mengundang penceramah agama untuk mengajak masyarakat mengenang jasa para pahlawan. Biar tidak dicap sebagai bang-sa yang melupakan jasa-jasa pahlawan. Kemudian nyanyi-nyanyi, ada yang mengundang organ tunggal.
Sebagian masyarakat menggelar tirakatan, tidak tidur semalam suntuk. Dengan acara bakaran, main kartu, atau nonton film. Ada nuansa kosmopolit dalam menyemarakkanhari kemerdekaan Indonesia. Beragam cara manusia In-donesia memperingati hari lahir negara, dengan cara-cara yang lebih tua dari negara itu sendiri. Agustusan adalah intermezo, jedadarimelulu rutinitas pekerjaan danaktivitas.
Kita boleh saja bersikap nyinyir bahwa perayaan kemerdekaanmelaluiAgustusan adalah festival rakyat dengan gegap gempita di permukaan. Wacana soal kolonialisme, neokolonialisme, bahkan pertanyaan kritis; apakah kita sudah merdeka, lebih sering absen. Sederet fakta belum mandirinya kita secara ekonomi dan budaya boleh diajukan.
Fakta bahwa Indonesia sudah merdeka lebih penting. Agustusan menunjukkan bahwa ada yang mulai hilang di masyarakat yaitu komunalisme, gotong-royong, yang sejak dulu ditahbiskan sebagai ciri masyarakat Indonesia. Ketika anak-anak sehari-hari suntuk dengan pelajaran sekolah,
game di Play Station dan gawai, lomba Agustusan membuat mereka mengenal permainan dengan kompetitor teman sebayanya. Agustusan menyusun ikatan sosial bagi orang dewasa, kepala keluarga, untuk bekerja bakti. Agustusan menjadimedan uji sejauh mana komunalisme masyarakat Indonesia bertahan.
JUNAIDI ABDUL MUNIF
Direktur el-Wahid Center,
Semarang
(bbg)